Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

60 Hari ber-Kompasiana, Pujasera Tempat Belajar Ikhlas

8 Januari 2012   04:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:11 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin sore tepat hari ke-60 saya belajar menulis di Kompasiana. Rasanya masih jauh dari pantas untuk menulis sebuah catatan. Gak seperti Mbak Lintang yang menuliskan catatannya setelah 3 tahun ber-Kompasiana. Tapi tak apalah, sekedar ingin berbagi uneg-uneg dan pengalaman nimbrung di blog keroyokan ini. Sekali lagi, ini tulisan curhat saja.

Awalnya saya mengenal Kompasiana dari facebook. Mungkin sekitar setahun yang lalu. Kalau ada teman yang men-sharing-kan link tulisan dari Kompasiana. Kebetulan link yang di share selalu yang isinya bagus. Tidak sering saya membaca tulisan di Kompasiana. Mungkin sebulan sekali saja belum tentu. Tapi belakangan, saya mulai sering berkunjung ke Kompasiana. Ada atau tidak tulisan yang di share di facebook teman, saya tetap membuka Kompasiana. Lama-lama jadi pengen ikutan komentar, tapi rupanya harus registrasi dulu. Ah, mau nimbrung komen aja ribet amat! Gak usahlah, cukup baca tulisannya saja, itu yang ada dipikiransaya .

Sampai sekali waktu, tiba-tiba saya pengen punya akun supaya bisa ikut menulis. Dulu saya suka menulis note di facebook lalu saya tag ke beberapa teman yang saya rasa se-ide. Terkadang tulisan itu menggelinding di share lagi oleh temannya teman dan temannya lagi. Kenapa gak nyoba sesekali nulis di Kompasiana? Siapa tahu dibaca orang? Akhirnya saya lawan keengganan untuk registrasi. Sayangnya, dasar saya gaptek, meski semua instruksi sudah saya ikuti dan sudah ada email konfirmasi yang masuk ke alamat email saya , entah kenapa akun-saya tidak bisa diaktifkan. Saya “mutung” dan malas mencobanya lagi.

Sekitar 3 minggu kemudian, saat mengunjungi Kompasiana, iseng-iseng saya login dan..., ternyata bisa! Saya coba click “Kirim Tulisan”, eeeh..., bisa juga! Sudah jam 5 sore, saya sudah siap-siap pulang kantor, tapi ditunda sebentar untuk meng-copy-paste tulisan yang tadi sudah saya share di facebook. Inilah tulisan pertama saya : http://hukum.kompasiana.com/2011/11/09/siapa-penerima-besek-kenduri-freeport/ . Sekedar copas, tanpa diperbaiki tampilannya dan tanpa ada ilustrasi gambar. Gak keren sama sekali lah pokoknya!

Setelah memposting tulisan, saya langsung pulang dan di rumah tak lagi buka internet. Herannya, sepanjang malam itu banyak email masuk ke BB, mengomentari tulisan saya . Esok paginya, saya lihat tulisan itu sudah mendapat banyak komentar dan tulisan “OPINI” di pojok kiri atas diganti “HL”. Saya sama sekali tak paham artinya. Rupanya Admin juga menambahkan ilustrasi pada tulisan itu . Saya lihat tulisan perdana saya itu di-click 300-an kali dan di-share ke beberapa akun FB dan Twitter. Saya cukup senang tulisan saya dibaca orang, apalagi di-share. Artinya pemikiran saya diterima. Sebagai bentuk terimakasih pada pembaca, saya berusaha membalas semua komentar yang masuk, meski sedikit terlambat.

Hampir 3 minggu kemudian, sebuah tulisan saya kembali “HL”, kali ini terjadi siang hari, jadi saya tahu. Baru saat itu saya paham arti tulisan “HL” di pojok kiri atas. 2 hari kemudian kembali tulisan saya HL lagi. Sampai saat itu akun saya belum ada foto profilnya. Saya coba meng-upload foto, tapi gagal terus dan malas mencobanya lagi. Dasar gaptek dan katrok! Kalaupun akhirnya akun saya berfoto, itu juga karena tak sengaja upload foto, eeeh.., ternyata kali itu bisa. Beginilah kalau emak-emak nekad gabung di Kompasiana.

Sekarang, sudah ada 62 tulisan yang saya posting di Kompasiana. Bagi saya , Kompasiana ibarat warteg yang menjual aneka masakan. Atau mungkin lebih tepatnya Pujasera, yang menjual aneka jenis masakan. Ada gerai masakan Jawa, Sunda, Manado, Padang, Bali, dll. Setiap gerai (rubrik) ada banyak lapak. Siapa saja boleh buka lapak di situ tanpa di pungut biaya sewa. Soal siapa yang akan mampir, membeli makanan, sepenuhnya diserahkan pada pengunjung. Jadi para pemilik lapak disilakan menampilkan hidangannya semenarik mungkin agar pembeli tertarik untuk mampir. Tentu saja tak cukup menarik di penampilan, cita rasanya pun harus “menggigit” agar pengunjung ketagihan untuk kembali mencicipi hidangan jualan kita.

Ada yang bilang Admin di Kompasiana pilih kasih. Tulisan yang dikategorikan HL atau Terekomendasi tak jelas kriterianya dan selalu didominasi penulis itu-itu saja. Dengan kata lain hanya penulis “senior” dan yang “sudah punya nama” yang dipilih. Sementara yang baru gabung dan belum “punya nama” (perasaan saya punya nama sejak lahir, hehe...) tak diberi kesempatan untuk diapresiasi. Bagi saya pernyataan itu tak berdasar. Buktinya saat tulisan perdana saya posting, itu baru pertama kali mengaktifkan akun saya . Akun tanpa foto profil, belum pernah menulis bahkan sekedar nimbrung memberi komentar pada tulisan orang lain pun belum pernah, jadi tentu nama saya sangat asing. Nyatanya Admin mau memilih tulisan itu jadi HL.

Kalau boleh menebak-nebak, saya pikir tulisan saya itu jadi HL karena “unik”. Kondisi Freeport yang memanas saat itu sudah 3 bulanan, issu soal Polri menerima dana keamanan dari Freeport juga sudah sebulanan dibahas. Tentunya sudah berpuluh-puluh judul yang membahas masalah Freeport. Tapi tulisan saya membidiknya dari sisi lain : memberikan hitung-hitungan detil tentang pembagian dan distribusi uang itu kepada petugas yang di lapangan dan yang “raib”entah kemana. Mungkin karena keunikan angle yang saya bidik itulah, Admin memilih tulisan itu jadi HL. Begitu pula tulisan saya yang jadi HL kedua kali, disitu saya menggambarkan hitung-hitungan kasar budget pemasangan mesin absensi sidik jari di Gedung DPR, yang kebetulan saya tahu spec dan harga mesin finger print. Jadi kalau dipikir-pikir sebuah tulisan yang diangkat menjadi Head Line pasti ada ke-khas-an tersendiri yang membuat sebuah tulisan berbeda dengan tulisan yang membahas topik serupa.

132599611884501967
132599611884501967

Tentu hak prerogatif Admin untuk memilih dan memilah tulisan. Saya yakin mereka pun punya panduan kriterianya. Kalau sesekali kita merasa sudah menulis sangat baik menurut ukuran kita tapi Admin tak memilihnya jadi HL, ya kita introspeksi saja kenapa tulisan kita tak dilirik untuk jadi HL. Sebaliknya, kalau kita menulis dengan hati, menyampaikan info yang perlu dibagikan, menuangkan gagasan yang mungkin perlu dibaca banyak orang, lalu di-posting saja tanpa ada pamrih dipilih jadi HL, eeeh..., biasanya malah di-HL-kan Admin.

Ketika Nunun dipulangkan, esok harinya saya menulis ini http://hukum.kompasiana.com/2011/12/11/11-kejanggalan-seputar-penangkapan-dan-pemulangan-nunun/ . Di malam kepulangan Nunun, sudah banyak tulisan yang mengangkat topik pulangnya Nunun, sudah ada yang HL pula. Ternyata tulisan saya itu jadi “Terekomendasi”. Mungkin karena 11 kejanggalan hasil “pengamatan” saya yang kurang kerjaan nongkrongin TV semalaman itu dianggap paling komplit dan jeli menangkap semua fakta yang rada janggal. Sejauh ini, meski sudah ada beberapa tulisan saya yang HL dan Terekomendasi, saya tetap belum tahu pasti apa kriterianya. Dan karena tak tahu, saya tak ingin sok tahu memberikan tips. Hanya ada 1 kata : ikhlas! Menulislah dengan hati, tuangkan semua emosi dan perasaan dengan baik dan lugas, niatkan untuk berbagi, dan jangan berharap mendapat predikat apapun.

Soal banyaknya pembaca, saya tak mematok angka tertentu apalagi sampai mengerahkan teman untuk membaca. Saat ini saya tidak punya akun Twitter dan karenanya tak punya follower. Teman FB saya pun tidak banyak dan lebih dari separuh bukanlah pengguna facebook yang aktif. Maklum, orang se-usia saya umumnya selektif memilih teman facebook dan biasanya teman-teman lama yang ber-reuni di dunia maya. Sesekali postingan saya di Kompasiana saya share juga di FB. Dulu saya heran ada tulisan yang dibaca ribuan sampai belasan ribu pembaca. Ternyata itu hasil mengerahkan follower di Twitter dan teman FB.

Saya tak pernah peduli predikat “Teraktual” dan sejenisnya yang didapat dari hitungan jumlah pembaca yang memberikan vote-nya. Bagi saya, komentar pembaca sudah mewakili apresiasi mereka. Tak semua orang mau ribet meng-click vote apalagi jika koneksi internet sering lemot. Bisa saja kita meminta 25-30 orang teman untuk memberikan vote ”aktual” meski tanpa membaca tulisan kita. Tapi apalah artinya vote-vote itu? Dan anehnya, ada yang berpikir predikat “Teraktual” dan sejenisnya itu diberikan oleh Admin. Akhirnya..., lagi-lagi Admin yang dituduh pilih kasih. Ada lagi yang bilang : tulisan yang dipilih jadi HL atau Ter-Ter lainnya kebanyakan tulisan yang judulnya berbau “esek-esek” dan sensasional. Lho, kok saya belum menemukan ya fenomena semacam itu? Kalau sebuah tulisan berbau “esek-esek” terpilih jadi “Teraktual” itu kan karena banyak yang memberikan vote. Jadi, salahkan yang mem-vote saja. Sebenarnya voting-voting itu kan sama dengan kontes idol-idolan di TV yang mengandalkan banyaknya sms dukungan yang masuk ketimbang kualitas suara dan teknik bernyanyi yang bagus. Jadi kalau bisa mengerahkan pendukung untuk kirim sms, ada peluang terpilih jadi the next idol.

Bukan hanya Admin yang dijadikan tumpuan kekesalan. Penulis senior pun di cap punya “geng” sendiri dan tidak welcome pada penulis junior. Wah, sejauh ini kok saya tak merasakannya ya? Banyak penulis “senior” dan yang “sudah punya nama” mengulurkan permintaan pertemanan, dan itu luar biasa bagi saya. Semua permintaan menjadi teman tak ada yang saya tolak. Dan saya juga tak pernah melihat dulu akun itu sudah sejak kapan jadi member Kompasiana. Maklumlah, saya sendiri kan tergolong baru, belum genap 3 bulan puny akun.

Keragaman karakter member Kompasiana bagi saya ibarat miniatur Indonesia. Ada yang sengaja membuat akun dengan nick name yang gak jelas, foto profil yang bukan foto diri bahkan terkadang abstrak, tak pernah menulis, tapi akun itu difungsikan untuk mencerca dan menyerang tulisan orang lain. Ngotot pula kalau memberikan kritik jika tulisan yang diserangnya itu tak sesuai dengan pemikirannya. Ada juga yang aneh : ketika sebuah tulisan tak sesuai dengan pendapatnya, maka semua komentator yang menuliskan komentar mendukung tulisan itu, diserang melalui inbox message bahkan dikata-katain goblok segala macam. Mungkin sindroma yang serupa dengan apa yang saya lukiskan di tulisan saya kemarin sore yang jadi “Terekomendasi” pagi ini http://politik.kompasiana.com/2012/01/07/kenapa-makin-banyak-yang-sirik-pada-jokowi/.

Itulah Kompasiana, sebuah “pujasera” yang mencerminkan kebhinekaan khas Indonesia. Semua perbedaan itu tak perlu diseragamkan. Biarkan saja, seleksi alamlah yang akan menentukan mana yang eksis. Menulis juga tak perlu punya target untuk jadi HL, Terekomendasi, ngebet di-vote supaya jadi Teraktual, dll. Menulis saja, soal dibaca atau tidak itu justru bisa jadi sarana introspeksi buat diri sendiri. Termasuk menulis catatan curhatan ini. Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun