Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Selalu Ada Pilihan Menjadi Presiden Rakyat atau Presiden Partai

21 Januari 2014   11:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:37 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_307274" align="aligncenter" width="469" caption="Presiden lebih memilih temu kader partainya ketimbang temu pengungsi Sinabung (foto : www.merdeka.com)"][/caption]

Hidup memang pilihan, tiap orang punya banyak pilihan. Seperti juga rakyatnya, Presiden pun selalu punya pilihan keputusan apa yang akan diambilnya, soalan apa yang diprioritaskan diurusnya. Saya tak terlalu peduli ketika Pak SBY memilih meluncurkan buku akhir pekan lalu. Bukan pilihan yang salah sama sekali. Toh buku setebal lebih dari 800 halaman itu tentu tak ditulis dalam waktu semalam. Proses editing, pencetakan dan penerbitannya pun pastilah sudah memakan waktu cukup lama. Tanggal 17 Januari 2014 mestinya sudah beberapa waktu lalu dipilih jadi moment peluncuran. Kalaulah bertepatan Ibukota dan sekitarnya sedang dilanda banjir, itu mungkin di luar perkiraan.

Buat saya tak ada bedanya Pak SBY memilih meluncurkan buku atau merilis album rekaman lagu-lagu ciptaannya. Kedua pilihan itu bermakna sama : Pak SBY menuangkan curahan hatinya. Dulu boleh dikata tiap tahun Pak SBY menambah koleksi album rekamannya. Terakhir jelang akhir tahun 2011. Rupanya, 2 tahun vakum dari dunia musik, Pak SBY sibuk menulis buku. Setidaknya sehari menulis 1-2 halaman, dua tahun terkumpul 800 halaman lebih. Menyikapi pilihan Pak SBY ini, paling reaksi saya cuma bergumam : “hmm..., kok sempat ya Pak SBY bikin lagu dan menulis. Coba kalau jadi Kompasianer, pasti tiap hari posting satu tulisan”.

Tapi, hari Minggu kemarin saya marah sekali ketika membaca running text Presiden SBY pergi ke Bali untuk temu kader Partai Demokrat. Bagi saya, pilihan Pak SBY kali ini seolah ngece (bahasa Jawa : ngeledek) warga DKI dan sekitarnya yang sedang berjibaku dengan banjir. Terbayang di benak saya, Pak SBY bilang : “Selalu ada pilihan untuk menggelar acara partai, kapanpun dan dimanapun”.

[caption id="attachment_307275" align="aligncenter" width="550" caption="Pengungsi Sinabung (foto : www.wartamedan.com)"]

13902788011120260145
13902788011120260145
[/caption]

Ada banyak pilihan bagi Pak SBY sebagai Presiden Republik Indonesia, disaat sejumlah daerah tertimpa bencana. Bukan hanya Jabodetabek saja yang terendam banjir, Karawang kabarnya banjir melanda 108 desa dari 25 kecamatan. Di Subang, 9 kecamatan terkena banjir, pun juga Indramayu sehingga jalur pantura lumpuh dan pengusaha merugi sekurangnya Rp. 100 milyar per hari. Di Jawa Tengah, Pekalongan, Pati dan Semarang juga banjir. Pekan lalu, Manado dan Padang terkena banjir bandang. Bahkan, warga Kabupaten Karo sudah 4 bulan lebih terlunta-lunta di pengungsian, tanpa penghasilan, sejak gunung Sinabung terus menerus mengalami erupsi awal September 2013. Apa yang membuat Pak SBY memilih lebih mendahulukan temu kader ketimbang menengok rakyatnya yang sudah 4 bulan terkena bencana? Apa yang membuat Pak Presiden memilih berkumpul dengan orang-orang berjas biru lalu bersama menyanyikan mars sambil tangan kanan terkepal diacung-acungkan, sementara di televisi terus ditayangkan kondisi korban bencana diiringi kumandang lagu “Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati... Air matanya berlinang, mas intanmu terkenang. Kini Ibu sedang lara..., merintih dan berdoa...” Saya benar-benar gagal paham atas pilihan Pak SBY soal ini.

Saya masih ingat, jaman masih SD dulu, TV masih TVRI saja, kalau ada bencana alam, Pak Harto dan Bu Tien berkunjung ke lokasi pegungsian dan menyalami para pengungsi. Gak pake lama, tak perlu waktu berbulan-bulan. Saya sendiri tak tahu, kenapa Pak SBY memilih berlama-lama untuk menengok rakyatnya di ujung barat-utara Nusantara. Sejak sepekan lalu, wacana Pak SBY akan mengunjungi pengungsi Sinabung sudah ramai didiskusikan. Katanya “minggu depan”, artinya minggu ini. Senin pagi kemarin, di Bincang Pagi Metro TV, Didi Irawadi – anggota DPR RI dari Partai Demokrat – dengan nada sedikit sewot mengatakan Pak SBY pasti akan ke Sinabung, itu cuma soal waktu saja. Lalu apa lagi yang ditunggu Pak SBY? Menunggu sampai rakyat sekarat? Semalam saya dengar berita, katanya Pak SBY akan ke Sinabung hari Kamis, jelang akhir pekan ini. Lihatlah para pengungsi sudah diajak kerja bakti membersihkan lokasi yang akan dikunjungi Pak SBY. Mereka pun disorot kamera sedang memegang selembar kupon bantuan Presiden. Kata Julian Aldrin Pasha, 8000 paket bantuan sudah tiba di sana. Saya melihatnya dikemas dalam tas warna biru. Setelah 4 bulan lebih, setelah berpuluh-puluh ribu mengungsi, akhirnya hanya 8000 paket yang tiba lebih dulu sebelum Pak Presiden benar-benar menyaksikan derita rakyatnya.

[caption id="attachment_307276" align="aligncenter" width="568" caption="Pengungsi Sinabung (foto : www.metrotvnews.com)"]

1390278852701585354
1390278852701585354
[/caption]

Tapi ya sudahlah, saya ‘kan cuma warga biasa. Saya tak punya pilihan. Mau ngedumel sampai mulut berbusa pun tak guna, toh Pak SBY sudah jelas memilih untuk mendahulukan kepentingan partai ketimbang menengok rakyatnya yang sedang ditimpa bencana.Saya memilih untuk curhat saja di media warga, sekaligus melempar ide gila yang mungkin akan ditolak mentah-mentah oleh orang-orang parpol.

Seorang calon presiden diajukan oleh partai politik. Mereka – orang parpol – menyebutnya “kader terbaik kami”. Kader terbaik itu digadang-gadang, diiklankan, diajaklah rakyat yang punya hak pilih untuk memilihnya. Kelak, jika terpilih, jadilah kader terbaik itu Presiden Republik Indonesia, presidennya seluruh rakyat Indonesia, yang dulu memilih maupun yang tak memilihnya. Maka, sudah selayaknya jika kader terbaik itu melepaskan jabatannya di parpol untuk sepenuhnya berkhidmat pada bangsa, negara dan rakyatnya. Nah, beranikah partai politik melepaskan kader terbaiknya demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara?

Misalnya begini : Mr. X – Ketua Umum Partai Berjaya – dicalonkan partainya jadi Presiden. Ternyata, takdir membawa Mr. X ke Istana Negara. Sehari sebelum dilantik, Mr. X menyatakan dirinya mundur dari kepengurusan Partai Berjaya, meski hanya sebagai dewan penasehat, dewan pertimbangan, dewan pembina atau apapun namanya. Partai Berjaya bisa menunjuk pengganti sementara sampai digelarnya Kongres/Munas atau apapun nama forum tertinggi di partai itu. Sejak itu, Mr. X bebas tugas dari segala urusan partai, meski dia tetap jadi kader terbaik Partai Berjaya.

[caption id="attachment_307279" align="aligncenter" width="592" caption="Seorang warga Karo menekuri puing rumahnya yang tertimbun debu erupsi Gunung Sinabung (foto : nasional.news.viva.co.id)"]

139027904213692799
139027904213692799
[/caption]

Tentu Partai Berjaya tetap berhak mendukung dan memback-up Mr. X, melakukan lobbying pada parpol lain, bukan sebaliknya Mr. X tawar-menawar dengan parpol lain agar mendukung Partai Berjaya. Partai Berjaya membela Mr. X dari serangan lawan, bukan sebaliknya Mr. X disibukkan membela Partai Berjaya kalau ada kadernya yang melanggar hukum. Partai Berjaya menyumbangkan pemikiran untuk mendorong perbaikan kinerja Mr. X, bukan sebaliknya Mr. X direpotkan memikirkan strategi agar Partai Berjaya naik elektabilitasnya. Partai Berjaya menepis issu-issu tak penting yang bisa mengganjal langkah Mr. X, bukan sebaliknya Mr. X yang dipusingkan menepis issu-issu tak sedap yang menimpa Partai Berjaya dan kader-kadernya.

Lho, kok enak, setelah didudukkan di kursi Presiden kok malah gak ikut mikirin partai? Mungkin itu sanggah orang parpol. Kalau kinerja Mr. X bagus, kalau kesejahteraan rakyat meningkat, kalau permasalahan sosial (pengangguran, kemiskinan, kriminalitas) bisa diatasi atau setidaknya diminimalisir, kalau posisi tawar negara di pergaulan dunia diperhitungkan, harga diri bangsa tidak direndahkan, bukankah Partai Berjaya juga ikut bangga? “Lihatlah, kami tak salah pilih. Kader terbaik kami memang patut didukung”, dengan bangga mereka bisa katakan itu. Pada ajang Pilpres berikutnya tanpa perlu bersusah payah, Partai Berjaya bisa mengajak rakyat memilih kembali Mr. X.

Sebaliknya, kalau persoalan domestik tak terurus dengan baik, perekonomian tidak membaik, kedaulatan negara berulangkali diinjak-injak negara tetangga, harga diri bangsa direndahkan, warga negara yang bekerja di negeri orang dilecehkan, bukankah Partai Berjaya ikut menanggung malu? Bukankah Partai Berjaya ikut risih kalau kinerja Mr. X dicibir? Hayo..., pilih mana : melepas kader terbaik untuk sepenuhnya berkonsentrasi memikirkan kepentingan rakyat serta kejayaan bangsa dan negara dengan imbalan prestasi yang dirasakan seluruh rakyat dan legacy yang dicatat sejarah, ataukah tetap menggandoli kader terbaik dengan taruhan kepentingan bangsa dan negara terpinggirkan karena sebagian waktu tersita untuk memikirkan partai?

[caption id="attachment_307280" align="aligncenter" width="572" caption="Bantuan Presiden SBY untuk pengungsi Sinabung (foto : www.setkab.go.id)"]

1390279213134290866
1390279213134290866
[/caption]

Ini sekedar lontaran ide dari rakyat biasa yang pasti bukan pilihan menyenangkan bagi parpol. Ide yang muncul karena sebagai rakyat merasa Presiden lebih mementingkan partainya daripada rakyatnya. Presiden lebih memprioritaskan urusan partainya ketimbang urusan negara. Presiden lebih cepat bereaksi kalau ada issu terkait partainya, tapi lambat merespon kabar buruk warga negaranya di negeri orang. Itu semua karena Presiden tak mampu melepaskan ikatan emosional dengan parpolnya dan gagal membangun keterikatan dengan rakyat pemilihnya.

Padahal, Presiden terpilih bukan hanya karena mendapat suara dari simpatisan partainya saja. Contohnya : suara Partai Demokrat hanya 7%-an pada Pemilu 2004, sementara Pak SBY berhasil memenangkan Pilpres 2004 putaran kedua dengan raihan suara 60%. Pada Pemilu 2009, suara Partai Demokrat hanya 20%-an, namun Pak SBY terpilih kembali dengan dukungan mencapai 60%. Artinya : suara pemilih Presiden jauh melampaui suara pemilih parpol sang Presiden. Sudah selayaknya jika Presiden terpilih mengabdikan diri sepenuhnya mengurusi rakyatnya, bukan partainya.

Bagaimana para capres yang kebetulan pemimpin parpol? Pak Ical sang Ketum Golkar, Pak Prabowo yang Ketum Gerindra, Pak Wiranto Ketumnya Hanura, Pak Hatta Radjasa Ketum PAN, beranikah melepas baju partai kalau nanti terpilih jadi Presiden? Para caleg parpol, beranikah kelak memasukkan klausul : “seorang Presiden dan Wakil Presiden terpilih harus mundur dari struktur kepengurusan parpolnya” ke dalam usulan revisi Undang-Undang Pilpres?Kalau Presiden dan Wapres berani memulai melepas baju parpol dan mengedepankan independensi, para Menteri Kabinet pun akan meniru jejaknya : mundur dari kepengurusan parpol. Sehingga kemungkinan proyek-proyek Kementrian yang dipimpinnya akan jadi “ATM” bagi parpolnya, bisa dihilangkan. Masalahnya : maukah para politisi berbuat seperti itu?!

[caption id="attachment_307281" align="aligncenter" width="640" caption="Bantuan Presiden sudah tiba, meski beliau masih belum berkunjung (foto : www.solopos.com)"]

1390279287132759530
1390279287132759530
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun