Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Belang Hambalang Makin Membayang, Mas Anas Siap Digantung di Monas?

31 Mei 2012   08:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:34 1648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_184826" align="aligncenter" width="600" caption="foto : antaranews.com"][/caption]

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita,

yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa

Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita,

coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang

Penggalan lagu lawas Ebiet G. Ade yang pernah ngetop di tahun ’80-an itu seolah terngiang saat mendengar santernya berita rubuhnya bangunan di mega proyek Hambalang. Alam sudah tak bersahabat, gara-gara hujan deras di bulan Desember 2011, tanahnya bergeser dan akhirnya bangunan rubuh dan sekalian dirubuhkan. Selama ini bau busuk aroma korupsi, mark up dan kongkalikong di mega proyek yang terkesan dipaksakan itu hanya meruak dari sesumbar Muhammad Nazaruddin saja. KPK tak punya bukti atau setidaknya kesulitan menelusuri alat bukti. Nama-nama yang disebut semuanya membantah keras. Tapi rupanya alam tak bisa diajak bersahabat dalam kekotoran. Alam sudah lebih dulu menunjukkan murkanya.

Bermula dari hebohnya pemberitaan bahwa ada 2 gedung di proyek sport center Hambalang yang rubuh karena hujan deras pada 24 – 25 Mei pekan lalu. Tapi ada pula berita yang menyebutkan sebenarnya bangunan itu sudah rubuh sejak 5 – 6 bulan lalu. Melihat tayangannya di TV, dimana bekas besi baja profil penyangga bangunan sudah sangat berkarat, warnanya kecoklatan, serta bekas runtuhan bangunan yang “luka”nya sudah kelihatan lama, saya cenderung yakin bahwa rubuhnya gedung itu memang sudah beberapa bulan lalu. Setelah membaca sebuah tulisan di Kompasiana yang HL pagi tadi, saya jadi mengerti kalau rubuhnya memang sejak Desember 2011, akibat hujan lebat yang menyebabkan tanah bergeser.

Semula, Menpora Andi Mallarangeng selalu berkilah ia hanya meneruskan program pembangunan yang telah dirancang sejak masa Menpora sebelumnya. Ini membuat Pak Adhyaksa Dault marah besar dan beberapa hari lalu dengan tegas menantang Andi Mallarangeng untuk di konfrontir dengan dirinya, dalam sebuah wawancara live di stasiun TV swasta. Kemarin, semua teka-teki itu makin jelas terjawab dalam jumpa pers Kemenpora, bahwa mega proyek sport centre Hambalang bernilai Rp. 1,2 triliun itu memang benar-benar proyek baru.

Di masa Adhyaksa Dault, hanya direncanakan membangun sekolah olah raga untuk para atlet setingkat SMP dan SMA, menggantikan sekolah yang di Bulungan. Biayanya pun hanya Rp. 125 milyar, tapi belum bisa dicairkan dananya karena tanah seluas 31,2 hektar itu belum bersertifikat. Di masa Andi Mallarangeng-lah sertifikat itu selesai di urus, lalu di akhir tahun 2010 anggaran proyek ditambah Rp 150 milyar menjadi Rp. 275 milyar. Setiap tahun, dananya naik sekitar Rp. 500 milyar. Yang tadinya hanya proyek pembangunan sekolah olah raga berubah menjadi sport centre, yang semula proyek single year menjadi multi years.

[caption id="attachment_184827" align="aligncenter" width="512" caption="Konpers penghentian proyek Hambalang (foto : gaul.solopos.com)"]

1338452088495150833
1338452088495150833
[/caption]

HANYA ORANG-ORANG DARI DEMOKRAT YANG TAHU

Mega proyek ini memiliki beberapa kejanggalan. Keanehannya, perubahan proyek dari single years menjadi multi years ini tanpa sepengetahuan DPR Komisi X yang membidangi masalah olah raga. Ironisnya, Ketua Komisi X, Mayudin, yang tak lain kader Partai Demokrat, justru pasang badan dengan mangatakan bahwa DPR memang tak perlu tahu masalah ini. Padahal, sebagai Ketua Komisi X DPR RI, seharusnya ia membela marwah Komisinya agar tak dilangkahi eksekutif dalam penganggaran.

Keanehan lain : hampir semua yang terlibat realisasi proyek Hambalang ini adalah kader-kader Partai Demokrat di DPR dan di eksekutif. Betapa tidak, Kemenpora dipimpin oleh Andi Mallarangeng, manat jubir sekaligus orang kepercayaan Presiden SBY. Sedangkan di Komisi X sendiri Ketuanya dari PD, Pak Mahyudin – yang menurut pengakuan Rosalina Manullang sebutannya “Ketua” dalam pembicaraan bersandi untuk pembagian “apel Malang” dan “apel Washington”. Koordinator Anggaran Komisi X adalah Angelina Sondakh. Setidaknya ini menjelaskan kenapa peran Angie cukup besar dan leluasa mengatur pembagian fee, seperti terungkap dalam komunikasi BBM yang diakui oleh Rosa dan tertuang dalam BAP.

Jangan lupa, saat proyek itu digagas, Anas Urbaningrum sang Ketua Fraksi Demokrat juga masih duduk di Komisi X DPR, sebelum akhirnya mundur pasca terpilih sebagai Ketua Umum PD. Gede Pase Suardika, yang dikenal sebagai die hard pembela Anas, juga saat itu masih di Komisi X. Dalam urusan sertifikat, Nazaruddin yang saat itu di Komisi III pun dilibatkan. Sedang yang mengaku disuruh Anas mengurus sertifikat tanah Hambalang pun, Ignatius Mulyono, adalah anggota DPR dari Demokrat. Tak pelak lagi, kader-kader Demokrat di Komisi X kini diserang oleh rekan mereka sesama Komisi X dari parpol lain yang merasa tak tahu menahu mengenai lolosnya mega proyek multi years itu. Bahkan mereka akan membentuk Panja.

[caption id="attachment_184828" align="aligncenter" width="512" caption="Proyek yang dirobohkan itu (foto : foto.detik.com)"]

1338452215698745604
1338452215698745604
[/caption]

PROYEK YANG DIATUR DAN DIPAKSAKAN?

Nazaruddin pernah berkoar, bahwa Anas-lah yang mengatur agar pemenang tender proyek sport center Hambalang nanti adalah Adhi Karya. Faktanya, memang Adhi Karya dan Wijaya Karya (Wika) lah pemenang tender proyek itu. Tapi dalam pelaksanaannya, proyek itu ternyata diserahkan kepada 17 sub kontraktor yang semuanya mengerjakan proyek-proyek besar dan utama. Bukan proyek kecil-kecil yang bersifat pendukung semata. BPK dan KPK bisa memeriksa bagaimana proses pengalihan pelaksanaan pembangunan proyek ini kepada 17 sub kontraktor.

Proyek itu ambles atau dirobohkan atau apapun alasannya, yang jelas ada faktor tanah yang labil sebagai penyebabnya. TV One pagi tadi membahas kontur tanah proyek tersebut dengan pakarnya. Katanya, tanah di sana memang labil dan mudah bergeser, termasuk bila curah hujan tinggi. Seperti kita ketahui, sejak dulu Bogor dijuluki kota hujan karena tingginya tingkat curah hujan di kawasan itu. Jadi, jika Kemenpora berencana membangun sebuah kompleks sport center bertaraf internasional dengan beragam venue yang di tiap venue juga ada tribun yang memuat ribuan penonton, bukankah seharusnya dilakukan feasibility study yang matang mengenai kelayakan teknis tanah dan bangunan di sana? Apalagi jika bangunannya bertingkat tinggi seperti yang dimuat gambarnya di beberapa media cetak dan internet. Sangatlah serampangan jika proyek sipil prestisius seperti itu dibangun tanpa mempertimbangkan faktor stabilitas, sifat dan karakter tanah.

Lalu kenapa proyek yang semula hanya membangun sekolah atlit dipaksakan berubah jadi sport center? Apakah demi naiknya anggaran menjadi 10 x lipat? Ketidakjujuran Andi Mallarangeng di awal kasus ini dengan terus berkilah bahwa dia hanya meneruskan proyek dari Menteri sebelumnya, menunjukkan ada yang berusaha dia tutupi dari berubahnya proyek ini. Adhyalsa Dault bahkan mencontohkan kebohongan Andi lainnya, ketika ia menyebut pemilihan Palembang sebagai tuan rumah Sea Games adalah kebijakan yang sudah ada sejak jaman Menpora Adhyaksa Dault. Menurut Adhyaksa, ia saat itu hanya mengusulkan Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah sebagai pilihan dan tak pernah ada alternatif Palembang. Jadi, kenapa tiba-tiba dialihkan ke Palembang? Apakah agar ada alasan untuk membangun Wisma Atlit dan beberapa venue baru? Setidaknya, kejujuran Andi Mallarangeng perlu dipertanyakan, seperti juga Angelina Sondakh.

Proyek Wisma Atlit telah menyeret Nazaruddin dan Sekmenpora Wafid Muharram ke balik jeruji penjara. Kini, akankah Hambalang juga menyeret tokoh dari partai Demokrat dan Kemenpora?

[caption id="attachment_184829" align="aligncenter" width="512" caption="Anas Urbaningrum dan Athiyah Layla, keduanya sama-sama dibidik KPK (foto : tarungnews.com)"]

1338452301284469187
1338452301284469187
[/caption]

BAGAIMANA DENGAN ANAS?

Jika semula nama Anas hanya disebut oleh Nazaruddin dan Mindo Rosalina, kini mantan koleganya di DPR, Ignatius Mulyono sudah menyebut namanya sebagai orang yang menyuruhnya menyelesaikan pengurusan sertifikat tanah Hambalang. Apa peran Anas dalam proyek itu? Kalau Anas sama sekali tak punya kepentingan, untuk apa ia mendesak agar sertifikat tanah Hambalang bisa segera keluar?

Anas pernah sesumbar : “Satu rupiah saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas!”. Sementara, Nazaruddin tetap pada tuduhannya bahwa Anas lah yang mengatur proyek Hambalang, bahkan Nazar mengaku bahwa mobil Alphard yang dipakai Anas berasal dari Grup Permai, sebagai fee proyek Hambalang, seperti diminta Anas agar fee-nya diberikan dalam bentuk mobil Alphard. Untuk mendukung “nyanyian”nya itu, Nazaruddin menunjukkan fotocopy BPKB mobil Alphard yang dimaksud. Sedang Anas hanya berkelit bahwa mobilnya pinjaman dari temannya. Teman yang mana, kenapa mobil itu dipinjamkan sekian lama pada Anas, kenapa Anas tak berani menunjukkan BPKB asli mobil “milik teman”nya itu, adalah sejumlah kejanggalan yang bisa mementahkan pengakuan Anas.

Bisa jadi Anas bukanlah operator tunggal, bukan pula pemain langsung, juga bukan tangan pertama yang mengambil keuntungan tak halal dari mega proyek Hambalang ini. Tapi bagaimana jika ocehan Nazaruddin kemudian terbukti benar – seperti sebagian ocehannya yang lain – setidaknya Anas menerima bagian dari fee proyek Hambalang yang tak seharusnya masuk ke kantong pribadi oknum-oknum parpol? Bukankah itu artinya Anas ikut menikmati beberapa ribu atau bahkan ratus jua rupiah dari proyek Hambalang? Siapkah Anas digantung di Monas?

Saya sebenarnya ngeri mendengar sumpah Anas itu. Bagaimana tidak, kedekatannya dengan Nazar yang terkenal suka sabet sana – sini dan suka bagi-bagi uang dari proyek-proyek Pemerintah yang diaturnya, membuat Anas rentan kecripatan “uang haram”. Sementara, di lain pihak, Timwas internal Partai Demokrat telah menyatakan ada indikasi Anas melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan Kongres PD di Bandung pada 2010 lalu. Sulit rasanya menerima argumen Anas bahwa dirinya bersih.

Jadi, jalan terbaik yang harus dilakukan Anas adalah bicara sejujurnya dan jangan mengumbar sumpah. Saya yakin rakyat Indonesia yang berperikemanusiaan tak akan sampai hati menggantung Anas di Monas, tapi jika itu diucapkan oleh Anas sendiri, maka menjadi sumpahnya yang harus dijalankannya. Anas, hati-hatilah dalam berbicara, jangan sampai termakan sumpahmu sendiri. Bertobatlah, jujurlah! Apalah artinya ngotot ingin tetap menjabat jadi Ketua Umum partai berkuasa, sementara harga dirinya kini sudah tak ada lagi. Dimana-mana digunjingkan dengan nama minor, dihadang kadernya sendiri, di internal partainya diributkan dengan pro-kontra atas kepemimpinannya. Janganlah Anas mengundang pula murka Ilahi atas sumpahnya. Lihatlah, bagaimana alam mulai tak bersahabat dan membuka kedok borok proyek Hambalang yang coba ditutupi. Kekuasaan tidak langgeng, pasca 2014, akankah Anas siap menghuni penjara atau bahkan digantung di Monas? Hanya Anas yang tahu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun