[caption id="attachment_223401" align="aligncenter" width="560" caption="Tiga generasi perempuan di keluarga kami"][/caption]
Dari sejak aku kecil sampai setua ini, hampir semua hal yang kubutuhkan sudah dilakukan Ibuku. Waktu aku mulai sekolah SD, selalu Ibu yang mengambil rapotku di sekolah, hadir kalau ada undangan rapat wali murid, mengantarkan surat ijin dokter ke guru kelas kalau aku sakit, pokoknya semua urusan Ibu yang menangani.
Ini semua tak lepas karena sejak aku menjelang umur 7 tahun Bapakku sakit. Aku masih ingat saat itu hari Minggu, aku dibangunkan Mbah Putri (Ibunya Ibu), katanya Bapakku sakit. Dengan mata masih setengah melek, aku ikuti langkah Mbah Putri ke beranda belakang rumah, disitu kulihat Bapak duduk sambil terbatuk-batuk mengeluarkan darah segar yang seolah muncrat. Sementara Ibu memegangi sebuah timba kecil. Ya, Bapakku dulu perokok berat, rupanya paru-paru beliau rusak karena nikotin. Sejak itu Bapak keluar masuk rumah sakit. Karena di Bondowoso kota kecil kami rumah sakitnya tak memadai untuk penyakit Bapak, maka Bapak dirawat di RS di Jember, kota tetangga yang jaraknya 30-an km. Tiap 2 hari sekali Ibu menunggui Bapak di RS. Aku dan adikku dititipkan Mbah Putri dan pembantu di rumah.
Rasanya ada yang kurang kalau Ibu tak di rumah. Kalau sampai sore Ibu belum pulang, aku kecil mulai merasa tak enak. Baru kalau sudah jelang maghrib kudengar ketukan di pintu dan kulihat wajah Ibu di kaca jendela sambil tersenyum, aku lega. Tiap hari Minggu, aku diajak Ibu menengok Bapak. Aku menabung uang jajanku selama seminggu, lalu kubelikan sebatang coklat yang kemasannya kuning bergambar kincir angin. Itu sudah coklat bagus jaman dulu. Juga sebungkus roti manis bulat dengan beberapa butir kismis di atasnya. Meski nantinya sesampai di rumah sakit, kedua makanan itu akan dikembalikan Bapak untuk kumakan. Ya, “weekend”ku bersama Ibu adalah menjenguk Bapak. Adikku masih terlalu kecil, jadi dia di tinggal di rumah.
[caption id="attachment_223402" align="aligncenter" width="576" caption="Ekspresi cinta sang cucu pada nenek"]
Lima tahun Bapak sakit – meski tidak terus menerus, tapi hampir tiap tahun selalu saja ada saatnya Bapak kambuh yang terkadang harus kembali masuk RS – sampai akhirnya Allah memanggilnya saat aku kelas 5 SD baru mau naik ke kelas 6. Sejak itu, Ibu berperan ganda : jadi Ibu sekaligus Bapak. Ibu yang tidak bekerja formal akhirnya hanya mengandalkan kemampuannya memasak dan membuat beraneka kue untuk membiayai kami berdua, karena pensiun janda dari mendiang Bapak sangat kecil. Bahkan seandainya saat itu sudah ada UMK, uang pensiun Ibu lebih kecil dari UMK, karena sekarang pun kalah dengan UMK.
--------------------------------------------------
Kami terus bertumbuh bersama Ibu. Satu hal yang tak akan pernah kulupa, waktu aku SMA tiap hari naik becak pulang-pergi sekolah. Kalau jam pulang sekolah, Ibu selalu sudah siap dibalik jendela kaca depan rumah, menungguku. Apalagi kalau hari hujan, Ibu siap dengan payung. Begitu melihat becak berhenti di depan rumah, Ibu segera bergegas menjemputku agar tak sampai kehujanan. Ini kenangan manis yang terus melekat di benakku. Senyum Ibu tiap aku pulang sekolah, menandai beliau selalu siap mendengar apapun rentetan cerita yang keluar dari mulutku. Ibuku sampai hafal nama-nama teman sekolahku, meski belum tahu yang mana anaknya, karena seringnya mendengar ceritaku. Bukan hanya senyum Ibu yang selalu siap di depan pintu, di meja makan pun sudah disiapkan cemilan buatan Ibu.
--------------------------------------------------
Tamat SMA, aku melanjutkan kuliah di Surabaya. Ibu juga yang mengantarku daftar ulang dan mencari tempat kost. Tiga minggu setelah aku kost, tiba-tiba Ibu datang sambil membawa beraneka peralatan kebutuhan anak kost – ember cucian, hanger gantungan baju, dll – tanpa lebih dulu memberitahuku. Tak terbayang Ibu membawanya sendiri naik bis – waktu itu belum ada bis Patas AC dari Bondowoso ke Surabaya. Katanya Ibu kepikiran karena saat kost pertama kali tak banyak uang yang diberikannya padaku, kuatir aku tak bisa membeli apa-apa dan harus pinjam teman. Aku yang baru selesai Penataran P4 Pola 100 jam (“opspek” jaman Orba) kaget bukan kepalang ketika ada ketukan di pintu kamarku ternyata yang muncul senyum Ibu. Kaget yang membahagiakan!
--------------------------------------------------
Selepas wisuda, aku menunggu saatnya mulai bekerja. Waktu itu, aku menyelesaikan tahun-tahun terakhir kuliahku dengan beasiswa dari Bank Dunia. Sejak itu pula aku meminta Ibu untuk tak lagi mengirimiku uang. Aku tahu, Ibu sering – bahkan bisa jadi selalu – terpaksa berhutang agar bisa membayar uang kuliahku, bahkan kiriman bulanan pun dikirim 2 bulan sekali. Sejak ada beasiswa dari World Bank yang jumlahnya lumayan besar, aku bisa sedikit menabung untuk keperluan penelitian dan tugas akhir, meski sesuai perjanjian biaya itu semua akan ditanggung setelah aku mengirimkan proposal yang sudah disetujui dosen pembimbing.
Namun entah kenapa.justru di saat aku membutuhkan biaya untuk merampungkan penelitian dan tugas akhirku, beasiswa itu mendadak “macet”. Tampaknya ada perubahan personil yang menangani laporan, sehingga laporan progress kuliahku tak sampai kepada yang berwenang dan untuk itu beasiswaku di stop karena dianggap lalai tak melaporkan diri. Sambil terus berusaha menjalin korespondensi dengan pihak penghubung, sedikit demi sedikit tabunganku terpakai, sampai akhirnya habis saat aku diwisuda. Ibu tahu itu, karena untuk membayar ongkos angkot saja aku musti mengumpulkan sisa-sisa uangku. Saat itu Ibu mengulurkan selembar 10 ribuan – mungkin setara dengan 100 ribuan sekarang – tapi kutolak dan kujawab uangku masih ada.
Hampir 2 minggu setelah wisuda, tiba-tiba Ibu datang ke Surabaya. Alasannya sederhana : aku tak berkirim surat dan tak menelpon. Dalam pikiran Ibu cuma ada satu alasan : Ira tak punya uang buat beli perangko atau ke wartel. Jadi Ibu menyempatkan datang ke Surabaya untuk memastikan aku baik-baik saja. Alhamdulillah, pas pada hari kedatangan Ibu, aku baru saja pulang dari bank di kampus mencairkan seluruh dana beasiswaku beberapa bulan lalu yang macet dan dibayar secara rapel. Kali ini senyum Ibu membawa berkah. Langsung saja kuajak Ibu ke Jakarta, jalan-jalan.
--------------------------------------------------
[caption id="attachment_223405" align="aligncenter" width="576" caption="Beberapamoment ulang tahun Ibu dari tahun ke tahun"]
Kini, sejak aku pindah ke Cilegon, Ibu tinggal bersamaku. Tiap sore menjelang aku pulang kantor, Ibu duduk di kursi ruang depan dan membiarkan pintu terbuka lebar. Masih sama seperti saat aku sekolah di Bondowoso dulu. Terkadang Ibu nonton TV di dalam, tapi begitu mendengar suara pintu pagar depan dibuka, Ibu langsung bergegas membuka pintu depan rumah, meski aku selalu membawa kunci sendiri. Seolah Ibu tak ingin kehilangan moment menyambut anaknya.
Kini, di usianya yang sudah 82 tahun tepat 4 hari yang lalu (19 Desember 2012), Ibu sudah mulai sering sakit. Tepat 2 tahun lalu, persis seminggu setelah ulang tahunnya yang ke 80 tahun, Ibu mendadak pusing seolah berputar-putar, yang kemudian divonis dokter sebagai vertigo. Sejak itu vertigo Ibu beberapa kali kambuh.
Yang paling lama sekitar Maret – April 2012 lalu. Dokter spesialis syaraf yang memeriksa Ibu melakukan beberapa macam tes untuk menguji kesetimbangan Ibu. Setiap kali satu tes dilakukan, dokter itu geleng-geleng kepala sambil mengucap “Subhanallah” karena meski dalam kondisi sakit ternyata Ibu “lolos” dari semua tes itu. Akhirnya dokter cuma menyimpulkan bahwa penyebab vertigo yang diderita Ibu murni karena faktor usia. Kemungkinan “rambut-rambut” halus di gendang telinga yang ukurannya mikron sudah mulai rontok. Dan itu tak mungkin tergantikan dengan buatan manusia, karena hanya ciptaan Allah yang bisa seperti itu. Yang bisa kami lakukan hanyalah menjaga agar Ibu tak terlalu lelah, cukup asupan makanan seimbang gizi dan istirahat.
Satu lagi kekaguman dokter : aktivitas Ibu memasak setiap hari, asal tidak sedang sakit. Bahkan membuat kue atau cemilan pun nyaris tiap hari. Aku tak bisa melarangnya, karena Ibu justru bete kalau dilarang. Kata dokter, kemungkinan besar justru itu yang menghindarkan Ibu dari penyakit lupa dan pikun. Sebab memasak memerlukan ketrampilan merencanakan, mengingat-ingat, mengkoordinasikan, dll. Memang, resep masakan apa saja Ibu ingat, meski makanan itu sudah bertahun-tahun tak pernah dibuatnya.
Beberapa hari lalu, tepat sehari sebelum ulang tahunnya ke-82, Ibu sakit. Saat Ibu sakit, tak ada yang menyambutku di depan pintu. Bahkan TV pun tak dinyalakan. Ini yang membuat aku masuk rumah dengan perasaan was-was. Kuatir ada apa-apa dengan Ibu. Hal pertama yang kulakukan setelah masuk rumah adalah melihat kondisi Ibu. Kalau kulihat makanan yang kutinggalkan tak banyak berkurang, buru-buru kusuapi Ibu untuk menebus asupan siangnya yang kurang. Beginilah kalau Ibu sakit, tak ada senyum di depan pintu dan kurasakan betapa itu membuat jantungku berdebar cemas. Hanya seulas senyum, tapi mampu membuatku bahagia. Kebahagiaan itu memang sederhana dan tak perlu jauh-jauh dicari. Kutemukan dalam senyum Ibu yang menanti di depan pintu. Selamat Hari Ibu dan selamat ulang tahun, Ibu. We love you so much...!
[caption id="attachment_223408" align="aligncenter" width="576" caption="Moment-moment indahku bersama Ibu"]
--------------------------------------------------
Terima kasih untuk Admin Kampretos yang pada WPC – 31 ini memberikan thema beragam salah satunya berbagi ekspresi cinta di Hari Ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H