Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Money

Hati-hati Penawaran "Menjebak" AXA Mandiri Melalui Rekening Payroll

8 Januari 2013   00:22 Diperbarui: 21 Agustus 2017   14:29 5921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggapan resmi dari pihak Axa Mandiri bisa dibaca di sini.

************************************************

Sejak Kamis pagi, 3 Januari lalu, telepon kantor di ruangan kami mendadak sering berdering. Anehnya, penelponnya sama-sama mengaku dari Bank Mandiri, meski orangnya berbeda-beda, pria dan wanita. Yang dicari pun berbeda-beda. semuanya karyawan kami yang bertugas di lapangan/ pabrik. Karena jumlah karyawan kami ratusan dan tersebar di beberapa lokasi perusahaan yang berbeda, hampir semua telepon itu tidak bisa kami sambungkan pada yang bersangkutan. Sebab kami juga tidak mencatat nomor HP semua karyawan. Di lapangan, cukup para Pengawas (Superintendent) yang kami beri ponsel sekaligus simcard dengan operator yang sama. Jadi bisa dibilang kami tak pernah berhubungan dengan karyawan melalui nomor telepon kantor.

Semula saya kira ada penawaran kredit dari Bank Mandiri kepada pekerja kami yang memang menjadi nasabah Bank Mandiri karena gajinya dibayarkan melalui Bank Mandiri. Saya mulai khawatir ketika beberapa telepon itu mencari karyawan kami yang tinggal beberapa bulan lagi akan memasuki usia pensiun. Akhirnya, sore itu saya minta kalau ada telepon lagi dari Bank Mandiri,agar disambungkan ke saya. Kebetulan saat itu penelponnya wanita, saya tanya ada urusan apa mencari karyawan kami, dia tak mau menjawab dan berkilah itu rahasia, hanya nasabah langsung yang boleh tahu. Saya menebak soal kredit dan meminta pihak Bank Mandiri sebaiknya datang saja ke kantor kami lebih dulu untuk membicarakan kredit yang ditawarkan, nanti kami akan membantu memberikan data sisa masa kerja serta rekam jejak karyawan yang kredibel untuk diberi kredit. Sebab jika penerima kredit ternyata karyawan yang buruk catatan disiplinnya dan suatu saat di-PHK, bukankah bank merugi atas kelangsungan angsurannya? Si mbak di ujung telepon tak mengiyakan maupun menolak tebakan dan saran saya, dia lalu menutup telepon.

Hari Jumat, telepon serupa kembali ramai. Kebetulan ada salah seorang yang kemarin dicari oleh penelpon, pagi itu datang ke kantor. Dia memang diminta datang oleh staf kami karena kemarin penelpon mengatakan ada kabar gembira untuk Pak Kasmin (sebut saja begitu). Staf kami mengira Pak Kasmin mengajukan kredit dan disetujui. Ternyata saat kami tanya, Pak Kasmin menjawab dirinya ditawari asuransi dari AXA Mandiri, padahal ia tidak tahu apa itu asuransi. Pak Kasmin orangnya sudah tua dan lugu.

Karyawan lain ada yang mengadu, ia pernah dihubungi melalui ponsel, ditawari ikut program asuransi kesehatan. Karena tak tahu apa yang dibicarakan, orang itu hanya menjawab “iya” dan “iya” saja setiap kali ditanya. Si penelpon mengatakan bahwa pembicaraan mereka direkam dan jawaban dari karyawan kami tersebut dianggap persetujuan. Setelah itu rekening gajinya selalu berkurang sekitar Rp. 500 ribuan setiap kali ada transfer gaji masuk. Tampaknya Bank Mandiri melakukan pemotongan auto debet sebagai pembayaran asuransinya. Karyawan tersebut mengeluh keberatan. Uang sejumlah itu besar sekali dibandingkan gaji pokoknya yang berbasis UMK. Bahkan ia katakan, kalaupun harus menabung, ia tak akan mampu menyisihkan sejumlah itu. Sementara, ia dan keluarganya tak pernah memanfaatkan layanan asuransi kesehatan.

Karena sepanjang hari Jumat itu telepon yang sama masih cukup banyak yang masuk, saya putuskan untuk menghadapi penelpon dengan lebih tegas. Saya pesankan agar telepon berikutnya disambungkan ke saya. Kali ini petugas telemarketer-nya pria. Saya tanya “dari mana” ia menjawab “dari Bank Mandiri”. Langsung saja saya ‘tembak’ : “dari AXA Mandiri kan? Bukan Bank Mandiri!”. Akhirnya penelpon mengiyakan tebakan saya. Selanjutnya, saya berusaha menguasai pembicaraan, sebelum di ujung sana bertanya, sayalah yang lebih dulu menanyainya.

Saya cecar penelpon dengan pertanyaan dari mana ia mendapat nomor telepon perusahaan kami. Dijawabnya dari data karyawan kami sebagai nasabah Bank Mandiri. Jelas itu tak mungkin, sebab kami baru pindah kanrtor ke gedung baru awal Desember 2012 dan telepon itu baru diaktifkan. Bahkan karyawan kami pun tidak tahu. Rupanya mereka mendapatkan nomor telepon baru ini setelah menghubungi nomor lama kami yang tersambung pada resepsionis Grup Perusahaan kami. Si penelpon menyebutkan nama perusahaan kami yang ternyata itu nama perusahaan tahun 2009, padahal pada awal 2010 perusahaan kami sudah berganti nama karena perluasan lini usaha. Begitu pun alamat kantor yang dia sebutkan, sebuah alamat di kampung, tak tertera nama jalan, hanya nama lingkungan serta RT/RW-nya saja. Padahal Grup Perusahaan kami memiliki lahan sendiri dimana semua anak perusahaan berkantor di alamat yang sama meski menempati gedung-gedung yang berbeda. Tidak pernah perusahaan kami berkantor di perkampungan/ perumahan.

Saya pun ganti mencecarnya dengan minta nomor telepon kantor, nomor fax, alamat kantor dan email resmi perusahaan. Saya nyatakan keberatan dengan cara-cara pemasaran paket asuransi kesehatan yang tidak etis dan menjebak. Para petugas telemarketing itu mendapatkan data-data nasabah dari Bank Mandiri, lalu mereka menghubungi langsung jika kebetulan nomor HP-nya bisa dihubungi. Jika tak tercantum nomor HP, mereka menghubungi telepon kantor. Masalahnya adalah : karyawan kami yang disasar itu adalah karyawan di level buruh yang tingkat pendidikannya beragam, mulai lulusan SD sampai SMA dengan tingkat pemahaman yang tak semuanya paham dengan produk-produk perbankan dan asuransi serta resiko dan kewajibannya.

Curangnya, cukup dengan menjelaskan melalui telepon – yang menurut pengakuan karyawan kami dilakukan dengan cara “nyerocos” tanpa bisa disela – mereka menganggap pihak yang ditelepon sudah paham jika menjawab “iya”. Jawaban itu direkam lalu dijadikan dasar sebagai persetujuan membeli paket program asuransi yang mereka tawarkan. Lalu, tanpa ada formulir tertulis yang ditandatangani nasabah yang bersangkutan, mereka bisa meminta Bank Mandiri melakukan pemotongan auto debet atas rekening nasabah, sebagai pembayaran premi asuransi.

Saya mengecam habis-habisan trik pemasaran menjebak seperti itu yang saya nilai tidak etis dan tidak mengindahkan hak-hak nasabah untuk berpikir lebih jauh, berdiskusi dengan keluarga dan mencari tahu lewat orang yang lebih paham. Sekali lagi saya meminta pihak AXA Mandiri datang ke kantor kami, mempresentasikan program yang mereka jual, jika sesuai dengan kebutuhan kami, bisa kami bantu tawarkan pada karyawan secara selektif dengan mempertimbangkan kemapuan finansial karyawan. Sebab karyawan di lapangan yang mereka sasar rata-rata penghasilannya masih pas-pasan dan tingkat sosial ekonomi mereka belum pada taraf butuh membeli asuransi apapun. Umumnya masih berkutat dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Tak lupa saya katakan bahwa kami akan mengirim surat keberatan resmi kepada AXA Mandiri.

Senin pagi, saya konsepkan surat yang ditandatangani Direktur kami, berisi 10 point keberatan atas penawaran dan trik pemasaran tidak etis dari para petugas telemarketing AXA Mandiri. Surat itu saya fax ke kantor AXA Mandiri pusat (sesuai pengakuan penelpon hari Jumat sore) dan tembusannya akan kami serahkan langsung kepada Bank Mandiri cabang dimana kami membuka rekening payroll bagi karyawan kami.

Intinya, keberatan itu meliputi hal-hal berikut :

1. Penelpon mengaku dari Bank Mandiri padahal petugas telemarketing dari Axa Mandiri.

2. Yang dijadikan sasaran adalah karyawan di lapangan yang tingkat pendidikan dan pemahamannya beragam dan awam dengan masalah/produk perbankan dan asuransi serta tidak paham resikonya.

3. Data karyawan kami diambil dari data nasabah tabungan di Bank Mandiri, yang mana rekening tersebut adalah rekening payroll untuk mentransfer gaji karyawan.

4. Penawaran program dilakukan melalui telepon, dimana jawaban target direkam dan ketika target menjawab “iya” untuk beberapa pertanyaan, maka dianggap telah menyetujui untuk membeli paket program asuransi kesehatan yang premi bulanannya dipotong secara auto debet dari rekening gaji karyawan tersebut.

5. Ada pengaduan dari karyawan kami, rekening gajinya setiap bulan dipotong sekitar Rp. 500.000,-an yang mana hal tersebut dianggap sebagai pembayaran premi asuransi kesehatan yang tidak pernah diniatkan untuk diikuti.

6. Karyawan kami diwajibkan membayar premi dengan cara dipotong auto debet rekening gajinya, namun tidak dapat memanfaatkan benefitnya karena kurang paham mengenai bagaimana memanfaatkan asuransi kesehatan.

7. Karyawan kami yang menjadi sasaran masih berada pada tingkatan sosial ekonomi yang belum memprioritaskan membeli asuransi kesehatan.

8. Kami telah 2 (dua) kali meminta para petugas telemarketing agar datang ke kantor kami, untuk terlebih dahulu membicarakan mengenai program ini sebelum dipasarkan secara langsung kepada karyawan dengan cara memanfaatkan ketidakpahaman karyawan sehingga mereka terjerat untuk mengiyakan.

9. Kami keberatan data pribadi dan data perusahaan dari rekening payroll nasabah Bank Mandiri diberikan secara terbuka kepada pihak ketiga (dalam hal ini AXA Mandiri) yang kemudian menyerahkan lagi kepada petugas-petugas telemarketing yang kemungkinan status kepegawaiannya bukanlah karyawan tetap yang bisa sewaktu-waktu keluar/ menghentikan hubungan kerja. Karena itu, kami merasa tidak aman karena data nasabah tersebut berpotensi disalahgunakan.

10. Apabila Bank Mandiri dan AXA Mandiri tidak menindaklanjuti hal ini dengan sepatutnya, kami akan memindahkan seluruh rekening payroll karyawan kami ke bank lain dan selanjutnya kami akan melaporkan hal ini kepada otoritas pengawasan Bank Indonesia, menyangkut etika dan kerahasiaan nasabah.

 

Sayangnya, siang hari setelah surat keberatan kami fax, ada lagi telepon masuk dari petugas telemarketing pria, kali ini mengaku dari Kartu Kredit Bank Mandiri. Padahal karyawan kami yang dicarinya tak memiliki kartu kredit. Setelah saya desak dengan nada tegas apa benar ia dari Mandiri Card Center, akhirnya ia mengaku dari AXA Mandiri. Saya makin kesal dengan ketidakjujuran ini. Seolah mereka punya 1001 cara untuk memperdaya dan mengecoh calon korban yang tak lain nasabah Bank Mandiri. Ketika saya katakan kami sangat keberatan dengan “ke-ndableg-an” AXA Mandiri dan akan membuka masalah ini melalui media sosial di internet dan surat pembaca di media mainstream, si penelepon ternyata malah menantang dan mempersilakan. Lalu tanpa sopan santun ia menutup telepon sebelum saya menanyainya lebih jauh.

Maka, inilah keluhan saya sebagai nasabah Bank Mandiri sekaligus sebagai pihak HRD Perusahaan yang merasa perlu dan wajib melindungi karyawan dari taktik jual beli asuransi yang tidak etis dengan memanfaatkan ketidaktahuan nasabah yang awam soal perbankan dan asuransi. Selain itu kami merasa tidak secure bila data pribadi nasabah dan data alamat perusahaan dari rekening payroll bisa dengan seenaknya diberikan kepada pihak ketiga. Dimana jaminan kerahasiaan nasabah dari Bank Mandiri sebagai bank Pemerintah terbesar?

Demikian pula AXA Mandiri, jika ingin mencari pelanggan asuransi kesehatan, kenapa mereka tak menyasar nasabah pribadi (bukan rekening payroll) yang saldonya cukup besar sehingga patut diduga pemilik rekening cukup mampu menyisihkan uang untuk ditabung. Perlu diketahui, rekening payroll karyawan kami umumnya langsung ditarik habis setiap kali menerima transfer gaji, THR, gaji ke-13 dan apapun yang dibayarkan melalui rekening gaji mereka. Karena itu sangat merugikan dan tidak berperikemanusiaan jika ada pihak ketiga yang memotong gajinya tanpa mereka sadari sepenuhnya. Tidak selayaknya juga bank bisa melakukan pemotongan auto debet hanya atas permintaan pihak ketiga, tanpa ada persetujuan tertulis dari pemilik rekening. Mungkin ada pembaca yang paham aturan perbankan dan etikanya secara lebih detil? Mohon saran dan masukannya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun