Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bu Risma, Sosok Bukan Media Darling yang Jadi Public Darling

13 Februari 2014   17:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:51 3584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_311817" align="aligncenter" width="533" caption="foto : www.rimanews.com"][/caption]

Belakangan, nama Ir. Tri Rismaharini atau akrab dipanggil Bu Risma, mendadak jadi incaran media massa, terutama televisi. Selasa malam, Bu Risma jadi tamu Deddy Corbuzier di acara Hitam Putih-nya Trans7. Esoknya, Rabu malam jadi tamu Najwa Shihab di acara Mata Najwa milik Metro TV. Tampaknya, media massa tak mau kehilangan momentum dengan naiknya popularitas Bu Risma yang seolah tiba-tiba. Media massa seakan “ketinggalan kereta” dengan fenomena ini.

Selama ini, tokoh politik yang menjadi “besar” dalam skala nasional, pasti tak lepas dari peran media massa yang mengelus-elusnya. Fenomena mencuatnya popularitas SBY pada tahun 2003-2004 yang mengantarkannya jadi Presiden pilihan rakyat pada Pilpres 2004, juga berkat peran media. Begitu pun sosok Dahlan Iskan yang jadi sorotan mulai dari bersepatu kets ke istana, naik KRL, naik ojek ke istana Bogor untuk rapat kabinet, mampir makan soto di kaki lima, semua diliput dan disebarluaskan media. Begitu pun Jokowi, terutama setelah menjadi Gubernur DKI, yang nyaris seluruh aktivitasnya 7 hari dalam seminggu tak pernah luput dari kuntitan insan pers.

[caption id="attachment_311818" align="aligncenter" width="512" caption="Salah satu gang sempit padat penduduk di Pacar Keling, sekitar 50-an meter dari pasar tradisional besar. Tampak asri, bersih dan rapi. (Foto : pribadi)"]

13922862375049902
13922862375049902
[/caption]

Bu Risma memang beda. Selama ini beliau “aman” dari kejaran media. Bagi Bu Risma sendiri, kondisi seperti ini justru membuatnya nyaman. Warga Surabaya tahu betul, Walikotanya ini memang “aneh”. Tak suka narsis dengan memajang wajahnya di baliho atau spanduk. Bahkan di moment yang paling memberikan alasan bagi politisi dan pejabat untuk memberikan ucapan selamat sambil menampangkan fotonya, Bu Risma tak mau melakukannya. Saya pulang kampung ke Surabaya saat lebaran 2013 lalu. Kota Surabaya, dari jalan-jalan protokol sampai jalan kecil, spanduk di mana-mana, tapi tak satu pun spanduk bergambar wajah Bu Risma. Tak juga ditemukan papan iklan layanan masyarakat dari Dinas-Dinas di lingkungan Pemkot Surabaya, yang memajang foto Bu Risma, seperti umumnya kepala daerah lainnya.

[caption id="attachment_311819" align="aligncenter" width="494" caption="Gang lainnya yang juga menuju ke pasar tradisional Pacar Keling, di pagi hari saat ramai orang berbelanja. Meski ada warung makan, tak ada sampah berserakan (foto : pribadi)"]

13922863321134916494
13922863321134916494
[/caption]

Mendadak, media dikagetkan rilis sejumlah lembaga survey menyajikan hasil polling tentang capres alternatif. Ternyata nama Bu Risma menjadi “pesaing” Jokowi, meski tetap di bawah Jokowi. Padahal, jika dipikir-pikir, peliputan dan blow up atas kerja Bu Risma sangat jauh di banding Pak Jokowi. Pun Pak Jokowi sudah menjadi Walikota Solo sejak 2005-2012, selama 7 tahun, sebelum akhirnya terpilih jadi Gubernur DKI. Sementara Bu Risma baru dilantik jadi Walikota Surabaya pada September 2010, alias baru 3,5 tahun memimpin Surabaya, kota metropolitan terbesar kedua setelah Jakarta.

Ini seakan tamparan bagi media massa mainstream, sekaligus anomali bagi popularitas seorang tokoh. Biasanya, jadi media darling dulu, baru popularitasnya melejit. Kini, seorang tokoh yang sama sekali tak dijadikan media darling kok bisa-bisanya mencuat namanya di jajaran capres alternatif yang diharapkan publik. Media massa mainstream seakan kecolongan, sebab pemberitaan soal kiprah dan keberhasilan Bu Risma justru lebih banyak ditulis oleh warga biasa, nonjurnalis, yang menulis di media warga, termasuk Kompasiana.

[caption id="attachment_311820" align="aligncenter" width="512" caption="Gang yang lain lagi yang juga menuju ke pasar Pacar Keling, sama bersihnya (foto : pribadi)"]

13922864141263184403
13922864141263184403
[/caption]

Lalu kenapa bisa terjadi anomali seperti itu atas sosok Bu Risma? Jawabnya: karena polling itu melibatkan masyarakat yang melihat langsung hasil kerja Bu Risma, merasakan benar dampak perubahan yang dilakukan Bu Risma. Kemarin, selama 4 hari saya berkesempatan pulang ke Surabaya. Melepas kangen dengan kuliner khas Surabaya dan berbelanja di Pasar Pacar Keling, adalah ‘agenda’ wajib yang masuk catatan saya. Selama 22 tahun tinggal di Surabaya Timur dan 17 tahun tinggal di seputaran Pasar Pacar Keling, membuat saya hafal gang-gang di sekitar sana. Apalagi dulu saya pernah buka warung makan, jadi kondisi pasar Pacar Keling di pagi sampai malam hari cukup akrab bagi saya. Saya bahkan hafal lokasi tiap los, sama hafalnya dengan jalanan sekitarnya yang terdiri dari banyak gang yang tembus kemana-mana. Maklumlah, kalau ingin cepat sampai ke rumah teman, ke penjahit langganan, ke kantor kelurahan, ke penjual gado-gado enak, memang harus melalui jalan pintas dari pasar dan masuk ke gang-gang tertentu.

[caption id="attachment_311821" align="aligncenter" width="512" caption="Salah satu gang yang relatif lebih lebar sehingga bisa dilewati mobil. Tetap bersih. Gapura di kejauhan adalah gerbang pasar tradisional Pacar Keling (foto : pribadi)"]

13922864661335220374
13922864661335220374
[/caption]

Kemarin, saya lihat gang-gang itu jauh lebih bersih ketimbang 4 tahun lalu. Bahkan salah satu gang yang dekat mulut gang-nya ada warung tenda kaki lima yang cukup ramai karena menjual sarapan, tak tampak lagi sampah berceceran. Kondisi pasar memang becek, maklum kemarinnya turun hujan cukup lebat. Pasar itu memang benar-benar pasar tradisional yang lantainya masih tanah. Namun, meski becek, pasar tak lagi sekotor dulu, tumpukan sampah di mana-mana. Jalan utama pasar yang memisahkan dengan toko-toko pun relatif bersih dan kini kalau pagi ditempati para penjual kue tradisional yang menggelar dagangan di emperan toko. Beberapa gang sempat saya ambil gambarnya. Gang yang kiri-kanannya padat rumah penduduk, tapi kebersihannya terjaga.

Jalan Raya Darmo juga terlihat bersih. Terminal angkot dan bis kota yang terletak di tengah kota, persis di samping Kebun Binatang Surabaya, juga ditata “beranda”nya. Ada tulisan “Joyoboyo” (nama terminal), bukan dari papan nama tapi dari deretan abjad sebagaimana lazimnya sebuah taman. Di sekitar tulisan itu juga ditanami bunga-bungaan. Meski hanya di bagian depan, tapi taman itu cukup mempercantik terminal Joyoboyo yang sejak dulu tak pernah diberi taman.

[caption id="attachment_311822" align="aligncenter" width="579" caption="Layanan masyarakat mulai dari tingkat Kelurahan, Kecamatan, sampai Dinas-Dinas di lingkungan Pemkot Surabaya kini GRATIS (foto : pribadi)"]

1392286572665823215
1392286572665823215
[/caption]

Selasa siang Surabaya sempat diguyur hujan yang cukup lebat selama kurang lebih 2 jam. Begitu hujan mereda, saya dan teman saya kembali menyusuri jalanan Surabaya, saat sudah lewat senja hari. “Coba lihat, genangan airnya sudah surut kan?!” kata teman saya. Benar juga, jalanan sama sekali tak dipenuhi genangan air. Sisa air hujan begitu cepat terserap, tak menyisakan genangan yang membahayakan pemakai jalan terutama pengendara motor. Terasa benar bedanya dengan Surabaya 4 tahun lalu, kalau hujan cukup lebat, genangan air tak segera surut.

Itulah Surabaya kini, setelah 3,5 tahun “ditangani” Bu Risma. “Aku pernah ketemu dia,” kata teman saya. Saat itu teman saya keluar dari Surabaya Mall atau yang kini disebut Hitech Mall, membeli perangkat komputer, kebetulan di depannya ada taman kota. Saat itulah dia melihat Bu Risma sibuk memberi instruksi pada pekerja yang merawat taman. Begitulah Bu Risma, dengan kompetensinya sebagai Arsitek, beliau terjun langsung membenahi dan membangun Surabaya yang panas menjadi lebih hijau dan asri.

[caption id="attachment_311823" align="aligncenter" width="512" caption="Upaya menghapus retribusi di Dinas-Dinas Pemkot, tulisan dipampang dimana-mana (foto : pribadi)"]

139228664242888592
139228664242888592
[/caption]

Masih ingat kasus contek massal yang menimpa sebuah SD di Surabaya pada April 2011 lalu? Saat itu Ibu S, ibunda dari siswa Al yang dijadikan joki contekan, justru dimusuhi warga sekitar yang juga orang tua murid dari teman-teman sekolah Al, karena dianggap gara-gara ibu S-lah kasus itu jadi pemberitaan. Saat itu, Bu Risma pagi-pagi mendatangi rumah Ibu S. Bahkan menurut pengakuan Ibu S di TV swasta, dia tak tahu siapa yang datang padanya. Baru setelah Bu Risma memperkenalkan dirinya sebagai walikota, Ibu S sadar siapa yang datang ke rumahnya sepagi itu. Bu Risma, dalam jabatan dan kesibukannya menata kota, tetaplah seorang wanita dengan naluri keibuannya. Untuk kasus semacam itu, beliau mengedepankan sisi kewanitaannya untuk mengayomi warganya.

[caption id="attachment_311824" align="aligncenter" width="579" caption="Taman Pelangi, salah satu taman kota di Surabaya. Foto diambil malam hari (foto : koleksi pribadi milik teman penulis)"]

1392286717353486935
1392286717353486935
[/caption]

Tapi jangan coba-coba mengkadali Bu Risma. Beliau tak segan-segan marah meski disorot media TV, ketika kontraktor sebuah proyek dianggap melenceng dari desain bestek yang seharusnya. Bu Risma tak takut tampil “jelek” karena marah, sebab ia memang perlu marah menghadapi hal-hal seperti itu. Bu Risma juga bisa marah pada siswa-siswa yang dugem di tempat hiburan malam, bak seorang ibu yang memarahi anaknya yang bandel. Bu Risma selalu tampil apa adanya. Dia memang bukan politisi yang pandai menyimpan kepura-puraan. Bu Risma juga tak kenal kompromi, padahal kompromi adalah keniscayaan dalam permainan poltiik. Karena itu, tak heran jika parpol-parpol pernah mengeroyoknya ketika masa jabatannya baru berjalan 100 hari.

[caption id="attachment_311825" align="aligncenter" width="589" caption="Taman Pelangi di malam hari (foto : koleksi pribadi milik teman penulis)"]

13922867811447477641
13922867811447477641
[/caption]

Ketika kepala daerah lainnya sibuk mengajukan beragam argumen untuk menutupi ketidakberanian mereka mengambil langkah kontroversial untuk menutup tempat prostitusi, Bu Risma mencoba melakukannya. Bukan karena paksaan ormas keagamaan, tapi karena pertimbangan kemanusiaan. “Mereka seharusnya punya masa depan yang lebih baik,” katanya di acara Hitam Putih. Saat itu Bu Risma cerita tentang seorang PSK yang menurunkan profesinya pada putrinya, padahal si anak masih bersekolah di SMP dan juara kelas pula. Bahkan kini si anak berhasil masuk SMA yang bagus di Surabaya. Karena itulah Bu Risma bertekad mengentaskan mereka dari kubangan pekerjaan nista. “Kalau umurnya sudah di atas 20 tahun, biarin aja Bu!” celetuk Deddy Corbuzier, sang host. Kontan Bu Risma tak setuju. Bukan begitu cara berpikir seorang pemimpin, katanya. Semua harus dibina dan dilindungi. Perjuangan Bu Risma yang bertekad akan menjadikan kota Surabaya bebas prostitusi sudah dimulai sejak 2 tahun lalu, pernah saya tuliskan DISINI.

[caption id="attachment_311827" align="aligncenter" width="605" caption="Sungai Kalimas kini bisa jadi tempat rekreasi keluarga, tak lagi kumuh dan penuh sampah. Foto diambil malam hari (foto : koleksi pribadi milik teman penulis)"]

1392286883265924778
1392286883265924778
[/caption]

Kini, Bu Risma mendadak muncul menjadi the new rising star. Bintang yang sinarnya tidak diasah oleh media massa, bahkan sempat luput dari over exposed media mainstream. Sepi ing pamrih, rame ing gawe, mungkin pepatah Jawa ini tepat disandangkan pada Bu Risma. Beliau bekerja, turun langsung ke lapangan, memegang sapu jalanan, menarik selang air mobil PMK, berlarian ke sana kemari dengan handy talkie di tangan sambil memberi instruksi, mengajak lurah dan camat meninjau titik-titik genangan air saat hujan turun, semua itu dilakukannya nyaris tanpa sorot kamera dan pemberitaan media massa. Warga mendengarnya dari cerita mulut ke mulut, lalu mereka lihat dan rasakan sendiri hasilnya. Cobalah datang ke Surabaya, ajak bicara warga Surabaya biasa, mereka bangga dengan “ibu” walikota mereka.

[caption id="attachment_311828" align="aligncenter" width="597" caption="Sungai Kalimas di siang hari (foto : koleksi pribadi teman penulis)"]

13922869731438266469
13922869731438266469
[/caption]

“Mengubah mindset dan habit”, itu yang dikatakan Bu Risma saat diwawancara Metro TV beberapa waktu lalu tentang kiatnya mengajak warga Surabaya membangun kotanya. Sebab, jika mindset dan habit itu sudah tertanam dalam diri warga kota, maka siapa pun pemimpinnya, meski Bu Risma tak lagi menjabat, pemeliharaan kota tetap berlanjut. Tak heran kalau pendekatannya itu didukung penuh warga Surabaya. Salah satu dampaknya pernah saya tuliskan DISINI, Surabaya dinobatkan sebagai kota terbaik se-Asia Pasifik dari sisi partisipasi warganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun