Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filosofi Pemimpin Mengemban Amanah dari Lirik Tembang Gundul Pacul

26 Februari 2014   18:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:27 2004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_314068" align="aligncenter" width="504" caption="foto : ahsanul-marom.blogspot.com"][/caption]

Dulu sewaktu masih anak-anak, saya sering mendengar lagu/tembang Jawa dinyanyikan orang-orang di sekitar saya. Tak jelas lagi siapa yang mengajarkan, karena biasanya tembang-tembang itu didendangkan para orang tua – termasuk kakek-nenek – kepada anak-anak kecil, entah untuk menghibur atau meninabobokan anak. Salah satunya lagu “Gundul-gundul pacul”. Memahaminya secara letterlijk arti katanya, saya anggap itu tembang guyonan yang maksudnya untuk sekedar lucu-lucuan belaka.

“Gundul-gundul pacul-cul..., gembelengan... Nyunggi-nyunggi wakul-kul..., gembelengan... Wakul ngglimpang segane dadhi sak latar...”. Mendengar lirik itu saya membayangkan seorang  bocah dengan kepala gundul plonthos, menyunggi (membawa dengan cara meletakkan di atas kepala) wakul (bakul nasi), lalu dia berjalan sambil bergaya, tolah-toleh kesana kemari, akibatnya bakul yang diletakkan di atas kepalanya terguling dan berhamburanlah nasinya memenuhi halaman. Itu pemahaman saya dulu. Tapi ternyata tembang lawas sederhana itu punya filosofi makna yang sangat dalam dan sarat pesan moral. Kemarin pagi, seorang teman mengirim pesan lewat grup BBM alumni teman SMA saya. Begini isinya :

Gundul gundul pacul cul...

Tembang Jawa ini konon diciptakan tahun 1400-an oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya yang masih remaja dan mempunyai arti filosofis yang dalam dan sangat mulia.

Gundul adalah kepala plonthos tanpa rambut. Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang. Rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Jadi gundul adalah kehormatan tanpa mahkota.

Pacul adalah cangkul, yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat. Jadi pacul adalah lambang kawula rendah, kebanyakan petani.

Gundul pacul artinya adalah bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya/orang banyak.

Orang Jawa mengatakan pacul adalah papat kang ucul (4 yang lepas).

Kemuliaan seseorang tergantung 4 hal, yaitu bagaimana menggunakan mata, hidung, telinga dan mulutnya.

1.Mata digunakan untuk melihat kesulitan rakyat/masyarakat/orang banyak.

2.Telinga digunakan untuk mendengar nasehat.

3.Hidung digunakan untuk mencium wewangian kebaikan.

4.Mulut digunakan untuk berkata adil.

Jika 4 hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya.

Gembelengan artinya besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.

GUNDUL GUNDUL PACUL CUL artinya jika orang yang kepalanya sudah kehilangan 4 indera itu mengakibatkan GEMBELENGAN (congkak/sombong).

NYUNGGI NYUNGGI WAKUL KUL (=menjunjung amanah rakyat/orang banyak) (dengan) GEMBELENGAN (=sombong hati dan main-main), akhirnya WAKUL NGGLIMPANG (=amanah jatuh tak bisa dipertahankan), SEGANE DADHI SAK LATAR (=berantakan sia-sia, tak bermanfaat bagi kesejahteraan orang banyak)

===========================================

[caption id="attachment_314069" align="aligncenter" width="496" caption="Bakul nasi ini milik rakyat yang memberi amanah, bukan milik pejabat yang diberi amanah. Jagalah jangan sampai ngglimpang (foto : rumahmakanprambanan.blogspot.com)"]

13933888371598614171
13933888371598614171
[/caption]

Sungguh luar biasa pesan moral yang terselip dibalik lirik tembang yang terkesan hanya guyonan itu. Filosofi nyunggi (menjunjung) wakul (amanah) itulah yang kini sangat langka dimiliki para pejabat, pemimpin dan penyelenggara negara kita, baik yang duduk di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Segala hal, termasuk jabatan, bisa dipandang dari 2 sisi yang berbeda. Ada yang memandangnya sebagai sebuah pencapaian, hadiah, imbalan atas apa yang sudah dilakukannnya atau bahkan berkah dari Tuhan. Tetapi ada pula yang memandangnya sebagai beban, musibah, ujian dan cobaan dari Tuhan.

Yang memandang suatu jabatan sebagai pencapaian, maka ia akan berbangga hati, ujub dan takabbur dengan apa yang dianggapnya sebagai pencapaian/prestasi dirinya. Yang menganggap sebagai hadiah, tidak berpikir bahwa kelak segala hal terkait jabatan akan dipertanggungjawabkan. Seperti halnya anda menerima hadiah uang semilyar, maka anda berhak berbuat apa saja dengan uang itu, karena hak pemakaiannya telah diberikan/dihadiahkan kepada anda. Yang beranggapan jabatan adalah imbalan, maka ia akan menjaga hubungan timbal balik antara yang memberi imbalan dan yang meminta imbalan. Banyak jabatan – terutama jabatan politis – yang diberikan pada seseorang karena “balas jasa politik” tanpa mempertimbangkan azas the right man on the right job. Yang menganggap jabatan adalah berkah, maka ia bersyukur menerima jabatannya, karena dianggap itu rejeki atau setidaknya ladang rejekinya. Akhirnya, dia meng”eksplorasi” sebesar-besarnya manfaat dari jabatan yang diembannya.

Sebaliknya, yang memandang jabatan sebagai beban, maka ia merasa berat memikulnya. Karena beratnya, ia ingin segera meletakkan “beban” itu, khawatir tak mampu memikulnya. Yang memandangnya sebagai musibah, sepanjang jabatannya ia akan ber”istighfar”, meminta petunjuk Tuhannya agar musibah yang diembannya tak makin membawanya ke jurang celaka. Yang menganggap jabatan itu ujian dan cobaan dari Tuhan, ia akan menjalankannya dengan hati-hati, meneliti dan memikirkan baik-baik setiap keputusannya, khawatir kalau kelalaiannya akan berakibat tak lulus ujian.

[caption id="attachment_314070" align="aligncenter" width="453" caption="Kehormatan sejati tanpa mahkota, kehormatan itu bukan karena mahkota yang melekat di kepala (foto : health.liputan6.com)"]

1393388937279622865
1393388937279622865
[/caption]

Saya teringat kalimat yang diucapkan Tri Rismaharini, Walikota Surabaya ketika ditanya Najwa Shihab, kenapa beliau tak mau dicalonkan jadi presiden. “Presiden hanya satu (dalam satu negara), Gubernur hanya satu (dalam satu propinsi), Walikota hanya satu (dalam satu kota), padahal sekian juta orang menggantungkan nasibnya pada kita”. Artinya, beliau paham beratnya nyunggi wakul. Maka dari itu, setiap malam beliau selalu menyempatkan membaca surat dari warganya – setidaknya 5-10 surat sehari – yang dikirim langsung warga Surabaya, berisi pengaduan atau curhat keluh kesah kesulitan hidup mereka. Terkadang surat yang ditulis di atas sobekan kertas buku tulis itu susah dibaca karena tulisan tangan yang amburadul, tapi beliau mengaku susah tidur kalau belum menemukan solusinya. Bahkan Ibu Walikota ini pun pernah mengalami kesulitan keuangan bahkan sekedar untuk membayar biaya kuliah anaknya, beliau minta tolong dicarikan pinjaman (berhutang). Sebab gajinya habis, ludes, untuk menyumbang berbagai proposal dan permintaan bantuan dana yang menumpuk di mejanya. Padahal, dalam sebulan bisa lebih dari 20 proposal yang masuk. Semua itu dibantu dari koceknya sendiri dan tidak mengambil kas Pemkot Surabaya. Inilah salah satu contoh pemimpin yang lebih rela wakul-nya sendiri ngglimpang, diri dan keluarganya kekurangan, asalkan bukan wakul rakyatnya yang ngglimpang.

[caption id="attachment_314071" align="aligncenter" width="305" caption="Gowo pacul ojo gembelengan (foto : masshar2000.wordpress.com)"]

1393389074424177172
1393389074424177172
[/caption]

Tahun ini adalah tahun politik. Tanggal 9 April nanti kita akan memilih para wakil rakyat mulai tingkat daerah sampai pusat, para pemimpin yang duduk di legislatif. Sedangkan tanggal 9 Juli nanti kita akan memilih capres dan cawapres. Para wakil rakyat akan nyunggi wakul. Betapa tidak, mereka berkuasa atas pengucuran anggaran (APBD dan APBN) yang tak lain uang rakyat, bakul nasi milik rakyat yang disanggupinya untuk di-sunggi (dijunjung) di atas kepalanya, lewat sumpah jabatannya. Pun juga Presiden dan Wakil Presiden, pada pundak dan kepala merekalah harapan hidup rakyat lebih sejahtera dipikulkan.

Kalau saja para penyunggi wakul (pengemban amanah) di seluruh tanah air ini berhati-hati menjaga amanah, tidak gembelengan, niscaya seluruh rakyat Indonesia pastilah sudah makmur dan sejahtera. Negara kita kaya sekali akan sumber alamnya, hasil bumi dan laut, aneka hasil hutan dan barang tambang. Kalau saja semua itu dikelola dengan baik, benar, jujur dan ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana amanat yang dititipkan para pendiri Republik ini, setidaknya kita tak akan jadi negara yang hutangnya bertumpuk sampai mencekik leher.

Semoga saja syair tembang Jawa kuno Gundul-gundul Pacul itu bisa diresapi mereka yang tahun ini akan berlaga memperebutkan amanah. Banyak diantara mereka yang rela berbuat apa saja agar amanah itu diberikan padanya. Ada yang mendatangi tempat-tempat yang dianggap suci, makam-makam yang dikeramatkan, para “orang pintar” yang bisa menjamin perolehan suara mereka memadai, ada pula yang melakukan serangan fajar pada pemilih atau menyuap oknum KPU/KPUD, yang penting nanti amanah itu jatuh ke tangan mereka. Semoga saja, mereka yang sekarang berebut amanah, berebut diberi kepercayaan nyunggi wakul, kelak kalau sudah jadi tak gembelengan hingga nasi di bakul berantakan. Kalau sudah berantakan, bukan hanya rakyat yang tak bisa merasakan manfaatnya, si pelaku pun hanya bisa gigit jari meringkuk di hotel prodeo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun