[caption id="attachment_200017" align="aligncenter" width="390" caption="Rainbow cake jadi enak dan lezat disantap, karena warna ungu tak pernah mempersoalkan warna merah pakai pewarna apa, dan sebaliknya (foto : trenfashion.com)"][/caption]
Sejak saya mulai menulis di Kompasiana 9 biulan lalu, concern saya adalah pada tulisan berbau politik, hukum dan birokrasi serta fenomena sosial. Yang paling saya hindari adalah tulisan yang berpotensi memicu polemik agama. Sebab dalam pandangan saya, agama atau keyakinan adalah hal paling sensitif yang dipilih seseorang untuk dijadikannya sandaran dalam menjalani seluruh aspek kehidupannya. Karena saya tak ingin agama yang saya yakini kebenarannya dihujat dan diperolok-olok oleh pemeluk agama lain, maka terlebih dulu saya harus memastikan bahwa saya tak pernah memperolok-olok, menghina, merendahkan apalagi menghujat ajaran agama orang lain.
Bukan hanya menghindari menjadi pemicu konflik antar agama, saya pun menghindari ikut berkomentar dalam tulisan-tulisan berbau SARA atau yang memperdebatkan ajaran agama, apalagi sampai menjelekkan agama yang diyakini orang lain. Meski terkadang saya sempat membaca tulisan-tulisan seperti itu, saya hanya membacanya sekilas, jarang sampai tuntas. Bagi saya, apapun keburukan yang dikatakan orang lain tentang agama saya, tak akan mengubah keyakinan dan keimanan saya. Begitu pula apapun yang saya katakan tentang kejelekan agama orang lain, tak akan membuatnya berubah jadi simpati pada agama saya. Malah justru sebaliknya : hanya menimbulkan rasa permusuhan, sakit hati dan dendam ingin membalas memperolok-olok pula.
Ketika 3 hari yang lalu, usai sahur sambil menunggu saat Subuh saya buka Kompasiana dan mendapati “kehebohan” yang mendominasi tulisan di kolom Teraktual tentang tulisan dari seorang Kompasianer yang menyebut dirinya “filsuf kampung”, saya agak kaget. Kaget karena ternyata respon Kompasianer lain – yang saya baca dari tulisan yang mengupas tulisan tersebut, baik yang kontra maupun yang pro serta komentar-komentarnya – nyaris seragam : keterlaluan! Tapi tak terlalu kaget karena “pelaku”nya adalah seorang “filsuf kampung” yang selama ini menggembar-gemborkan issu toleransi, kebebasan berpendapat/berekspresi serta menghormati perbedaan, tapi dalam prakteknya justrru dialah yang selalu memulai membesar-besarkan perbedaan dan mencari celah untuk menggosok-gosok keberagaman itu menjadi sesuatu yang patut dipersoalkan.
Sejujurnya saya jarang membaca tulisannya. Alasannya seperti yang saya sebut di awal tulisan ini : menghindari ikut terlibat dalam diskusi yang berpotensi saling hina agama. Kalaupun saya membaca tulisannya, tak tertarik untuk ikut berkomentar. Sampai suatu kali dia menayangkan tulisan – saya ada pertemanan dengannya di Kompasiana – yang muncul di dashboard saya. Dari judulnya, tulisan itu menyoal fenomena kos-kosan khusus Muslimah. Sebagai mantan anak kost, saya tertarik dengan tulisan itu dan langsung mengclick.
[caption id="attachment_200019" align="aligncenter" width="520" caption="Meski dalam sekeping butirannya beragam, rainbow cookies tetap renyah disantap. karena butiran-butiran itu tak pernah saling mengusili warna lain (foto : vemale.com)"]
Ternyata, si penulis baru mengantar kerabatnya mencari kos-kosan di Jogja dan mendapati beberapa rumah kost menempelkan tulisan di secarik kertas “Menerima kos khusus Muslimah”. Penulisnya sempat memfoto salah satunya. Kalau sekedar bercerita sih tak masalah. Tapi si penulis menyebut ini fenomena baru, lalu dengan sangat tendensius menghakimi hal itu sebagai suatu bentuk eksklusifitas cerminan dari ketakutan berlebihan suatu kelompok tertentu terhadap kelompok lain. Dari tulisannya jelas siapa yang dituding, tentu kelompok Muslim, pemeluk agama Islam, yang dianggap “takut” pada kelompok lain, yang tentu saja maksudnya non Muslim.
Saya membaca sudah cukup banyak komentar yang kontra dengan isi tulisan itu dan mencoba menjelaskan bahwa itu hal biasa saja demi kenyamanan bersama penghuni kost terkait dengan kebiasaan sehari-hari. Tak kurang banyak pula yang menyebut penulisnya “lebay”, mempersoalkan hal-hal yang tak perlu. Sebagai orang yang pernah belasan tahun jadi anak kost – sejak masih kuliah sampai kerja – dan merasakan berbagai ragam kos-kosan, saya tergelitik untuk berkomentar.
Saya memulai komentar saya dengan mengatakan bahwa klaim “ini fenomena baru” yang muncul belakangan, itu sama sekali tidak benar! Sebab hal semacam itu sudah lazim saya temui sejak saya masih mahasiswi, lebih dari 20 tahun lalu. Alasannya sederhana : demi kenyamanan bersama penghuni kost, yang umumnya Muslimah berjilbab. Saya ceritakan bahwa ketika awal berjilbab dulu saya pun pernah kost di tempat seperti itu. Bukan karena ketakutan, tapi sekedar supaya saya bisa bebas saat berada di dalam rumah kost. Bukankah kami hanya berjilbab ketika keluar rumah saja? Sedangkan di dalam rumah – di Surabaya yang panas – kami lebih suka memakai daster batik belel yang “yukensi” atau pakai tank top dan celana pendek, terutama jika sedang mencuci (maklum, kost jaman dulu, belum ada laundry kiloan).
Nah, di rumah-rumah kost yang dikhususkan Muslimah, biasanya berlaku aturan bahwa tamu pria hanya diperkenankan sampai di teras rumah/ ruang tamu, tidak boleh masuk sampai ke depan/ koridor kamar kost. Jadi sesama penghuni kost bisa bebas mengenakan baju rumah, tak perlu khawatir mendadak ada temannya yang membawa masuk teman prianya untuk mengerjakan tugas kampus. Dengan komunitas yang homogen, kami bisa menyisihkan satu kamar tersendiri untuk dijadikan musholla, sehingga membiasakan diri untuk sholat berjamaah Subuh, Maghrib dan Isya (Dhuhur dan Ashar biasanya sibuk dengan jadwal kuliah). Begitupun ketika hari Senin dan Kamis, saat kebanyakan berpuasa sunnah, kami bisa saling membangunkan untuk sahur, meski cuma dengan sepiring mie instant. Penghuni lain tak perlu terganggu jika jam 3 dini hari terdengar aktivitas di dapur. Begitupun saat Ramadhan tiba, kami bisa taraweh berjamaah tanpa harus pergi ke masjid. Jadi, itulah kenyamanan dan kebebasan yang dicari para penghuninya.
Meski mengkhususkan kost untuk Muslimah, tak semua penghuninya berjilbab. Beberapa Ibu sengaja memasukkan putrinya – yang baru pertama kali pisah dari orang tua – ke tempat kost khusus putri, dengan alasan mereka merasa lebih tentram kalau putrinya tinggal di lingkungan yang melarang tamu pria masuk, memberlakukan “jam malam” maksimal sampai jam 9 malam, dll. Sebab mereka ragu melepas putrinya tanpa pengawasan di kota besar. Fenomena ini sudah ada sejak lama, di berbagai daerah – terutama kota-kota pusat pendidikan – dan di tengah masyarakat diterima dengan baik, tidak menimbulkan kecurigaan, tak membikin gesekan sosial dan tak ada yang dirugikan.
[caption id="attachment_200020" align="aligncenter" width="432" caption="Sebenarnya, masyarakat di akar rumput seperti anak kecil yang lugu dan polos. Mereka bisa menghargai perbedaan. kaum intelektual provokator lah yang membuat perbedaan jadi menarik untuk diusik dan dipersoalkan (foto : retakankata.com)"]
Saya pun memberi contoh bahwa fenomena itu BUKAN hanya terjadi di tempat kost. Sejak maraknya kaum wanita mengenakan jilbab, bermunculan salon-salon khusus Muslimah. 19 tahun lalu ada teman saya yang jadi kapster (pemotong rambut) di salon seperti itu. Apakah ini suatu bentuk ketakutan?! Jelas tidak! Pengelola salon hanya ingin memberikan kenyamanan bagi pelanggannya. Coba bayangkan, seorang wanita berjilbab yang baru saja dikeramas dan sedang dipotong rambutnya, tiba-tiba harus mengenakan jilbab karena di sebelahnya duduk pelanggan pria. Ribet bukan?! Creambath belum selesai, sudah dihentikan, pakai jilbab lagi, menunggu pelanggan pria pulang, baru dilanjut. Tak nyaman kan?
Dengan menyediakan layanan khusus Muslimah, pelanggan berjilbab bisa nyaman merawat rambutnya di situ, karena semua kapsternya wanita. Tak ada kapster pria atau banci. Begitupun klinik perawatan khusus Muslimah, yang memberikan layanan facial, massage, lulur, spa hanya kepada kaum wanita. Pelanggan bisa bebas menikmati layanan apapun tanpa khawatir ada pelanggan pria masuk. Saya pernah mengalami facial dan massage di sebuah salon umum. Ketika saya sedang di-treatment, tiba-tiba bed di samping saya ditempati pelanggan pria. Sungguh tak nyaman, saya jadi salting dan ingin segera selesai. Tak mungkin saya meyalahkan pemilik salon atau tamunya kan? Maka alternatifnya adalah : saya memilih salon dan klinik perawatan khusus Muslimah yang hanya menerima pelanggan wanita. Sama sekali BUKAN karena KETAKUTAN pada pemeluk agama lain. Hanya semata demi kenyamanan saja.
Nah, kembali ke tulisan si filsuf kampung tadi, ternyata dia menghapus komentar saya. Saya heran sekali, bagaimana mungkin seorang yang menggembar-gemborkan kebebasan berpendapat dan berekspresi, katanya menyeru agar kita menghormati perbedaan, ternyata sama sekali tak bisa menghargai pendapat yang berbeda dengannya! Saya tahu, komentar saya yang argumentatif dan komprehensif, disertai contoh fakta riil dari pengalaman dan pengamatan saya, kalau dibaca orang lain bisa jadi akan banyak yang setuju dan itu akan mementahkan statement dia yang dilatari kecurigaan tanpa dasar dan argumen. Tulisannya akan langsung terbantah. Rupanya si filsuf kampung tak siap berargumen dengan orang yang beda pendapat dengannya, tanpa memaksakan praduga dan sangkaannya itu benar! Makanya, jalan paling mudah : hapus komentar!
Saya sangat menyayangkan seorang yang mengaku filsuf ternyata berpikiran sempit dan dangkal. Menelurkan prasangka tanpa mencoba mencari tahu apa alasannya. Mencela tanpa mau mencoba memahami/berempati. Padahal, kalau mau jujur, bukankah kos-kosan yang didasarkan pada homogenitas etnis, suku atau agama itu BUKAN baru saja terjadi dan TIDAK hanya terjadi pada kos-kosan Muslimah saja. Tak jauh dari tempat kost saya dulu, ada sebuah rumah besar yang disewa dan dijadikan kontrakan khusus sekelompok pemuda asal Papua. Warga sekitar menyebutnya “mess Irian”. Mereka terkadang minum-minuman keras bersama-sama, membakar babi dan berpesta. Tentu warga mendiamkannya, sebab toh itu terjadi di komunitas mereka dan tak mengusik warga sekitar. Lalu apakah mess Papua ini akan kami sebut bentuk ketakutan pada suku lain?! Tentu tidak!
[caption id="attachment_200021" align="aligncenter" width="560" caption="Sampai kapan kita akan usil mempersoalkan sekelompok orang yang bergabung dalam komunitasnya? Bukankah sudah menjadi sunnatullah alias hukum alam orang cenderung bergabung dengan komunitasnya demi kenyamanan (foto : ketekgue.com)"]
Dulu, saya sempat 3 tahun tinggal di asrama ITS. Ada banyak kawan saya asal Bali tinggal di sana, baik asrama putri maupun putra. Kalau waktu makan tiba dan lauknya daging sapi, mereka menolak memakannya, karena dalam keyakinan mereka daging sapi tak boleh dikonsumsi. Tentu kami menghargai, seperti umat Islam tak boleh mengkonsumsi daging babi. Sayangnya, kantin asrama tak mungkin mengganti menu, mahasiswa Bali hanya mendapat kompensasi sebutir telur untuk diceplok atau didadar. Biasanya, setelah kenal lingkungan setempat, banyak diantara mahasiswa Bali itu yang kemudian patungan 5–8 orang untuk mengontrak rumah. Di kawasan Mulyosari – Sutorejo saat itu, banyak rumah kontrakan yang dihuni khusus mahasiswa asal Bali. Mereka kemudian mencari PRT/tukang masak, tentu saja menunya khusus tanpa daging sapi. Bukankah ini lebih enak? Begitu pula saat tiba hari raya Nyepi, mereka bisa bersama-sama menjalankan ritual ajaran agamanya. Bahkan karena rumah itu dihuni pemeluk agama yang sama, mereka bisa meletakkan tempat menaruh sesaji dan peribadatan di beranda rumahnya. Saya menghargai upaya mereka untuk “eksklusif” demi kenyamanan bersama, terutama untuk menjalankan ajaran agamanya. Tak pernah sedetikpun terbersit prasangka bahwa mereka eksklusif karena anti/takut pada etnis/suku/ pemeluk agama lain. Malah lebih enak begitu bukan?
Ada juga di Surabaya, mess khusus warga asal Kalimantan. Di beberapa PTS ternama di Surabaya, ada kos-kosan yang khusus bagi etnis keturunan China. Semua itu berjalan dengan baik, tak pernah jadi persoalan di masyarakat dan tak perlu dicurigai. Saya rasa di kota-kota lain pun sering kita jumpai kos-kosan/mess/asrama khusus warga daerah tertentu. Sesungguhnya, di akar rumput hal-hal demikian tak pernah jadi masalah. Hanya ulah orang-orang “kurang kerjaan” yang justru meniup-niupkan issu SARA, untuk mencurigai fenomena semacam itu dan men-cap nya sebagai suatu bentuk ekslusifisme berdasar ketakutan dan rasa antipati terhadap kelompok lain. Sebenarnya, yang otaknya diliputi pikiran SARA dan anti perbedaan itu siapa? Pemilik/pengelola kos, mess, salon, klinik yang khusus itu, atau orang yang mencurigai berlebihan?!
[caption id="attachment_200022" align="aligncenter" width="630" caption="Waspadalah, jangan terjebak akun yang bertopeng mempropagandakan pluralitas padahal sejatinya mengangkat perbedaan-perbedaan"]
Sangat aneh bagi saya, kenapa sang filsuf kampung tak juga mempersoalkan kelompok-kelompok preman asal suku/etnis tertentu yang marak di Jakarta? Bukankah ada kelompok John Key, lalu kelompok yang disewa untuk membunuh Nasruddin Zulkarnain – yang katanya direkrut Kompol Williardy Wizard – dalam persidangan kasus Antasari. Kenapa sang filsuf hanya memilih menyoal dan membesar-besarkan fenomena kost khusus Muslimah yang dalam prakteknya di masyarakat tak menimbulkan keonaran dan tak ada yang dirugikan?! Jawabnya : karena sang filsuf memang menulis dan mengangkat issu dari kacamata “anti”. Pikirannya sudah diliputi kecurigaan, prasangka dan tuduhan. Karenanya, ia tendensius selalu menyerang segala hal yang berkaitan dengan Islam. Tapi ia abaikan fenomena serupa yang terjadi pada etnis/suku/agama lain.
Jika seorang yang mengaku filsuf ternyata berwawasan sempit, berpikiran picik, anti pada komentar berbeda, tendensius membesar-besarkan hal yang tak perlu, maka tak heran kalau kemudian ia kena batunya. Jujur, saya bersyukur akunnya dibanned Admin. Blog keroyokan macam Kompasiana tak layak dijadikan sarana kampanye membesar-besarkan issu SARA yang sebenarnya tak ada masalah di masyarakat. Semoga, jangan ada lagi penulis-penulis yang sengaja memancing kekisruhan sesama Kompasianer, sengaja menghina, merendahkan, mengolok-olok ajaran agama orang lain, sehingga akibatnya ia sendiri kini dihina dan diolok-olok sebagai filsuf kampungan. Cukup sampai disini saja “TOPENG” itu dikenakan. Bertopengkan pluralisme, padahal sejatinya justru dialah yang menginjak-injak perbedaan. Mengajak menghargai keberagaman, padahal sejatinya menghembuskan aroma permusuhan dari celah yang tak pernah diributkan. Inilah sebenarnya yang layak disebut : provokator intelektual. Lewat pemikirannya ia menebarkan issu SARA. Semoga kita tak terjebak pada penulis-penulis semacam ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H