[caption id="attachment_206713" align="aligncenter" width="609" caption="Persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu. Dan kepompong itu bernama KAMPRET (foto : koleksi Tri Lokon)"][/caption]
(Kolaborasi foto dan tulisan Tri Lokon dan Ira Oemar)
Kampret! Sekilas mirip makian yang biasa terlontar saat seseorang merasa kesal pada orang lain. Tapi “Kampret” yang ini lain. Bukan makian tapi singkatan dari Kompasianer Hobby Jepret. Sebab komunitas ini memang lahir dari beberapa Kompasianer – istilah untuk member Kompasiana – yang memiliki ketertarikan pada dunia “jepret menjepret” alias fotografi.
Awal mula diajak bergabung ke komunitas ini pada bulan Mei lalu, saya sempat minder. Bagaimana tidak, hasil foto yang diunggah ke FB Grup Kampret semuanya bagus dan dibuat dengan teknik fotografi yang sama sekali tak saya pahami. Saya memang suka memotret dari dulu, sejak pertama kali punya kamera digital. Tapi soal teknik fotografi, sama sekali nol! Saya bergabung ke Grup ini setelah ikut meramaikan event WPC – Weekly Photo Challenge – yang ke-2 di Kompasiana. WPC adalah tantangan mingguan yang dibuat oleh Kampretos kepada Kompasianer, untuk membuat tulisan yang ilustrasinya adalah foto hasil jepretan sendiri, sesuai thema genre foto yang ditetapkan. Melalui event WPC ini, ketrampilan teknik fotografi, teori dan prakteknya sekaligus diasah. Dengan adanya WPC, mau tak mau tiap minggu memicu kami untuk hunting obyek foto sesuai tantangan . Tak hanya soal teori, tapi sekaligus prakteknyadari hasil diskusi soalfotografi di laman FB Grup Kampret.
Ternyata, setelah bergabung dengan Kampret rasa minder itu dengan sendirinya hilang. Memang benar, banyak senior di dunia foto yang menguasai berbagai macam istilah dan teknik fotografi.yang mampu menghasilkan foto berkualitas. Tapi member Kampret yang masih kelas “pupuk bawang” seperti saya ini, tak pernah dibikin down mental karena komentar mereka. Seperti apapun hasil foto yang diunggah, selalu ada yang mengapresiasi meski hanya berupa simbol “jempol” alias “laik dis yoo...”. Sebab di sini yang dihargai adalah prosesnya dan kreatifitas di balik gambar itu. Kalaupun ada saran perbaikan agar foto itu bisa lebih sempurna,para senior menyampaikannya dengan baik dan tetap penuh canda. Itulah manfaat sharing and connecting, saling berbagi ilmu, pengalaman, tips dan cerita.
[caption id="attachment_206714" align="aligncenter" width="576" caption="Kopdar para Kampretos di Jogja. Di dunia nyata maupun maya sama saja : bercanda! (foto : koleksi Tri Lokon)"]
Ya, canda! Itulah ciri khas Kampretos. Pagi – siang – malam sampai pagi lagi, selalu ada saja bahan candaan yang muncul. Acapkali ada member yang di”bully”. Eits..., jangan salah! Bukan bullying yang membuat korbannya jatuh mental, shock dan tersakiti fisik maupun psikis lho! Bullying di Kampret adalah guyonan yang membuat “korban”nya ikut tergelak bersama. Bukan hanya member yang jadi obyek bullying, Admin pun sering jadi bulan-bulanan bullying.
Ada banyak alasan yang membuat saya sejauh ini merasa nyaman bergabung dalam komunitas Kampret. Wadah ini seolah perwujudan bersatunya keberagaman. Ada disparitas yang sangat besar dalam komunitas Kampret. Disparitas usia (mulai yang masih sangat muda sampai yang sudah emak-emak dan bapak-bapak), disparitas skill (dari yang profesional sampai yang anak bawang), disparitas alat (yang pakai kamera DSLR dan lensa pelengkapnya yang serba canggih, yang pakai kamera saku jadul seperti milik saya bahkan yang pakai kamera ponsel pun ada). Domisili member pun tersebar di seantero tanah air sampai ke manca negara di benua yang berbeda. Itu sebabnya obrolan di Kampret tak pernah sepi 24 jam, karena perbedaan waktu di banyak tempat domisili Kampretos membuat dunia Kampret selalu “siang”, lewat tengah malam pun yang online tetap rame.
Seperti ada konsensus tak tertulis, member Kampretos memang menghindari membincangkan hal-hal berbau SARA dan political views dari membernya. Tampaknya ini salah satu resep kenapa di Kampret tak pernah terjadi perselisihan serius. Tepa selira atau tenggang rasa, benar-benar dipraktekkan dalam interaksi antar member. Jadilah Grup Kampret rumah yang nyaman bagi membernya.
[caption id="attachment_206715" align="aligncenter" width="410" caption="Mural sederhana coretan para sopir ojek di sebuah dinding inilah yang menginspirasi kami. Ibarat Kampretos : bersahabat dalam keserhanaan dan kebersamaan (foto : koleksi Ira Oemar)"]
KEPOMPONG ITU BERNAMA KAMPRET
“Persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu...” pasti sebagian kita sudah tak asing dengan lirik lagu itu. Dan saya menemukan kepompong itu mewujud dalam Grup Kampret. Di sinilah tempat ngumpul para jagoan foto, tapi disini juga yang masih kacangan boleh ikutan nongkrong. Yang paham soal fotografi kerap memberikan tips-tipsnya, yang masih awam ikut “kuliah” gratis sambil bertanya – bahkan hal yang gak penting dan sederhana pun boleh ditanyakan – dan masih tetap sambil bercanda.
“Persahabatan bagai kepompong, hal yang tak mudah berubah jadi indah...”. Ketika saya mengalami kesulitan saat memory card kamera saya terserang virus dan ratusan foto didalamnya tidak muncul, spontan saya menulis di dinding FB Grup Kampret. Dalam sekejap, banyak tanggapan dan tips yang diberikan para “suhu” Kampretos, atau sekedar berbagi pengalaman hal serupa. Ada juga yang menunjukkan simpatinya dengan berkomunikasi via inbox dan memberikan support. Meski akhirnya foto-foto di memory card saya tak bisa terselamatkan, tapi perhatian dan dukungan sesama Kampretos membuat saya haru dan cukup jadi penghiburan buat saya. Kejadian seperti ini tentu bukan hanya saya yang merasakan. Banyak Kampretos lainnya yang tiap kali menemui kesulitan atau ingin bertanya soal foto, kamera dan pelengkapnya, cukup memposting status di dinding FB Grup Kampret, maka tips dan solusi pun berdatangan. Sungguh persahabatan yang mengubah hal yang tak mudah menjadi indah.
Tantangan mingguan yang diberikan Kampret lewat WPC (Weekly Photo Challenge), membuat member Kampret dipicu ide-idenya untuk melahirkan foto-foto sesuai thema tantangan. Apalagi Kampret punya 2 event WPC sekaligus dalam seminggu. WPC yang dibuat di laman facebook Grup Kampret dan WPC yang diposting di Kompasiana. Tantangan ini benar-benar menarik. Kadang untuk thema tertentu, tak mudah memadukan gambar dan menyuguhkannya menjadi tulisan. Di sinilah kreatifitas ide dan bakat menulis para Kampretos ditantang. Tapi buah hebatnya : tiap minggu peserta WPC di Kompasiana selalu menarik banyak Kompasianer untuk menyetorkan tulisannya. Yang bukan member pun banyak yang tertarik untuk ikut. Tak jarang, tulisan yang diperuntukkan bagi event WPC terpilih menjadi HL atau nangkring di kolom Terekomendasi / Trending Articles.
Di Kampret, kami tak sekedar berkompetisi, lebih dari itu saling mengapresiasi. Ketika Kampretos merilis thema “Apresiasi Foto” untuk WPC di Kompasiana, member diminta untuk mengapresiasi foto rekannya. Setelah setiap minggu sebelumnya “bersaing” unjuk kebolehan hasil jepretan masing-masing, kini ditantang untuk mengapresiasi hasil jepretan orang lain. Mungkin thema ini unik dan jarang ditemui di komunitas fotografi lainnya. Tapi itulah Kampret : bersaing, sekaligus saling memuji.
Kini, thema unik kembali dijadikan tantangan : “Kolaborasi Foto”. Member Kampret harus mencari pasangan untuk menghasilkan suatu kolaborasi foto dan tulisan. Lagi-lagi inilah gambaran Grup Kampret yang mengedepankan kebersamaan. Dengan berkolaborasi, mau tak mau 2 orang harus mendiskusikan ide bersama yang akan dituangkan dalam tulisan, saling menyumbang foto atau bahkan hunting foto bareng. Ada yang berpasangan antar negara, antar benua, tapi tetap bisa menyuguhkan hasil foto dan tulisan yang padu.
Kali ini, saya coba “peruntungan” berpasangan dengan salah saru Kampretos yang saya nilai cukup senior dan hasil jepretannya selalu luar biasa bagusnya : Pak Tri Lokon. Sebenarnya minder juga awalnya. Tapi dari diskusi melalui chatting di FB, akhirnya kami sepakat mengangkat topik yang sama kami rasakan :persahabatan dan kebersamaan di Grup Kampret, yang menyatukan segala perbedaan. Lihatlah perbandingan foto jepretan Pak Tri dengan hasil jepretan saya : yang jaminan mutu vs yang mutu tidak dijamin, hahahaa... Tapi inilah satu bukti bahwa di Kampret, semua bisa bersama. Tanpa membesarkan perbedaan, ternyata kita bisa bersama dan bersama kita bisa berkarya! Terimakasih Kampret!
--------------------------------------------------------------------------------
Dipersembahkan untuk Kampretos dalam WPC – 21 : KOLABORASI FOTO.
Duet ide dan foto Tri Lokon dan Ira Oemar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H