[caption id="attachment_262977" align="aligncenter" width="546" caption="(foto : nasional.kompas.com)"][/caption]
Seperti sudah diprediksi oleh para pengamat, persidangan 4 terdakwa kasus suap kuota daging sapi impor akan penuh dengan kejutan. Kejutan pertama adalah pengakuan Maharani Suciono ketika duduk di kursi saksi dalam sidang untuk terdakwa Arya Abdi Effendy dan Juard Effendy. Duduk bersebelahan dengan penyidik KPK yang menangkapnya pada tengah malam 29 Januari 2013 (atau dini hari 30 Januari?), membuat Maharani mau tak mau mengakui bahwa dirinya ditangkap saat bersama Ahmad Fathanah di dalam kamar hotel Le Meridien dan sedang bersiap-siap untuk melayani “pembeli jasa”nya yang telah membayar Rp. 10.000.000,00. Padahal selang beberapa hari setelah ditangkap, Maharani didampingi ayahnya menggelar jumpa pers bahwa dirinya sedang duduk mengobrol dengan Fathanah di sebuah cafe di lobby hotel Le Meridien ketika penyidik KPK kemudian menggiringnya bersama Fathanah. Maka, para penggiat perlindungan anak dan wanita yang semula meminta agar Maharani tidak diperlakukan sebagai saksi, karena ia masih di bawah umur – padahal sudah 19 tahun – dan masih “polos” serta tidak tahu apa-apa, sejak itu bungkam seribu bahasa, karena terbukti Maharani bukanlah anak remaja yang polos dan lugu. Ia bahkan sudah punya “tarif” untuk beragam layanan jasa bagi lelaki semacam Ahmad Fathanah.
Kini, ibarat menyaksikan film thriller, publik disuguhi kejutan demi kejutan yang siap terkuak. Kejutan selanjutnya adalah pengakuan Ziad Baladzam, ayah Darin Mumtazah, bahwa benar putrinya telah menikah dengan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ischaaq, pada bulan Juni 2012 lalu, ketika usia Darin baru menginjak 18 tahun. Pernikahan yang diakui Ziad karena putrinya jatuh cinta kepada LHI akibat sering bertemu, menggugurkan semua bantahan bahwa issu pernikahan itu hanyalah fitnah belaka. Dulu mereka yang mati-matian tak percaya issu ini, berdalih karena sumber berita wartawan adalah satpam di komplek rumah Darin dan tukang pijat yang mengaku mendengar LHI memanggil “Mamah” pada Darin, sehingga validitas dan akurasi data dianggap bohong belaka. Yang harus dipercaya adalah keterangan guru dan Kepala Sekolah Darin. Padahal, jika benar pengakuan Ziad, maka pernikahan yang dilangsungkan akhir Juni itu wajar jika tak diketahui pihak sekolah, sebab itu musim libur kenaikan kelas. Darin yang masih baru naik kelas 3 SMK, tentu saja merahasiakan pernikahan sirri itu, karena konsekwensinya dia akan dikeluarkan dari sekolah. Aturan jelas melarang siswa SMA/SMK menikah.
[caption id="attachment_262979" align="aligncenter" width="546" caption="(foto : nasional.kompas.com)"]
Dengan pengakuan Ziad itu, terkuak pula soal pemberian mobil Mitsubishi Grandis senilai Rp. 150.000.000,00 kepada Darin, karena Darin meminta kepada LHI untuk belajar menyetir. Maka, apa yang selama ini dibantah keras bahwa rumah kontrakan mewah senilai Rp. 180.000.000,00 untuk 2 tahun sewa, yang baru dihuni keluarga Darin selama 8 bulan – sebelumnya mereka menghuni rumah kontrakan sederhana – ada hubungannya dengan LHI, kini tampaknya tak bisa lagi dipungkiri. Maka, kebenaran kesaksian seorang satpam, tukang pijat, yang selama ini dianggap tak cukup pantas untuk dipercaya, ternyata telah membuka mata publik : kejujuran pengakuan itu tidak dilihat dari “baju” atau “profesi” seseorang.
Juru Bicara PKS, Mardani Ali Sera, yang di acara AKI Malam TV One pernah “ditodong” pertanyaan host soal “siapa Darin Mumtazah” yang dijawab diplomatis oleh Mardani bahwa pernikahan kader PKS adalah pernikahan perjuangan, kini terpaksa meralat kata-katanya : "Kami tidak tahu landasan pemikiran Pak Luthfi (menikahi Darin)". Satu demi satu keyakinan yang dulu begitu kokoh, kini berubah jadi gelengan kepala. Sebenarnya, mereka yang mau berpikir kritis, sejak awal pasti sudah bisa menebak kebenaran “issu” itu. Sebab reaksi yang berlebihan – baik dari PKS yang ditunjukkan oleh sikap meradang Fahri Hamzah yang meminta Darin agar tak memenuhi panggilan KPK, maupun dari keluarga Darin yang mendadak meninggalkan rumah kontrakan mewah dan Darin serta ayahnya menghilang sementara ibunya pura-pura tak tahu dimana keberadaan suami dan anaknya – justru menunjukkan indikasi kebenaran itu sendiri. Bukankah kalau “issu” itu tidak benar, Darin cukup datang ke KPK diantar kedua orang tuanya, membuktikan mereka tak terkait apapun dengan LHI, maka semua akan beres!
==================================================
Seperti sebuah drama yang berulang, saya teringat ketika persidangan kasus suap Wisma Atlet dengan terdakwa Muhammad Nazaruddin pertama kali digelar pada September 2011. Saat itu nama Angelina Sondakh disebut dalam surat dakwaan Jaksa KPK kepada Nazar. Ketika ditanya kenapa nama Angie ada dalam surat dakwaan, Johan Budi, Juru Bicara KPK menjawab : “Angelina adalah bagian dari cerita yang didakwakan kepada Nazaruddin” (saya pernah menulis tentang ini di Kompasiana). Lalu mulailah pengamat memprediksi : tersangka berikutnya adalah Angie. Benar, hanya selang 1,5 bulan setelah pergantian Ketua KPK, Angie ditetapkan sebagai tersangka. Maka, apa yang dulu dibantah keras – soal apel Malang dan apel Washington, soal BBM – ternyata tidak bisa dibuktikan sebaliknya. Pengakuan tak memiliki BB sebelum akhir 2010, terbantahkan oleh sejumlah foto Angie di tahun 2009 yang memegang BlackBerry. Maka, bagian dari cerita yang didakwakan itu pun mengalir di pentas persidangan dan disaksikan masyarakat Indonesia.
Kini, akankah drama serupa tapi alurnya tak sama itu akan terulang pada kasus suap kuota daging sapi impor? Nama Anis Matta disebut dalam surat dakwaan Jaksa kepada LHI. Bagaimana nanti endingnya? Mari kita lihat saja episode demi episode dari thriller ini, saya tak ingin berandai-andai apalagi meramal.
[caption id="attachment_262981" align="aligncenter" width="560" caption="Berita Utama di Tempo edisi 11 Pebruari 2013 sudah menguak adanya bukti jejak Anis Matta di tas Fathanah (foto koleksi pribadi)"]
Majalah Tempo edisi 11 Pebruari 2013, hanya selang 4 hari sejak Anis Matta ditetapkan sebagai Presiden PKS menggantikan LHI, telah memuat berita tentang ditemukannya sertifikat tanah atas nama istri pertama Anis Matta di dalam tas Ahmad Fathanah saat dia ditangkap KPK. Dalam wawancara langsung dengan Anis Matta di edisi tersebut, Anis mengatakan “Saya tidak tahu”. Berita Tempo ini pun meluas. Mereka yang mati-matian membela, menuduh Tempo hanya memfitnah. Ironisnya, “fitnah” itu tak pernah berbuah somasi atau hak jawab. Waktu terus berlalu, KPK memanggil Anis Matta sebagai saksi. Keluar dari gedung KPK, Anis Matta mengakui sertifikat tanah yang ditemukan di tas Fathanah itu benar miliknya, bahkan menurutnya sudah masuk dalam daftar kekayaannya yang dilaporkan ke KPK. Nah lho! Bagaimana bisa sebuah sertifikat tanah – yang mestinya aman ada di laci lemari di dalam rumah atau bahkan di dalam kamar pribadi – bisa berada di tas Fathanah jika bukan pemiliknya sendiri yang memberikan pada Fathanah?
Pada awal ditangkapnya Ahmad Fathanah disusul esok harinya LHI, semua pengurus PKS menyangkal mengenal Fathanah. Bahkan melihat pun katanya belum pernah. Waktu berlalu, satu demi satu dipanggil KPK. Ada Ridwan Hakim putra Ketua Majelis Syuro PKS, ada Hilmi Aminuddin sendiri, ada Zaldi Matta adik kandung Anis Matta yang mengaku pemberian uang dari Fathanah adalah pembayaran hutang, serta terakhir Anis Matta sendiri. Maka, logika akal sehat publik pun diajak berpikir kritis : jika benar tidak kenal sama sekali, bagaimana mungkin seseorang akan bertransaksi hutang piutang dalam jumlah besar? Jika benar tak kenal, bagaimana bisa sertifikat tanah ada di tas orang tak dikenal itu? Jika benar tak kenal, bagaimana bisa ada sejumlah foto makan bersama di sebuah restoran sambil bercanda akrab? Biarlah publik yang menyimpulkan.
[caption id="attachment_262982" align="aligncenter" width="560" caption="Wawancara Tempo dengan Anis Matta yang jawabannya Saya tidak tahu (foto koleksi pribadi)"]
Kini, bukan sekedar fakta kebenaran soal pernikahan LHI dengan gadis cantik nan sexy yang masih di bawah umur yang terungkap di pengadilan. Dalam surat dakwaan LHI, disebutkan pula adanya pembayaran tiket pesawat Jakarta – Kuala Lumpur – Jakarta pp pada tanggal-tanggal yang berbeda di bulan Desember 2012, yang kesemuanya dibayari oleh Ahmad Fathanah. Adapun nama-nama yang tertera di sana, selain nama Fathanah dan LHI, ada beberapa nama berbau Timur Tengah yang diduga keluarga/kerabat Darin, yang memang masih keturunan Arab. Total nilai tiket perjalanan ke Malaysia LHI yang dibayarkan Fathanah sepanjang Desember 2012, menurut dakwaan, sebesar 9.375 USD. Tentu bukan menggunakan maskapai LCC kalau harga tiketnya mahal.
Mungkin akan ada pihak-pihak yang menuduh Jaksa KPK ngawur dan cari sensasi. Tapi sejatinya dakwaan soal tiket pesawat ini sangat mudah dibuktikan Jaksa (jika benar) sekaligus sangat mudah dibantah pengacara LHI (jika tidak benar). Tiket pesawat bukan seperti tiket bis antar kota. Tiket pesawat tercantum nama penumpang, bahkan saat check in untuk mendapatkan boarding pass, calon penumpang diminta menunjukkan kartu identitas diri. Perjalanan ke Malaysia adalah lintas negara, jadi pengacara LHI tinggal meminta pihak imigrasi untuk melacak apakah benar pada tanggal-tanggal yang disebutkan dalam surat dakwaan, paspor atas nama mereka yang disebut itu benar distempel ke luar dari Bandara Soetta dan pada tanggal kembali distempel di bandara KLIA. Sesimpel itulah membuktikan sebuah kebenaran yang faktual. Jadi, mari kita lihat jalannya sidang.
[caption id="attachment_262983" align="aligncenter" width="296" caption="Dulu banyak yang meragukan gadis belia dengan aurat terbuka dan sexy ini istri LHI (foto : nasional.news.viva.co.id)"]
PKS melalui Fahri Hamzah juga tak perlu menuduh KPK mencari sensasi karena surat dakwaan LHI banyak menyoroti kehidupan pribadi LHI dengan Darin. Selama ini relevan dengan tuduhan suap dan korupsi – misalnya dari mana uang pembeli mobil Mitsubishi Grandis, siapa yang membelikan tiket ke Malaysia berkali-kali – kenapa tidak? Bukankah dulu sidang Antasari Ashar yang didakwa menjadi intelektual dader pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen juga diwarnai dengan paparan kisah tak senonoh dimana digambarkan secara gamblang pembicaraan AA dengan Rani Juliani, meski kemudian ketika rekaman diperdengarkan, yang ditangkap publik justru Rani yang agresif merayu sementara AA menjawab ogah-ogahan. Jadi, bukan hal aneh sebuah dakwaan tipikor di dalamnya ada kehidupan pribadi terdakwa yang turut disoroti.
Biarlah satu demi satu fakta terungkap di persidangan. Yang ingin membela juga tak perlu membabi buta seolah tahu sendiri faktanya, bahwa yang mereka bela tak mungkin akan berbuat begini dan begitu. Lihat saja bagaimana mereka yang dulu membela Maharani Suciono sebagai anak lugu yang masih dibawah umur yang kebetulan berada di tempat yang salah, kini terdiam. Lihat saja bagaimana Mardani Ali Sera kini geleng-geleng kepala ketika kebenaran pernikahan itu terungkap.
[caption id="attachment_262984" align="aligncenter" width="296" caption="Rumah kontrakan mewah Darin Mumtazah (foto : nasional.news.viva.co.id)"]
Saya sedikit tertarik dengan cover majalah Tempo edisi 11 Pebruari 2013. Karikatur LHI yang sedang memanggang daging sapi, dihadapannya ada Anis Matta yang ikut numpang membakar jagung, kemudian tak sengaja seiris daging yang sedang dipanggang LHI mental menimpa kepala Anis Matta. Sementara Mentan Suswono yang menyaksikan hanya bisa mengangkat tangan tak berdaya, tak mampu mencegah irisan daging panas itu melenting ke jidat Anis Matta. Ah, ini hanya sebuah ilustrasi khas Tempo, hanya sebuah karikatur. Akankah Anis menjadi bagian dari cerita yang didakwakan kepada LHI? Bagaimana endingnya nanti? Kita masih akan dikejutkan dengan episode-episode selanjutnya. Saya suka dengan pernyataan Johan Budi : “Kita lihat saja di pengadilan nanti”.
[caption id="attachment_262985" align="aligncenter" width="560" caption="Cover Majalah Tempo (foto koleksi pribadi)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H