[caption id="attachment_283966" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/ Admin (Kompas.com)"][/caption]
Kasus korupsi dalam pengadaan alat uji kemudi di Korp Lalu Lintas Kepolisian RI dengan terdakwa mantan Kakorlantas Polri, Irjen Djoko Susilo, kini memasuki babak akhir. Setelah minggu lalu pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut dari KPK, kemarin sidang pembacaan pleidoi oleh terdakwa dan penasihat hukumnya. Kalau dalam sidang pembacaan tuntutan sang jendral sampai terkantuk-kantuk di kursi pesakitan, dalam sidang kemarin sang jendral tak sempat mengantuk, sebab peran yang dilakoninya kemarin adalah peran sedih. Seperti lazimnya peran sedih, tentu diwarnai cucuran air mata dan kalimat penuh sedu sedan.
Sungguh tak dinyana, seorang Jendral yang tampak sangat berkuasa dan digdaya di tubuh kepolisian RI, kini harus menangis di persidangan karena sudah terbayang ancaman kurungan 18 tahun serta sejumlah denda yang harus dibayar dan pengembalian kerugian negara. Kalau mundur ke peristiwa lebih setahun yang lalu, pada akhir Juli, saat penyidik KPK akan menggeledah Gedung Korlantas Polri, kita tentu masih ingat bagaimana para penyidik KPK menghadapi tentangan sampai-sampai para pimpinan KPK harus turun gunung dan para penyidik bekerja sampai lewat subuh hari, padahal saat itu bulan Ramadhan. Para petinggi Polri seolah kompak berupaya menghalangi maksud KPK menggeledah Gedung Korlantas. Barang bukti yang berhasil dikumpulkan pun nyaris tak diijinkan dibawa keluar. Bahkan ketika akhirnya boleh di bawa ke gedung KPK, namun ditempatkan dalam suatu container yang dijaga ketat oleh anggota Polri bersenjata, sehingga sampai sekian lama KPK belum bisa menelaah barang bukti tersebut.
Belum lagi ketika sang jendral ditetapkan untuk ditahan dan dikenakan baju tahanan KPK. Malam itu juga Gedung KPK “diserbu” sekian banyak anggota Polri, untuk menjemput paksa Kompol Novel Baswedan, anggota Polri yang sudah menjadi penyidik KPK dan kebetulan dalam kasus dugaan korupsi simulator SIM ini Kompol Novel menjadi Ketua Tim Satgas penyidik. Dia pula yang memimpin penggeledahan gedung Korlantas Mabes Polri pada penghujung bulan Juli 2012. Novel pula lah yang bersitegang dengan anggota polisi yang mencoba menghalang-halangi proses penggeledahan. Maka, mendadak kasus penembakan terhadap sekelompok orang yang diduga pencuri sarang walet yang mengakibatkan kematian salah satu pelakunya, yang terjadi 8 tahun sebelumnya ketika Kompol Novel yang saat itu menjabat sebagai Kasatreskrim Polres Bengkulu, dibuka kembali dan Dirreskrim Polda Bengkulu akan menangkap Novel.
Untunglah KPK bergeming dan tak gentar dengan beragam tekanan. Dukungan masyarakat pun mengalir untuk KPK bahkan memaksa Presiden SBY bersuara menengahi. Kian hari, perkembangan kasus itu bak bola salju, berhasil mengungkap sebagian harta kekayaan Irjen Djoko Susilo yang sangat fantastis dan tak masuk akal dibandingkan gajinya sebagai perwira Polri sepanjang karirnya. Tak kurang dari 35 properti berupa rumah mewah, tanah dan sawah serta 3 unit SPBU dan sejumlah apartemen di dalam dan diluar negeri, dimilikinya. Belum lagi sejumlah mobil mewah dan bahkan kebun binatang mini pun dipunyai sang jendral. Semua harta itu disamarkan dengan diatasnamakan kerabat dan keluarganya, termasuk istri kedua dan ketiga, yang selama persidangan Djoko menolak para istrinya dihadirkan, meski Djoko sendiri mengaku salah satu sumber harta kekayaannya itu dari usaha-usaha para istrinya. Inilah yang kemudian memicu ketidakpercayaan Hakim atas keterangan Djoko seputar perolehan hartanya. Sebab sama sekali tak ada bukti pendukung berupa data catatan keuangan yang lazim dilakukan dalam sebuah bisnis. Jika benar semua itu bersumber dari usaha istrinya, kenapa sejak awal Djoko menolak istrinya dihadirkan sebagai saksi?
Kini, pasca pembacaan tuntutan setebal hampir 3000 halaman, dimana Jaksa KPK menuntut Djoko dengan hukuman 18 tahun penjara, denda Rp 1 miliar atau diganti 1 bulan kurungan. Serta pidana tambahan berupa membayar uang pengganti Rp 32 miliar, subsider 5 tahun, dan mencabut hak memilih-dipilih dalam catatan publik – kecuali jadi Ketua RT – Djoko masih berkelit dirinya tak bersalah melakukan korupsi. Menurutnya ia hanya lalai mengawasi anak buahnya, sehingga dalam proyek pengadaan simulator SIM ini terjadi korupsi. How come?! Bagaimana bisa seorang jendral berlepas tangan begitu saja dan menimpakan kesalahan hanya pada bawahan pelaksana. Kalau pun benar anak buahnya melakukan korupsi, kelalaian Djoko sudah sangat fatal karena menyebabkan kerugian negara mencapai Rp. 144 milyar. Tapi benarkah semua itu hanya dinikmati anak buah Djoko semata dan Djoko sama sekali tak tahu apa-apa? Ah.., menggelikan sekali, apalagi mengingat tumpukan harta kekayaan yang begitu fantastis dimiliki Djoko.
Tak hanya mengaku tak bersalah, Djoko pun mengumbar “jasa”nya kepada institusi Polri dan menyebut sejumlah bintang jasa dan penghargaan yang pernah diterimanya. Ungkapan Djoko saat membacakan pleidoinya : "Saya benar-benar seperti merasakan telah dijatuhkan dari tempat yang paling tinggi, sampai ke jurang yang paling dalam" seolah menyiratkan kekesalannya karena semua “prestasi” dan penghargaan itu seolah lenyap begitu saja. Namun siapakah yang menjatuhkan Djoko Susilo? Bukankah sejak awal Polri justru seolah pasang badan demi Djoko? Bukankah ia jatuh karena akibat perbuatannya sendiri? Ibarat kata pepatah “panas setahun hapus oleh hujan sehari.”
Dalam pleidoinya kemarin, Djoko membawa-bawa nama Allah SWT disela tangisnya. "Istri dan anak sangat terbebani. Saya lalu katakan kepada mereka ini terjadi atas izin Allah SWT. Allah SWT tidak akan pernah membiarkan keadilan diambil oleh umatnya”. Padahal, dalam sidang beberapa pekan sebelumnya, terungkap bahwa selama ini sang jendral sangat percaya pada kesaktian sejumlah keris pusaka yang dimilikinya. Bahkan demi melengkapi koleksi kerisnya menjadi 200 buah, Djoko rela menukarnya dengan sebuah rumah mewah senilai lebih dari semilyar rupiah. Keris berharga mahal itupun kerap dibersihkan dan dilakukan upacara ritual, yang konon katanya jika memegang keris itu maka Djoko tak akan mempan disakiti, rambutnya tak akan bisa dipotong. Kini, ketika keris sakti mandraguna itu tak mampu lagi menolongnya, Djoko menyebut Allah SWT tak akan membiarkan keadilan diambil oleh ummatnya. Benar, “tangan” Allah sudah mulai bekerja, ketika Djoko tak lagi sakti, ketika kasus ini akhirnya berhasil dikuak KPK, ketika sebagian besar harta kekayaannya yang selama ini disembunyikan dan tak pernah dilaporkan, satu demi satu ditemukan KPK. Inilah tandanya Allah SWT tak akan pernah membiarkan keadilan berada di tangan mereka yang punya kuasa dan berharta saja. Betul, semua terjadi atas izin Allah, termasuk ketika Allah mengizinkan aib seseorang dibuka seterang-terangnya, karena – seperti syair lagu Ebiet – mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Semoga saja Irjen Djoko Susilo paham makna dari kalimat dalam pleidoinya.
Tapi ada kejadian yang cukup janggal dalam sidang pembacaan pleidoi kemarin. Sebelum sidang dimulai, Djoko membagikan buku biru berisi tentang kemajuan Dirlantas Polri di bawah kepemimpinan Djoko Susilo. Mungkin maksudnya agar “jasa-jasa”nya itu jadi pertimbangan. Sayangnya, dari sejumlah buku yang dibagikan, pada buku yang diberikan kepada Jaksa KPK ditemukan selembar mata uang dollar Amerika senilai US $ 100. Lembaran dollar AS yang masih lurus itu terselip diantara lembaran buku, entah apa maksudnya. Nilai US $ 100 memang bukan jumlah yang besar, hanya sekitar sejuta rupiah lebih. Tapi mungkinkah itu perlambang atau simbolisasi atau “bahasa isyarat” yang hendak diberikan Djoko kepada JPU dari KPK?
Buku itu sendiri bukan bagian dari pleidoi itu sendiri. Keberadaannya hanya sebagai pelengkap semata, berisi profil dan prestasi Djoko di Kepolisian. Lalu kenapa di buku yang dibagikan kepada pihak lain tidak ada selipan itu? Lembaran uang dollar AS bukanlah mata uang umum yang bisa terselip begitu saja tanpa sengaja. Kalau itu lembaran uang 10.000 rupiah setengah lusuh, mungkin saja terselip tak sengaja, niatnya untuk membayar tips OB yang memfotocopy buku itu. Tapi uang US $ 100 tidak lazim bukan tiba-tiba terselip di dalam buku? Apalagi selama ini Djoko ditahan di rutan KPK. Kalaupun dia butuh uang untuk membeli makanan atau sekedar memberikan tips kepada petugas/pegawai di rutan, tentunya dalam mata uang rupiah. Jadi sekali lagi, uang dollar AS itu aneh, meski jumlahnya sangat tak signifikan untuk diartinya sebagai suap.
Sebenarnya Jaksa KPK sudah bertindak benar dengan tak mau menyentuh uang itu dan menolak mengembalikan uang saat itu juga serta meminta agar dicari dulu apa motif di balik terselipnya uang itu. Tetapi majelis hakim justru memerintahkan agar uang itu segera dikembalikan saat itu juga kepada pengacara terdakwa, setelah sebelumnya Hakim mempertanyakan relevansi antara pembelaan Djoko dengan buku biru itu. Alasan Hakim, karena sama sekali tak ada hubungannya, maka seluruh buku itu ditarik kembali, termasuk uang US $ 100. Jika nantinya dianggap perlu dilakukan penyitaan, bisa belakangan. Semestinya, uang itu memang “diamankan” dulu, dengan tidak seorang pun menyentuhnya secara langsung. Dengan begitu, akan ketahuan sidik jari siapa saja yang ada pada selembar uang tersebut. Tidak mungkin uang itu seperti jin yang tiba-tiba muncul, tanpa ada tangan yang menyelipkan. Sidik jari orang yang menyelipkan semestinya masih bisa terlacak, sebelum banyak tertimpa sidik jari lainnya.
Nah, pak Jendral, selipan uang apa lagi ini? US $ 100 tentunya bukan nilai yang besar kalau dibandingkan harta kekayaan Irjenl Djoko Susilo yang diminta jaksa KPK dirampas untuk negara, yaitu mencapai Rp 200 miliar. Harta itu diduga hasil tindak pidana pencucian uang terkait kasus korupsi pengadaan alatsimulatorSIM. Seperti kata Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto : "Itu bisa sampai di atas Rp 200 miliar. Itu tidak pernah ada dalam sejarah republik ini, orang dirampas hartanya sampai Rp 200 miliar". WOW!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H