[caption id="attachment_284874" align="aligncenter" width="475" caption="Jembatan ala Indiana Jones di Lebak (foto : www.tempo.co)"][/caption]
Sejak Banten memisahkan diri dari Jawa Barat pada tahun 2000 dan menjadi propinsi sendiri, nyaris tak ada kabar istimewa tentang propinsi ini yang penulis dengar. Kabar soal Banten baru menghangat pasca Pilgub Banten tahun 2006, ketika artis Marissa Haque yang ikut dalam kontestasi pilkada kemudian berlanjut menggugat mantan kompetitornya, Ratu Atut, soal ijazah Atut yang diragukan keasliannya. Selain itu, tak ada berita menarik lain soal Banten.
Desember 2009, untuk pertama kali penulis menginjakkan kaki di Banten. Seorang teman – yang bekerja free lance pada perusahaan konsultan – mengajak penulis membantunya mengambil data di sebuah perusahaan yang berlokasi di Cilegon. Sejak masuk Tangerang hingga Serang sampai Cilegon, di semua lokasi strategis ada spanduk besar, baliho atau bahkan papan iklan bergambar foto diri ibu gubernur. Semula penulis mengira bakal ada ajang pilgub. Belakangan baru tahu, narsisme ibu gubernur itu sudah pemandangan sehari-hari, bukan jelang pilgub saja. Iklan layanan masyarakat tentang posyandu, wajib belajar, bayar pajak, penggunaan BBM non subsidi, semua didominasi oleh wajah sang gubernur yang makin hari makin putih kinclong kemerahan. Bahkan reklame program dari dinas-dinas (kesehatan, pendidikan) pun wajah gubernurnya yang tampil. Bukan hanya di Serang yang notabene pusat Pemerintahan Propinsi, namun sampai ke daerah-dareah di Cilegon, Labuhan, Pandeglang, Lebak, foto ibu gubernur sangat mudah
ditemui.
[caption id="attachment_284887" align="aligncenter" width="347" caption="foto : koleksi pribadi"]
Maret 2010, penulis resmi pindah ke Banten, tepatnya di Cilegon. Makin banyak saja “kejutan” dan ketidaknyamanan yang penulis rasakan, terutama jika dibandingkan dengan kota-kota di Jawa Timur, tempat kelahiran penulis. Kota Serang dan Cilegon, dibandingkan denganSurabaya tentu sangat jauh bedanya. Baik dari segi luas wilayah maupun jumlah penduduk dan kepadatan hunian. Surabaya terdiri dari 31 kecamatan yang tiap kecamatannya lebih besar dan lebih padat dibanding Cilegon–Serang. Namun demikian, Surabaya masih jauh lebih tertata ketimbang kedua kota itu. Kondisi menyedihkan penulis lihat di kedua kota berselahan itu. Bukan hanya kebersihan kota yang kurang dipedulikan, juga kondisi jalanan yang memprihatinkan. Banyak sekali jalanan rusak parah, berlubang (meski di tengah kota) dan jalan-jalan utama yang sempit. Bahkan di titik-titik strategis seperti pintu keluar toll Serang Timur, toll Cilegon Timur dan Barat, kondisinya semrawut tak teratur.
Ternyata kondisi jalanan rusak parah itu tak hanya di 2 kota itu saja. Ketika penulis pertama kali ke daerah Labuhan karena ada undangan pernikahan rekan kerja, bisa dibilang hampir sepanjang jalan kondisi jalannya tidak bagus. Dalam kesempatan lain, penulis pernah ke PLTU Suralaya untuk urusan pekerjaan, kondisi jalanan nyaris tak jauh beda. Pernah pula bersama rombongan kantor naik bis melewati Carita untuk menghadiri pernikahan teman yang lain lagi. Rasanya sayang sekali lokasi wisata seperti pantai Anyer dan Carita tak didukung infrastruktur jalan yang memadai. Dalam kesempatan ngobrol bersama ibu-ibu komplek, penulis pernah mengeluhkan kondisi jalan yang banyak rusak parah. Ibu-ibu tetangga penulis hanya senyum dan berkata : “sudah terkenal di Banten ini gak ada jalanan mulus, yang mulus cuma wajah bu Atut”. Ternyata, joke (atau serius?!) seperti itu memang sudah lazim di kalangan warga Banten. Every one knows!Bahkan Wikipedia menyebutkan hingga akhir 2006, jalan Propinsidi Banten dengan total panjang 889,01 km yang berada dalam kondisi baik hanya 203,670 km (22,9%) saja, dalam kondisi sedang 380,020 km (42,7%),sedangkan yang dalam kondisi rusak sepanjang 305,320 km (34,34%). Kalau dipetakan akhir 2013, bisa jadi kondisi jalan yang rusak makin panjang.
[caption id="attachment_284890" align="aligncenter" width="366" caption="foto : koleksi pribadi"]
Penulis relatif sering mengunjungi perusahaan mitra kerja di Ciwandan. Itulah saat yang paling menyiksa. Betapa tidak, jalanan rusak parah, berdebu tebal dan berlubang-lubang. Antrian panjang kendaraan menuju pabrik-pabrik sepanjang Ciwandan–Anyer, membuat kondisi itu makin tak mengenakkan. Kalau naik mobil – sejenis Avanza, sayang kalau sedan – saja tersiksa, bagaimana pula pengendara motor atau penumpang angkot? Padahal angkot warna abu-abu metalik yang penulis lihat sepanjang jalan arah ke Anyer sampai Labuhan, kondisinya sudah perlu diremajakan. Bukan hanya di musim kemarau kondisi jalanan tersebut menyiksa, saat musim hujan lebih parah lagi, karena banyak kubangan air yang sangat dalam dan lebar bisa membuat mobil terperosok, apalagi motor. Belum lagi lumpur tebal nyaris sepanjang jalan.
Dalam beberapa kali tugas kantor, penulis diantar rekan kerja, sebut saja pak Rahman, warga asli Cilegon. Pria paruh baya ini dulu pernah ditugaskan mengkoordinir pekerjaan di Suralaya, jadi sudah terbiasa wira wiri naik motor. Sambil menyopiri mobil kantor, pak Rahman kerap bercerita tentang kondisi Banten. Pernah penulis ditunjukkan rumah ibu tiri bu Atut – salah satu istri Chasan Sochib – yang menjadi wakil bupati Pandeglang. Sebagai orang asli Banten yang sudah berumur, Pak Rahman banyak tahu kondisi sosial dan sejarah “kekuasaan” disana. Pernah pula, sekitar sebulan jelang Pilgub Banten 2011, kami melewati jalan Anyer–Labuhan, sedang ada perbaikan jalan sekedarnya, hanya beberapa ratus meter saja. Pak Rahman berkata : “Mbak, coba lihat truk-truk itu, semuanya SC kan?”. Betul, semua truk dan alat berat yang terlihat di lokasi perbaikan jalan, ada logo “SC”. Pak Rahman menjelaskan SC itu lambang perusahaan milik Chasan Sochib (ayah Atut) : Sinar Ciomas. Katanya, perbaikan jalan dan pembangunan infrastruktur yang dilakukan Pemprov Banten, biasanya kontraktornya SC. Hmmm..., jadi ceritanya dana dari APBD tak lari kemana.
[caption id="attachment_284892" align="aligncenter" width="300" caption="Jembatan ala Indiana Jones (foto : www.erabaru.net)"]
Januari 2012, publik dikejutkan tersebarnya foto di harian terkemuka Inggris, Daily Mail dan Reuters. Foto bergambar anak-anak SD yang bergelantungan bertaruh nyawa pada tali temali yang sudah tak beraturan, kaki mereka sesekali berpijak pada serpihan papan lapuk yang masih tersisa untuk menyeberangi sungai besar berarus deras demi bisa ke sekolah, sontak membuat publik terkejut karena terjadi di Lebak, Banten, hanya beberapa jam dari Jakarta, ibukota negara. Semua geram, semua menghujat, tapi adakah Gubernurnya peduli? Sekedar memberikan pernyataan pun tidak. Setelah beritanya mendunia, jembatan itu ditinjau Kementrian PDT (Pembangunan Daerah Tertinggal). Seorang Gubernur selayaknya malu, jika ada daerah dalam wilayah kepemimpinannya yang disebut tertinggal. Apalagi sang Gubernur sudah memasuki 3 kali masa jabatan. Periode pertama, Ratu Atut menjabat sebagai wakil gubernur yang kemudian di tahun ketiga menjadi Plt. Gubernur karena Gubernurnya jadi tersangka kasus korupsi. Periode kedua Atut menjadi Gubernur setelah memenangkan Pilgub 2006, lalu pada Januari 2012 dilantik kembali jadi Gubernur hasil Pilgub 2011 yang kemenangannya sempat digugat di MK dan kini disidik KPK.
[caption id="attachment_284894" align="aligncenter" width="552" caption="Kondisi angkutan umum di sekitar Pandeglang. Perhatikan ibu di atas, menggendong balita (foto : koleksi pribadi)"]
Maret 2012, penulis ke Malingping, menuju rumah Siti, bocah yatim penjual bakso. Dalam perjalanan, penulis jumpai jembatan dengan kondisi yang sama persis dengan jembatan ala Indiana Jones yang masuk Daily Mail. Maka yakinlah penulis bahwa apa yang berhasil dijepret wartawan foto Reuters itu hanyalah salah satu saja. Yang serupa dengan itu masih banyak di sekitaran Pandeglang – Lebak. Angkutan umum menuju daerah kabupaten pun mengenaskan kondisinya, sangat tidak nyaman dan tak aman bagi keselamatan penumpang. Ketika tiba di lokasi menuju rumah Siti, kondisi infrastruktur dan sarana fasos–fasum warga yang sangat minim dan memprihatinkan, makin banyak penulis temui. Itu baru satu daerah saja, kampung-kampung lain mungkin kondisinya tak jauh beda.
[caption id="attachment_284895" align="aligncenter" width="480" caption="Jembatan menuju ke kampung Siti (foto : koleksi pribadi)"]
Jika dalam satu propinsi, kondisi beberapa kota dan kabupaten sama-sama memprihatinkan, tentu perlu dipertanyakan bagaimana gubernurnya meng-endorse para bupati dan walikota agar berkompetisi secara sehat memajukan, memakmurkan dan mengembangkan daerahnya. Apalagi propinsi ini kecil, hanya ada 4 kota dan 4 kabupaten saja. Bandingkan dengan 3 propinsi lain di Jawa yang lebih dari 30 kabupaten/ kota. Belum lagi di semua kabupaten/kota, ada sanak saudara dan kolega separtai ibu gubernur yang jadi kepala atau wakil kepala daerah. Begitu juga patut diragukan efektifitas pengawasan DPRD setempat, yang kabarnya posisi-posisi strategis di legislatif daerah dikuasai keluarga dan kerabat ibu gubernur. Jika semua anggota keluarga yang didudukkan di eksekutif dan legislatif bekerja dengan sungguh-sungguh dan menjalankan fungsinya dengan baik, bukankah seharusnya koordinasi bisa lebih maksimal, mudah dan intensif?!
[caption id="attachment_284896" align="aligncenter" width="461" caption="Anak-anak di Lebak dalam usia sekecil ini sudah harus bekerja membantuorang tua mereka (foto :koleksi pribadi)"]
Suatu hari di tahun 2011, beberapa pekan sebelum Pilgub, penulis melihat tayangan di TV, sebuah sekolah di Banten ambruk, seorang siswinya tewas. Penulis menuliskan tragedi itu di status FB yang kemudian dikomentari oleh salah satu teman FB penulis. Katanya ia sudah menduga sekolah itu bakal ambruk sejak 2 bulan lalu, saat dia dan suami Atut melewati sekolah tersebut. Dia sempat mengatakan : “gak lama lagi, gak sampe 2 bulan lagi, sekolah ini bakal ambruk!”. Dan.., ternyata sekolah itu benar-benar ambruk! Padahal kalau saja segera mendapatkan penanganan dan bantuan dana, siswi sekolah itu tak perlu mati sia-sia. Dua bulan cukup untuk mengantisipasinya. Ternyata, ketika penulis googling soal sekolah ambruk di Banten, setidaknya ada 3 kejadian sekolah ambruk dalam sebulan : Madrasah di Bayah, Lebak (seorang siswi tewas), SMP di Labuan, Pandenglang (12 siswa luka-luka) dan SD di Kasemen, Serang (tak ada korban karena terjadi di hari Minggu). Menurut Tempo.co, anggaran pendidikan di Propinsi Banten sangat kecil, tidak mencapai 20% sebagaimana seharusnya. Nilainya baru berkisar di angka 10–11%. Anggaran pendidikan itu hanya 9,7% saja dari total APBD Banten 2011 yang nilainya Rp 4,3 triliun.
[caption id="attachment_284897" align="aligncenter" width="315" caption="sekolah ambruk di Pandeglang (www.suarapembaruan.com)"]
Kondisi sosial ekonomi masyarakatnya pun tak kalah menyedihkan, terutama di Pandeglang dan Lebak. Penulis pernah mengajak ngobrol seorang lelaki usia 40-an tahun yang setiap weekend penulis temui berjualan otak-otak di area jogging track Krakatau Junction. Setiap usai subuh ia berangkat naik angkot dari Labuhan ke Serang atau Cilegon, membawa 100-200 bungkus otak-otak bikinan mertuanya. Seharian ia jajakan jualannya di pusat-pusat keramaian, berjalan kaki berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Khusus weekend ia mendahulukan berjualan di jogging track, berharap jualannya laku dibeli keluarga-keluarga yang jalan-jalan disitu. Tak banyak untung bersih yang diperolehnya setiap hari dari berjualan otak-otak harga seribu perak. Kalau jualannya tak laku dan belum habis sampai petang, ia bahkan bisa tak mengantongi untung setelah dipotong uang makan dan ongkos angkot. Padahal, esoknya ia harus bangun dini hari, membantu menyiapkan otak-otak yang bakal dijual. Kalau saja industri pariwisata di Anyer dan Labuhan hidup dan didukung infrastruktur jalan yang bagus, tentu warga lokal bisa berjualan disekitar tempat tinggalnya tanpa harus jauh-jauh ke Cilegon dan Serang, membayar ongkos angkot yang mahal (Rp. 20.000,00) dan menanggung sakit sekujur tubuh karena guncangan akibat jalanan yang rusak parah.
[caption id="attachment_284898" align="aligncenter" width="480" caption="Penjual otak-otak asal Labuhan (foto : koleksi pribadi)"]
Di sisi lain, terlepas dari kondisi memprihatinkan di atas, kabar lain kerap terdengar soal gaya hidup mewah gubernur Banten dan keluarganya. Menjelang Pilgub 2011, banyak beredar broadcast di BBM soal mengalirnya dana-dana hibah, bansos dan lain-lain ke kantong-kantong LSM/ormas yang digawangi kerabat gubernur. Belum lama ini juga protes keras sejumlah elemen mahasiswa dan penggiat anti korupsi, menyoal dana APBD untuk rumah dinas gubernur. Atut mengajukan dana milyaran rupiah untuk merenovasi rumah dinas, tapi ujung-ujungnya rumah dinas itu diterlantarkan, dibiarkan tak terawat, sementara Atut memilih tinggal di rumah pribadinya. Kendati menempati rumah pribadi atas kehendak sendiri, namun seolah tak mau rugi, Atut menyewakan rumah pribadinya! Pemprov Banten harus membayar ratusan juta rupiah per tahun, belum lagi biaya pemakaian segala sarananya. Dan semua kekonyolan itu disahkan saja oleh DPRD Banten!
Kini, ICW merilis data : keluarga Ratu Atut selama 2011–2013 saja, menguasai setidaknya 175 proyek di propinsi Banten dengan nilai Rp. 1,148 triliun. Proyek-proyek tersebut dikendalikan melalui 12 perusahaan yang dioperasikan langsung oleh keluarga Atut dan puluhan perusahaan lain yang dioperasikan oleh kroni-kroninya. Metro TV memberitakan ini dalam konteks diskusi para pakar dan pengamat terkait rilis ICW tersebut. Sementara SCTV bahkan membuat segmen khusus di acara Liputan 6, dilengkapi dengan tayangan betapa parahnya kemiskinan di banyak wilayah di Banten, terutama Lebak. Tayangan gambar kondisi infrastruktur yang parah, terasa sangat kontras dengan tayangan deretan belasan mobil mewah di garasi rumah pribadi Wawan, adik Atut, yang harga per unit mobil bisa lebih dari semilyar. Ironis! Bang Rhoma pantas mengatakan “sungguh ther-lha-luh!”
[caption id="attachment_284899" align="aligncenter" width="480" caption="Otak-otak seribu rupiah dijual dari Labuhan sampe ke Serang dan Cilegon (foto : koleksi pribadi)"]
Salahkah politik dinasti? Tentu tidak salah, jika dinasti itu amanah dan kinerjanya baik. Kalau saja anggota dinasti yang jadi kepala daerah seperti Pak Jokowi dan Bu Risma (walikota Surabaya), tentu tak ada yang mempersoalkan, sebab memang layak memimpin. Tapi kalau membangun dinasti hanya untuk menampung dana-dana APBD agar mengalir ke kantong-kantong keluarga dan kroni, untuk menjaga kesinambungan kongkalikong eksekutif dan legislatif dari daerah sampai pusat, inilah yang menyengsarakan rakyat.
Rasanya apa yang terjadi di Banten di abad XXI ini tak terlalu jauh beda dengan kisah yang ditulis Multatuli dalam novel Max Havelaar tentang bupati Lebak di tahun 1800-an, menyengsarakan rakyatnya dengan tanam paksa demi membiayai gaya hidup sang bupati yang lebih besar pasak dari pada tiang. Kini, Gubernur Banten yang selama ini tak tersentuh hukum, mulai dicekal KPK. Adiknya ditahan KPK dan orang dekatnya ditahan Kejati. Penulis akan menuliskan respon kelas menengah terdidik di Banten dan mulai beraninya aparat hukum di Banten menyentuh orang-orang dekat Banten dalam tulisan selanjutnya.
tulisan selanjutnya bisa dibaca di sini :
KEJANGGALAN DANA HIBAH DAN BANSOS PROVINSI BANTEN JELANG PILGUB 2011