[caption id="attachment_218716" align="aligncenter" width="565" caption="(foto : jakarta.tribunnews.com)"][/caption]
Hai..., suara apa itu?
Dari tadi ribut melulu
Pelantangnya memekakkanku
Bisa pecah gendang telingaku
.
Oooh..., ternyata kaum buruh bersatu
Meraung-raung konvoi motor melaju
Masuk ke pabrik yang menutup pintu
Pokoknya kalian harus ikut bersamaku!!!
Wajib itu
Supaya kelihatan banyak massaku
.
Kabarnya aksi kemarin itu
Membuahkan upah baru
Sebulan dua koma dua juta sudah ketok palu
Kawan, enaknya bisa naik gajimu...
.
Sekarang demo apa lagi kawanku?
Bukankah sudah dituruti mau mu?
Kini apa lagi tuntutanmu?
.
Oooh..., minta dijamin lansiamu
Kalo beliau yang diatas setuju
Bakal seumur hidup kau nikmati itu
Tanpa perlu kau bayar iuranmu
Sungguh beruntungnya dirimu
Sedang dimanja Pemerintahku
.
.
Sayang tak ada yang melihatku
Usai subuh sudah kukayuh sepedaku
Tahukan kawan berapa umurku?
Sudah 64 tahun kalau tak keliru
Maklum orangtua jaman dulu
Tak punya kalender di rumahku
.
Berlembar-lembar karung bekas di jok sepedaku
Bakal pembungkus sampah yang jadi jatahku
Berat terasa boncenganku
Entah berapa kilo tumpukan sampah itu
.
Sampai di rumah giliran biniku
Memilah dan memilih sampah sekedar meringankanku
Untuk kuantar ke penge-pool di ujung situ
Kutukar uang beberapa ribu
Sekedar cukup makan nasi lauk tahu
Yang penting kenyang perutku
.
.
Lain lagi kisah temanku
Jam 3 dini hari sudah ia pikul amben bambu
Yang dia beli hanya batang-batang bambu
Lalu diraut, dianyam dan dipaku
Sampai jadi amben atau bangku
Paling banyak kelar 3 buah seminggu
.
Dengan harga lima puluh ribu
Dia tawarkan amben dan bangku bambu
Berat nian dia pikul benda-benda itu
Dari desanya ke kota beralas sendal jepit butut bukan sepatu
.
Perut masih kosong, sarapan harus  menunggu
Sampai satu amben bisa laku
Baru terbeli nasi uduk lima ribu
Sore hari berharap semua laku
Petang hari kembali kerumah kayu
Seratus lima puluh ribu buat seminggu
Harus dicukup-cukupkan segitu
Sebagian lagi untuk pembeli bambu
.
.
Lihatlah tiga nenek renta itu
Mereka bukan hendak mengemis meminta uangmu
Dengan sabit tajam di tangan dan kain tersampir di bahu
Siap kerja apa saja, memikul beban berat pun mau
Asal ada beberapa puluh ribu
Penukar lelah, untuk makan anak cucu
.
Tengoklah pula seorang ibu
Pagi buta seekor sapi ia halau
Mencari rumput di lapangan hijau
Tangan kecilnya perkasa menyeret sapi yang belagu
Sebab kalau tak begitu
Dari mana ia dapat upah hari itu
.
.
Wahai kalian yang teriak menggebu,
Usai menuntut ini, besok menuntut itu
Seolah tak ada rasa puasmu
Tak pernah habis keinginanmu
.
Tidakkah kalian berkaca padaku?
Lihatlah, pada siapa kami kan mengadu?
Usia kami sudah dua – tiga kali lipat umurmu
Tak sekalipun kami istirahat berpacu
Dengan waktu dan kesulitan hidup yang menderaku
Tapi kami tak pernah mengeluh, apalagi menuntut seperti kamu
Kami hanya jalani takdir dari Tuhan-ku
.
Aku percaya DIA Maha Tahu
Disela-sela kesulitan yang membelitku
Ada pahala yang tak didapat orang selainku
Yang bersusah payah mandi keringat sekujur tubuhku
Penghapus dosa yang tak bisa ditebus dengan amalan sholat dan sedekahmu
Karena itu kami ikhlas jalani semua itu
Semoga kalian yang lebih beruntung dariku
Bisa lebih mensyukuri karuniaNYA untukmu
.
.
(Maka..., nikmat Tuhanmu yang manakah lagi yang engkau dustakan?!) . .
*semua foto kecuali yang nomer satu
adalah dokumentasi pribadiku
kujepret dari orang-orang di sekitarku
yang kutemui di pagi hari yang bisu
saat kumulai olahraga pagiku
. .
.
Untuk melihat puisi ala ratu sampe bibir maju, silakan click link ini :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H