Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Emansipasi dalam (Kedok) Kuota 30% Perempuan

29 April 2013   16:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:24 2153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_250833" align="aligncenter" width="489" caption="foto : banjarmasin.tribunnews.com"][/caption]

Tanggal 22 April, akhirnya 12 parpol peserta Pemilu menyerahkan semua Daftar Calon Legislatif Sementara ke KPU, meski sebelumnya sempat beredar kabar sejumlah parpol kesulitan memenuhi persyaratan harus terpenuhinya kuota 30% caleg perempuan di setiap Daerah Pemilihan (Dapil). Bahkan ada parpol yang mengeluhkan kekakuan KPU dalam menerapkan aturan kuota 30% di tiap Dapil, karena menurut sebagian parpol seharusnya kuota berlaku kumulatif secara nasional.

Maka bertaburanlah DCS dengan wajah cantik bergincu tebal dan bedak setebal 5 cm. Panggung politik dan panggung tontonan rupanya memang tak jauh beda. Ini memang bukan hal baru, pada Pemilu 2004 dan 2009, pesohor alih profesi jadi politisi sudah jamak. Alhasil, mantan pemain filem dan sinetron, pelantun dangdut, penyayi pop, pembawa acara info gosip dan hiburan, model dan bintang catwalk, pemenang kontes putri-putrian, semua ada dalam DCS.

Sebagian publik langsung punya penilaian kurang sreg dengan artis yang mendadak jadi politisi. Banyak yang meragukan kemampuan artis dalam urusan kenegaraan, persoalan kerakyatan, diplomasi dan legislasi. Maklum, artis selama ini identik dengan kehidupan glamour dan tidak akrab dengan permasalahan yangmelilit rakyat kebanyakan. Pengamat politik Hanta Yuda memberikan panduan untuk menilai kualitas artis yang caleg : lihat kronologi sejak kapan si artis bergabung dengan parpol yang mengusungnya. Apakah menjelang perekrutan caleg atau memang sudah mengikuti serangkaian jenjang perkaderan di parpol tersebut.

[caption id="attachment_250835" align="aligncenter" width="230" caption="Angel Lelga, caleg 2014 dari PPP (foto : cincara.com)"]

13672284251557801340
13672284251557801340
[/caption]

Kini, secara mengejutkan FORMAPPI (Forum Masyarakat Pemantau Pemilu) menyatakan beberapa parpol mencurangi DCS terkait keterpenuhan kuota 30% caleg perempuan. Masalahnya, ada parpol yang mendaftarkan caleg perempuan di 2 sampai 3 dapil sekaligus. Bahkan lebih parah lagi, satu nama terdaftar sebagai caleg lebih dari satu parpol. Melihat daftar temuan Formappi, nama-nama caleg perempuan yang didaftarkan lebih dari satu kali itu memang yang bukan berasal dari selebritis, jadi relatif namanya tak terlalu terkenal dan mudah dideteksi. Ini menunjukkan bahwa keseriusan mengusung caleg perempuan perlu dipertanyakan. Jika seorang caleg benar-benar dijagokan dan didukung untuk jadi, tak mungkin dia didaftar di lebih dari satu dapil.

------------------------------------------------------------------

Kebijakan affirmative policy sebenarnya sudah diberlakukan sejak Pemilu 2004, hanya saja KPU belum seketat sekarang. Saat itu parpol yang gagal memenuhi kuota 30% caleg perempuan hanya diumumkan saja dalam jumpa pers KPU, yang gemanya bisa langsung hilang tak terdengar. Strategi sekedar memajang nama perempuan dalam DCS/DCT, sudah sejak itu pula dilakukan parpol.

Awal tahun 2004, sahabat saya (sebut saja A) ditelepon oleh sahabat lamanya (saya sebut Y) yang sudah bertahun-tahun tak bertemu karena Y pindah ke Jakarta mengikuti suaminya semenjak menikah, bahkan pernah bertahun-tahun tinggal di Australia menemani suaminya yang sedang melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 dan S3. Telepon mendadak dari Y yang tak biasanya ini lebih mengagetkan A karena Y mengabarkan bahwa dirinya maju sebagai Caleg dari sebuah daerah pemilihan K di Jawa Timur dari partai “X” (partai yang akhir-akhir ini banyak dibincangkan). Kontan A tak percaya, sebab Y yang dikenalnya sejak mereka masih sama-sama duduk di bangku TK, SD, SMP, SMA hingga lulus kuliah adalah Y yang sangat pendiam, tertutup, nyaris tak bicara kalau tak benar-benar perlu, bagaimana bisa kini justru menjadi Caleg.

[caption id="attachment_250838" align="aligncenter" width="353" caption="Bella Saphira caleg 2014 dari Partai Gerindra (foto : www.nonstop-online.com)"]

1367228563287026955
1367228563287026955
[/caption]

Kami pun mengecek koran lokal yang terbit di Surabaya, edisi hari itu ada lembaran khusus berisi daftar nama Caleg (DCT) karena kemarin sorenya KPUD Jawa Timur mengesahkan DCT. Benar, tertera nama lengkap Y di Dapil K dari partai “X” masuk di nomor urut atas. Perlu diingat, mekanisme penentuan caleg terpilih pada Pemilu 2004 masih menggunakan azas nomor urut. Jadi, chance Y untuk “jadi” tampaknya besar. Sudah siapkah Y yang selama ini dunianya hanya berkutat di seputar dapur, sumur dan kasur kelak harus bergelut dengan persoalan politik?

Sahabat saya A, tahu betul karakter Y. Dia anak yang cerdas sejak kecil tapi luar biasa pendiam. Setelah menamatkan kuliahnya di fakultas kedokteran sebuah PTN ternama di Surabaya, Y langsung dinikahi seorang pria yang langsung memboyongnya ke Jakarta, tempat si pria bekerja sebagai dosen di sebuah PTN paling top di negeri ini. Tak lama Y melahirkan bayi pertamanya dan disusul anak kedua dan seterusnya, nyaris tiap 2 tahun sekali Y punya bayi. Bahkan ketika mengikuti suaminya kuliah di Australia, Y pun sempat mengandung dan melahirkan di sana. Y mengurus sendiri rumah tangga dan anak-anaknya, praktis waktu Y habis untuk urusan “domestik” yang dilakoninya dengan senang hati dan Y bahagia dengan dunianya. Sungguh tak terbayangkan mendadak Y tertarik jadi politisi dan berancang-ancang berkantor di Senayan. Tegakah ia meninggalkan kelima anaknya yang masih kecil-kecil?

A mencoba menelisik sejak kapan Y aktif di parpol. Ternyata jawabnya : tidak pernah! Suami Y lah yang aktivis parpol X, hanya saja secara tersembunyi karena statusnya yang PNS (dosen tetap di sebuah PTN) dilarang keras berpolitik praktis. Ketika tiba saatnya pencalegan, parpol X butuh caleg perempuan untuk memenuhi kuota 30% di semua dapil seluruh Indonesia. Karena suami Y tak mungkin “mengambil jatah” dicalegkan, maka parpol X meminta agar si suami mengijinkan istrinya dicalonkan, sekedar pemenuh kuota. Maka, meluncurlah biodata Y ke KPUD Jatim, mengisi daftar caleg dari partai X di Dapil K yang terdiri dari kota K dan sekitarnya.

[caption id="attachment_250839" align="aligncenter" width="251" caption="Arzetty Bilbina caleg 2014 dari PKB (foto : antaranews.com)"]

13672286271241899385
13672286271241899385
[/caption]

Oke, kini Y sudah disahkan KPUD menjadi caleg, akankah Y melakukan pendekatan pada masyarakat di dapil K dan mengkampanyekan dirinya? Jawabnya : tidak! Y mengatakan tugasnya hanya mencalonkan diri, urusan pemenangan sudah diurus parpol. Y tinggal duduk manis dan menunggu hasilnya usai pencoblosan nanti.

Usai Pemilu 2004, meski partai X mengalami peningkatan suara yang cukup signifikan, tapi di dapil K tidak mendapatkan kursi untuk DPR RI, sehingga Y tak jadi melenggang ke Senayan. Bisa jadi hasil seperti ini sudah diprediksi oleh partai X, mereka sudah bisa memetakan dapil K dan sekitarnya bukan lumbung suara mereka. Namun demi gengsi dan menjaga citra partai, tentu tak elok kalau sampai partai X tak mampu memenuhi jumlah caleg, termasuk caleg perempuan. Jadilah memajukan caleg perempuan siapa saja, tak harus yang paham urusan politik, kenegaraan, kemasyarakatan dan legislasi; tak perlu karena panggilan jiwa dan kehendak pribadi si caleg; tak perlu pertimbangan karakter pribadi si caleg. Yang penting persyaratan administratif terpenuhi.

------------------------------------------------------------------

Fenomena seperti apa yang dilakukan parpol X dengan memajukan Y sebagai caleg, saya rasa bukan hanya menimpa Y dan bukan cuma dilakukan oleh satu parpol saja. Di dapil lain di seluruh Indonesia, bisa jadi banyak kasus serupa Y. Publik tak akan menaruh perhatian pada seorang caleg yang bukan tokoh atau public figure, yang nota bene masyarakat sudah tahu rekam jejaknya dan bisa mengukur kapabilitas dan kemampuannya. Inilah pisau bermata dua dari sebuah kebijakan yang seolah mengakomodir peranan perempuan di ranah politik.

[caption id="attachment_250840" align="aligncenter" width="291" caption="Desi Ratnasari caleg 2014 dari PAN (foto : news.detik.com)"]

1367228707133351204
1367228707133351204
[/caption]

Alih-alih memberdayakan perempuan, affairmative policy ini justru bisa disalahgunakan parpol untuk memperdayakan perempuan sebagai “alat”. Caleg perempuan yang direkrut dadakan dari kalangan pesohor dimanfaatkan sebagai penarik suara (vote getter) saja, apalagi ditunjang wajah cantik dan penampilan menarik. Sedangkan caleg perempuan yang direkrut dari keluarga aktifis parpol, hanya dimanfaatkan sekedar pemenuh kuota agar DCS tak dikembalikan KPU. Selalu ada cara untuk mengakali Undang-Undang!

Untuk golongan pertama, mereka sadar dirinya dijadikan vote getter dan memanfaatkan popularitasnya untuk mengantarkan dirinya ke Senayan. Bagi parpol sendiri, jika kelak caleg seperti itu jadi, ada keuntungannya. Tanpa bekal kemampuan legislasi dan pengetahuan soal-soal politik, aleg seperti ini sangat mudah didikte parpol. Coba perhatikan aleg-aleg perempuan yang berlatar belakang selebriti dan tak terlalu paham urusan politik, kebanyakan mereka nyaris tak pernah terdengar suaranya pribadi. Kalau ada voting dalam sidang paripurna, aleg seperti ini tentu tak akan berani bersuara berseberangan dengan fraksinya. Keberadaan mereka hanya menjadi penambah hitungan suara fraksi dalam setiap pengambilan keputusan.

Untuk golongan kedua, mereka juga sadar sepenuhnya dirinya tak memiliki kemampuan memadai untuk duduk di parlemen. Dicalonkan menjadi aleg hanyalah untung-untungan belaka. Caleg semacam ini sejak awal sudah menyediakan dirinya menjadi boneka kayu bagi parpol. Sayangnya, tak sedikit perempuan berkualitas yang rela menyediakan dirinya untuk jadi pelengkap penderita seperti ini. Kasus Y contohnya, dimana Y sebenarnya punya kualitas diri yang baik dan pendidikan tinggi (meski tak pernah menjalani profesinya sebagai dokter yang melayani masyarakat).

[caption id="attachment_250842" align="aligncenter" width="292" caption="Aleg 2009-2014 dari Demokrat dan kini Caleg incumbent (foto : antaranews.com)"]

1367228799786919464
1367228799786919464
[/caption]

Jadi, kuota caleg perempuan 30% sebenarnya jadi ujung tombak emansipasi kaum hawa atau hanya basa basi politik? Jika alasannya keberadaan perempuan di parlemen untuk meng-goal-kan paket-paket undang-undang yang berpihak pada wanita, coba tanyakan pada Angelina Sondakh, Venna Melinda, Inggrid Kansil, Rachel Maryam, apa hasil nyata dari kunjungan kerja dan undang-undang yang mereka bahas selama ini, yang kontribusinya besar bagi kemaslahatan perempuan.

Sebenarnya, jika dunia politik di Indonesia memang serius ingin memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak-anak, memberikan perlindungan yang memadai pada perempuan dan anak-anak, maka perjuangan itu adalah kewajiban semua parpol dan semua politisi yang menyandang predikat “wakil rakyat”. Tak boleh ada bias gender, politisi laki-laki seolah tak perlu menunjukkan keberpihakan pada perempuan. Bukankah ibu danistri mereka juga perempuan? Bukankah rakyat pemilihnya juga ada yang perempuan?

Di negara lain yang memiliki aturan hukum dan perundangan yang sangat melindungi hak-hak dan kepentingan perempuan, justru parlemennya didominasi laki-laki. Ini karena para politisinya bekerja dengan benar dan memiliki perspektif yang baik soal gender, paham betul kebutuhan kaum wanita dan anak-anak, lalu secara serius memperjuangkannya. Di Jepang ada sebuah undang-undang yang mengatur persamaan hak pekerja pria dan wanita. Meski judulnya “persamaan hak” namun aturan di dalamnya banyak memberikan privelege bagi perempuan yang hamil, selama salam masa menyusui dan pengasuhan anak hingga usia 6 tahun. Apakah ini dihasilkan dari sebuah parlemen yang menetapkan kuota sekian persen untuk perempuan? Tidak. Dari dari kerja dan pemikiran para politisi yang mengedepankanhati nurani dan punya tanggung jawab moral terhadap amanah yang diberikan para pemilihnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun