Pulang kantor kemarin petang, saya nyalakan TV, semua berita menayangkan demo penolakan kenaikan harga BBM. Soal demonstrasi menolak kenaikan harga BBM saya rasa wajar saja. Dari jaman dulu, siapapun Pemerintah yang berkuasa, setiap kali kebijakan menaikkan harga BBM pasti akan disambut dengan demonstrasi penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Jaman Ibu Megawati jadi Presiden pun demonstrasi menolak kebijakan menaikkan harga BBM juga terjadi.
Hanya saja, demonstrasi kali ini nuansa “politis’nya terasa lebih kental. Di beberapa kota, kepala daerah/wakilnya ikut turun ke jalan menyerukan penolakan itu. Seperti yang dilakukan Wakil Walikota Solo dan Surabaya, yang juga kader PDIP. Tentu ini bukan kebetulan, sebab Ketua Partai mereka memang menyerukan kadernya di daerah-daerah untuk turun ke jalan menolak kenaikan BBM. Para Kepala Daerah itu pun seperti lupa akan sumpah jabatannya sebagai birokrat yang harus menjalankan kebijakan Pemerintah Pusat. Seperti yang dikatakan Dosen Fisip Universitas Airlangga, Hotman Siahaan, kepada Tempo.co, ia menilai para kepala daerah yang berdemonstrasi menentang kenaikan harga bahan bakar minyak telah melanggar etika politik.
Bukan hanya para kepala daerah itu saja yang mengabaikan etika dalam berdemonstrasi. Aktivis mahasiswa pun berlaku anarkhis di beberapa daerah. Beberapa hari lalu di Medan rusuh sampai-sampai Bandara diblokade, jadwal penerbangan ditunda dan calon penumpang tertahan di jalanan tak bisa tiba di Bandara. Kemarin, di Makasar sejumlah mahasiswa merangsek masuk ke sebuah resto cepat saji, mengusir pembeli yang sedang makan, membuat mereka ketakutan, lalu naik ke atas meja, berorasi sambil berjingkrakan di meja makan, dan menjarah resto cepat saji. Tampak di tayangan TV, beberapa pramusaji wanita bersitegang dan berusaha mempertahankan monitor komputer di desk kasir dari rebutan demonstran. Sebagian lainnya bertepuk tangan menyoraki orasi – seolah mereka setuju dengan demonstran – tapi wajahnya jelas tampak tegang, kaku dan tanpa ekspresi.
[caption id="attachment_171384" align="aligncenter" width="465" caption="Demonstran menduduki Mc.D dan berorasi di atas meja makan (sumber : www.jpnn.com)"][/caption]
Di daerah lain, demo yang dilakukan buruh dengan memakai pakaian dress code warna merah – entah berkonotasi dengan partai tertentu atau kebetulan saja – men-sweeping pabrik lainnya, memprovokasi buruh yang sedang bekerja, bersitegang dengan petugas satpam pabrik dan merusak pintu gerbang pabrik, serta memaksa mengajak buruh kut berdemo. Di kota lain lagi, sekelompok buruh menahan sebuah truk container dan memaksa sopirnya turun. Ketika sopir container menolak turun, mereka memaksanya dengan sedikit kekerasan.
Begitu banyak liputan demo di berbagai kota, sampai tadi pagi TV-TV masih menayangkannya. Ada juga sekelompok mahasiswa yang menjebol pagar dari seng yang membatasi jalan dengan sebuah proyek yang sedang di bangun. Pagarnya jebol dan tentu saja para pekerja bangunan tak melanjutkan pekerjaannya. Ada yang membakar setumpuk ban di tengah jalan, menimbulkan kengerian dari pengguna jalan.
Sebaliknya, ada juga kekerasan penanganan demostran yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Mulai dari menggebuki demonstran, mengejar mereka sampai masuk ke selokan dan menunggui di atas selokan, lalu memukulinya saat keluar. Ada juga aksi polisi merampas kamera wartawan. Dan, ada juga polisi yang terkena ledakan bom molotov hingga terluka.
[caption id="attachment_171386" align="aligncenter" width="300" caption="Demonstran dengan bangga mensabotase truk tangki Pertamina (sumber : www.surya.co.id)"]
Kalau saya ikuti pendapat pemirsa yang disampaikan melalui twitter dan ditayangkan di TV One sejak semalam hingga pagi tadi, pendapat pemirsa nyaris terbelah dua sama besar : ada yang kontra dan mencemooh pendemo yang anarkhis, tapi ada juga yang menghujat polisi. Ada yang sinis dan tidak simpati pada gerakan mahasiswa yang sangat jauh dari kesan intelektual – karena menjarah dan merusak fasilitas umum – tapi ada juga yang mendukung, katanya kalau tidak rusuh namanya bukan demo. Benarkah begitu? Apakah setiap demo menyampaikan aspirasi harus selalu dibarengi dengan kerusuhan? Haruskah masyarakat dicekam ketakutan jika ada kelompok yang hendak berdemo?
Saya hanya berpikir : seandainya para pramusaji itu keponakan atau saudara sepupu saya, kalau saja pembeli di resto cepat saji itu saya, jika tukang dan kuli-kuli bangunan itu paman saya, sopir truk container atau sopir truk tangki Pertamina yang disandera itu teman saya, atau buruh-buruh pabrik itu tetangga saya. Apa kira-kira salah mereka dalam kasus kenaikan harga BBM? Bukankah mereka juga rakyat biasa yang mencari penghidupan dengan memeras keringat sendiri bukan digaji dari pajak rakyat? Bukankah mereka juga sama dengan saya dan 230 juta rakyat Indonesia lainnya yang segera akan jadi korban bila harga BBM naik?
Para pramusaji itu pergi ke tempat kerjanya mungkin naik angkot atau berboncengan motor, artinya seminggu ke depan upah mereka akan makin berkurang karena biaya transportasi naik. Belum lagi akibat demo kemarin bisa jadi mereka dimarahi pemilik outlet karena dianggap tak tanggap mengamankan outlet mereka. Dalam seminggu ke depan, pengunjung mungkin akan berkurang karena masih trauma dengan pendudukan. Kalau saya baru saja makan 1-2 suap lalu tiba-tiba saya diusir, padahal sudah saya bayar lunas paket makanan yang saya pesan, tentu saya marah, hak saya untuk menikmati makanan yang saya beli dengan uang saya sendiri dirampas pendemo.
[caption id="attachment_171389" align="aligncenter" width="450" caption="Lagi, cara polisi menangani pendemo (sumber : www.antarafoto.com)"]
Sopir truk container, truk tangki Pertamina, mereka hanyalah sopir yang mendapat upah dari ritase muatan dan uang jalan mereka bisa habis di jalan kalau muatan tak sampai ke tujuan sesuai waktu yang seharusnya. Saya bisa mengatakan ini sebab saya pernah bekerja di sebuah perusahaan jasa logistik dan transporter. Bisa saja meski truk tangki yang dijalankannya berlogo Pertamina, sebenarnya truk itu hanyalah dikelola transporter swasta. Kuli bangunan dan buruh yang upahnya dihitung harian, bisa saja hari itu tak mendapatkan upah penuh karena mereka terpaksa tak bekerja sesuai jadwal. Pernahkah mahasiswa dan demonstran lainnya berpikir : tindakan mereka berdampak sosial dan ekonomi pada pihak lain yang lemah dan tak ada hubungannya dengan kenaikan harga BBM? Mungkin tidak! Mereka hanya asal demo saja, makin rusuh makin bagus, pasti diliput TV dan provokator yang membayarnya pasti lebih puas.
Ingatan saya melayang ke tahun 1998, saat aksi mahasiswa dan seluruh elemen masyarakat menuntut reformasi dan meminta Soeharto turun. Saat itu kebijakan Pemerintahan Soeharto melarang mahasiswa demo keluar dari kampusnya. Karena itu semua kampus besar dijaga ketat polisi dan tentara. Tragedi Trisakti, Selasa, 12 Mei 1998 terjadi karena mahasiswa Trisakti memaksa untuk turun ke jalan. Saat itulah aparat bertindak kebablasan dengan melepaskan tembakan dan menewaskan 4 mahasiswa.
Pasca tragedi Trisakti yang diikuti kerusuhan besar melanda Jakarta, selanjutnya demo mahasiswa tak lagi bisa dibendung hanya di dalam kampus. Mereka berarak, tapi tidak ke jalanan. Tujuan mereka jelas dan cuma satu : Gedung DPR/MPR Senayan! Senin, 18 Mei 1998, gelombang besar mahasiswa UI dengan jaket kuningnya, mengkomandani ratusan mahasiswa dari berbagai kampus, mendatangi DPR dan memaksa agar Pimpinan DPR/MPR mencabut mandatnya dari Soeharto. Setelah perdebatan yang alot, sore hari, Harmoko bersama 4 Pimpinan DPR lainnya – utusan PPP, PDI, F-ABRI dan Utusan Daerah – mengadakan jumpa pers menyatakan meminta Soeharto mundur dari jabatannya.
[caption id="attachment_171393" align="aligncenter" width="640" caption="Membakar ban-ban sampai menutup jalan, menimbulkan kengerian pemakai jalan (sumber : www.lensaindonesia.com)"]
Tampak jelas raut wajah Harmoko yang pucat saat mengucapkan konferensi pers-nya. Semua tahu, Harmoko adalah anak didik paling patuh dan penjilat Soeharto nomor wahid. Kalimatnya “Menurut petunjuk Bapak Presiden” menjadi ciri khas yang menggambarkan betapa Harmoko hanya boneka Soeharto yang selalu seperti kerbau di cocok hidung. Tapi, sore itu gerakan mahasiswa bisa memaksa Harmoko mbalelo dari Paduka-nya. Mahasiswa pun pulang, hanya sebagian kecil saja yang menginap di gedung DPR/MPR.
Malam harinya, semua stasiun TV mendadak merelay jumpa pers Jendral TNI Wiranto – panglima ABRI saat itu – yang menafikan pernyataan 5 Pimpinan DPR/MPR serta mengecam aksi massa memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1998 yang dimotori Amien Rais. Secara tersirat, Wiranto menyampaikan ancamannya jika aksi Amien Rais tetap dilaksanakan, ABRI tak akan main-main.
Maka, esoknya, mulai jam 9 – 10 pagi, berbarislah mahasiswa dari berbagai kampus di seantero Jabodetabek, menuju Gedung DPR/MPR. Juga kelompok penggiat HAM, lingkungan hidup dll. Mahasiswa dari berbagai kota lain pun menuju Jakarta dan bergabung dengan rekan-rekannya. Gedung Wakil Rakyat itu benar-benar “diduduki”. Tak ada ruang kosong yang bebas dari mahasiswa. Mereka hanya berorasi bergantian, tanpa melakukan aksi anarkhis. Mereka makan, tidur, buang air, buang hajat, semuanya dilakukan di sana. Meski aksi di lapangan Monas tanggal 20 Mei 1998 dibatalkan oleh Amien Rais, tapi Amien mengalihkan aksinya dengan ikut datang ke Senayan.
[caption id="attachment_171394" align="aligncenter" width="292" caption="Polisi tangannya terkena bom molotov. Pendemo dan Polisi sama-sama korban dan sama-sama tak menuai simpati (sumber : www.kaskus.us)"]
Hasilnya?! Tepat 21 Mei 1998 sekitar jam 10 pagi, Soeharto menyampaikan pidato pengunduran dirinya. Begitulah aksi demonstrasi yang fokus, terarah dan tidak ditunggangi kepentingan politis kecuali memperjuangkan aspirasi rakyat, akan segera tampak hasilnya. Tak ada pihak lain yang dirugikan. Masyarakat Jakarta saat itu umumnya mendukung. Para penjual minuman di luar gedung DPR bahkan menjulurkan jualannya dari balik pagar, untuk diberikan pada mahasiswa. Mereka ikut simpati, karena mahasiswa tak menjarah dagangan mereka dan tak juga membuat mereka ketakutan. Kaum ibu banyak yang sukarela datang membawa nasi bungkus sesuai kemampuan mereka. Demo yang tertib tentu mebgundang simpati, tak perlu ada sponsor yang membayar dan menyediakan nasi bungkus.
Nah, pertanyaannya sekarang : jika para mahasiswa dan buruh itu murni menolak kenaikan harga BBM dan bukan karena dipolitisir oleh kelompok politik tertentu, kenapa mereka ngawur dalam aksinya? Kenapa yang disasar banyak yang tak ada hubungannya dengan penentu kenaikan harga BBM? Bukankah pengurangan subsidi BBM itu prosesnya diputuskan di Badan Anggaran DPR, lalu di bawa ke Komisi VII dan terakhir diplenokan di Sidang Paripurna DPR untuk mengambil keputusan akhir? Beranikah mahasiswa mengulang sukses tahun 1998 dengan menduduki Gedung DPR pada saat sidang Paripurna? Cukup strategiskah aksi mereka untuk mampu membuat Marzuki Alie, Ketua DPR, untuk membelot dari kemauan SBY seperti dulu Harmoko bisa didesak untuk tak lagi mendukung Soeharto?
Dulu Golkar memenangkan Pemilu 1997 dengan capaian 70%. Belum lagi Fraksi ABRI dan Utusan Daerah semuanya diisi orang-orang yang pro-Soeharto. Sedangkan PPP dan PDI saat itu hanya partai pelengkap semata. Jadi, kalau dihitung-hitung peta kekuatan politik pendukung rezim Soeharto waktu itu masih jauh lebih besar ketimbang jumlah anggota Parlemen dari Setgab Koalisi. Mestinya, menekan DPR dan memaksa mereka mendengarkan aspirasi rakyat, lebih mudah sekarang dari pada tahun 1998.
Hanya saja, aksi mahasiswa dan demostran sekarang sepertinya sudah tak lagi fokus, tak jelas arahnya bahkan ngawur menyasar siapa saja yang tak bersalah. Menimbulkan kengerian dan rasa antipati dari sebagian masyarakat dan pengguna jalan. Akhirnya, bisa jadi tujuan tak tercapai, yang didapat malah cibiran dari masyarakat. Jadi, buat para demonstran, cerdaslah dalam berdemo, jangan anarkhis, jangan merugikan masyarakat dan jangan mau ditunggangi agenda politik pihak manapun. Semoga perjuangan kalian membuahkan hasil.
[caption id="attachment_171397" align="aligncenter" width="350" caption="Demo 1998, tanpa bakar ban, tanpa menyandera truk, tanpa menutup jalan, tanpa menjarah restoran. Tapi hasilnya memuaskan. (sumber : andiaras.wordpress.com)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H