[caption id="attachment_209878" align="aligncenter" width="476" caption="(foto : www.kapanlagi.com)"][/caption]
Darsih terpekur di sudut ruangan ukuran 3x3 meter persegi. Diselonjorkannya kakinya di lantai semen yang dingin dan hitam. Punggungnya bersandar di tembok yang sudah tak jelas warnanya, lumutan pula. Baru saja ia nonton tipi di ruang istirahat sipir penjara. Darsih memang akrab dengan mereka. Meski dirinya tahanan miskin yang tak pernah memberikan apapun untuk sipir, tapi jemari Darsih kerap menjadi solusi kalau ada sipir yang merasa penat dan butuh dipijat.
Tadi di tipi ia lihat ada ibu artis yang katanya ditahan di rutan. Darsih sering melihat wajah cantik wanita itu di tipi, baju-bajunya bagus-bagus. Anak-anaknya cantik dan ganteng. Tahun lalu, Darsih nonton di tipi juga, suami artis cantik itu meninggal dunia. Lalu entah kenapa, setahun terakhir ini si artis cantik itu makin sering masuk tipi, katanya ia dituduh korupsi. Si artis cantik itu katanya minta ditahan di rumah saja, biar bisa mengasuh anaknya, karena bapaknya sudah tiada.
Tatapan mata Darsih nanar. Tiba-tiba ia ingat keempat anaknya di kampung. Suaminya yang sopir truk sudah lama meninggal. Dengan pendidikan yang cuma tamat SMP dan tak punya ketrampilan apa-apa, Darsih terpaksa merantau ke kota jadi pembantu rumah tangga, demi anak0-anaknya bisa sekolah. Darsih sudah bertekad, anak-anaknya harus sekolah tinggi, jangan seperti dirinya dan suaminya. Beruntung ia dipercaya penuh oleh majikannya, untuk mengurus rumah dan menjaga anak semata wayang majikannya yang masih balita.
Sampai suatu kali, adiknya datang dari kampung, diutus emaknya. Anak pertamanya, laki-laki, sudah kelas 3 SMP, minta melanjutkan sekolah ke SMA di kota. Anak keduanya, perempuan, juga sudah kelas 6 dan mau melanjutkan ke SMP tempat kakaknya sekolah. Anak ketiganya, laki-laki, sudah kelas 5 SD dan minta disunatin kalau liburan kenaikan kelas. Katanya malu jadi olok-olok temannya, karena di kampung anak seusianya sudah disunatin. Anaknya yang bungsu, masih kelas 2 SD, memang belum butuh biaya ekstra. Adiknya minta Darsih bisa menyiapkan uang untuk keperluan anak-anaknya itu. Bulan depan, adiknya akan datang lagi.
Darsih yang tak tahu cara memenuhi kebutuhan anak-anaknya, akhirnya curhat pada tukang ojek yang biasa mangkal di jalan depan komplek. Tukang ojek langganan yang biasa mengantarnya ke pasar. Dari dari Maskun di tukang ojek inilah Darsih mendapat ide “menculik” anak majikannya. Lalu minta tebusan sekian juta, nanti si anak dilepas lagi. Maskun yang akan mengatur semuanya. Darsih cukup berpura-pura sakit dan hari itu lalai mengunci pintu pagar rumah sampai si kecil bermain sendiri keluar halaman rumah. Maskun janji anak itu tak bakal diapa-apakan. Darsih sebenarnya sayang pada anak majikannya, tapai apa boleh buat, ini satu-satunya cara ia bisa mendapat uang banyak, bagi berdua dengan Maskun yang juga butuh uang untuk istrinya yang bakal melahirkan.
Sayangnya, skenario tak semulus rencana Maskun. Darsih yang tak pintar berbohong, segera ketahuan Polwab yang menginterogasinya, kalau ia bohong. Akhirnya terbongkarlah semua. Celakanya lagi, rupanya si kecil rewel saat disembunyikan Maskun. Karena tak tahan dengan rengekannya, Maskun semoat memukulnya sampai lebam. Jadilah Darsih dan Maskun terdakwa penculikan dan penganiayaan pada anak di bawah umur.
Kini, sudah tahun ketiga ia mendekam di penjara ini. Anak pertamanya urung masuk SMA. Ia jadi pengangguran, kerja serabutan, bahkan kata adiknya anaknya ikut-ikutan nyopet di pasar atau memalak pemilik lapak. Sudah beberapa kali anaknya digebuki massa karena ketahuan saat mencopet. Ditahan polisi juga pernah. Ah..., anaknya yang masih umur 18 tahun itu kini sudah jadi penjahat kecil. Sementara anak perempuannya, meski sempat disekolahkan ke SMP oleh adiknya, hanya 2 bulan bertahan lalu mogok sekolah. Malu disekolah diledekin teman-temannya karena ibunya masuk penjara. Kini anaknya jadi pelayan toko Babah Ahong di pasar kota. Darsih Cuma berharap, semoga saja anak perempuan satu-satunya ini tak sampai jual diri.
Anaknya yang ketiga dan keempat masih sekolah, dengan biaya dari adiknya. Darsih tak pernah tahu pasti seperti apa perkembangan anak-anaknya. Mereka tak pernah menjenguknya, hanya adiknya yang 3-4 bulan sekali menengoknya. Darsih meminta adiknya tak mengajak serta anaknya.nanti malu melihat ibunya pakai baju tahanan di penjara.
Darsih juga ingat Warsinah. Buruh cuci ini ditinggal suaminya yang jadi TKI illegal ke Malaysia. Sayang, setelah hampir setahun menunggu, suaminya tak kunjung mengiriminya uang. Terpaksalah Warsinah jadi buruh cuci, demi menghidupi 2 anaknya yang masih balita. Yang pertama masih umur 3 tahun dan si kecilmasih umur setahun. Anak-anak Warsinah kurang gizi, maklum, Warsinah tak mampu memberinya asupan makanan bergizi. Tergiur iklan susu bayi dan balita di tipi tetangga, Warsinah nekad ke supermarket, pakai baju longgar rangkap 2 plus jaket. Dari supermarket itu ia bisa mengutil 2 box besar susu bayi dan balita. Dan...lolos!
Pengalaman sukses pertama, membuat Warsinah ingin mengulanginya lagi.Apalagi anaknya tampak lebih sehat setelah rutin minum susu. Ketika susu habis, Warsinah mengulang aksinya. Kali ini yang diambilnya lebih banyak. Lalgi-lagi sukses! Kali ketiga, ini hari apes buatnya. Aksinya terekam kamera CCTV dan seorang pramuniaga mencurigainya karena jalannya yang seolah terseok-seok. Ia pun diproses security supermarket lalu dibawa ke Polsek terdekat. Meski sudah jujur mengaku baru 3 kali itu mengutil sus, tapi pihak supermarket tak percaya. Warsinah tetap dituduh sebagai malaing yang sudah beraksi berbulan-bulan.Akhirnya..., penjaralah akhir dari aksinya.
Karena di rumah tak ada yang mengasuh, anak Warsinah yang baru berumur setahun ikut tinggal di penjara. Anaknya yang umur 3 tahun dititipkan tetangga yang bersedia mengasuhnya. Kini si kecil sudah umur 2,5 tahun. Kakaknya mestinya sudah waktunya masuk TK. Tapi Warsinah tak pernah tahu kabar anaknya. Ia sudah cukup bersyukur tetangganya mau mengasuh anaknya sementara ia menjalani hukuman. Tak mungkin ia meminta tetangganya rajin menengoknya sambil membawa anaknya. Warsinah membunuh rasa rindu pada anaknya dengan mencari kesibukan di rutan, belajar menjahit supaya nanti bisa kerja di pabrik garmen kalau sudah bebas.
Teman satu sel-Darsih yang lain, Tuning, punya cerita lain lagi. Lelaki yang dijodohkan dengannya ternyata bukan orang baik-baik. Wajah tampannya bertolak belakang dengan sifat buruknya. Suaminya gemar memukul, apalagi kalau pulang malam hari dalam keadaan mabok berat. Tuning sampai muak harus membersihkan muntahannya. Tak hanya kerap main pukul, suaminya juga suka main perempuan. Sekali waktu, Tuning yang kelelahan sepulang dari bekerja sebagai SPG di sebuah minimarket, mendapati suaminya sedang mencumbu perempuan lain di kamarnya. Gelap mata, pisau dapur pun menjadi senjata Tuning menusuk suaminya. Terlalu banyak darah yang keluar, nyawa suaminya tak tertolong.
Jadilah Tuning yang sedang hamil 6 bulan digiring ke penjara. Di penjara inilah Tuning melahirkan bayi pertamanya yang begitu lahir sudah menyandang statua anak yatim. Di penjara ini pula Tuning menyusuinya, membesarkannya, sampai kini usianya sudah 3 tahun. Masih 4 tahun lagi tuning akan menjalani hari-harinya di penjara. Entah bagaimana nanti kalau anak itu sudah waktunya masuk sekolah. Dilahirkan dan dibesarkan di penjara, membuat anak Tuning cepat beradaptasi dengan siapa saja. Ia cepat lancar bicara, dan kini bahkan sudah fasih memaki. Maklumlah, teman-temannya para napi wanita.
-------------------------------------------------------------------------------
Darsih sekali lagi tercenung. Kenapa tak ada yang peduli pada nasib anaknya, anak Warsinah dan anak Tuning? Banyak lahi perempuan-perempuan yang terpaksa menghuni penjara dengan berbagai alasa. Ada yang terpaksa meninggalkan anaknya, ada juga yang terpaksa membawa serta anaknya ke balik jeruji penjara. Tak pernah ada yang memikirkan bagaimana perkembangan anak-anak itu, yang terpisah dengan ibunya maupun yang hidup bersama ibunya di dalam penjara. Darsih, Warsinah dan tuning tak paham apa itu “perkembangan psikologis”. Bagi mereka, anak-anaknya bisa hidup, cukup makan, itu saja sudah bagus.
Darsih juga ingat anak lelaki ksulungnya. Kabar dari adiknya, anaknya itu pernah 2x kali babak belur dihajar massa saat apes ketahuan mencopet dan pernah pula ditahan Polisi. Tak ada yang menjenguk anaknya, meski umur anaknya masih di bawah 18 tahun. Darsih ingin bisa menemui lelaki berkacamata dengan wajah bulat dan senyum sabar yang sering muncul di tipi. Katanya namanya Kak Seto. Darsih ingin memintanya menengok anak lelakinya yang kini kembali ditahan. Darsih juga ingin minta Kak Seto memerika anaknya, anak Warsinah dan anak Tuning, agar mereka bisa minta ditahan di rumah saja, agar bisa menemani anaknya.
Ah...sayang..., ia cuma seorang tahanan yang bodoh, lugu dan tak punya uang. Ia tidak seperti ibu artis yang cantik yang dilihatnya di tipi. Biarlah..., Darsih percaya, Tuhan yang akan menjaga anak-anaknya. Darsih juga percaya, Tuhan ayang akan menuliskan jalan hidup anak Warsinah dan Tuning, meski mereka dibesarkan di penjara sejak bayi. Maafkan Ibu, Nak, keadilan memang hanya untuk orang yang punya duit....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H