[caption id="attachment_315402" align="aligncenter" width="538" caption="foto : news.liputan6.com"][/caption]
GOLPUT DAN APATISME MASYARAKAT TERHADAP PEMILU LEGISLATIF
Segmen acara “Kacamata Michael” di Seputar Indonesia Pagi, RCTI, Jumat, 7 Maret, menyoroti Pileg 2014 yang tinggal sebulan lagi dan pendapat masyarakat. Seperti biasa, Michael Chandra menjumpai masyarakat secara acak di sekitar lokasi shooting. Hari itu yang dipilih jadi responden adalah masyarakat yang lalu lalang di sekitar halte dan jembatan penyeberangan di salah satu wilayah DKI. Responden yang didekati usianya di kisaran 22–50 tahunan, umumnya para pekerja kantoran (dilihat dari pakaian, dandanan serta tas yang dibawa) atau mahasiswa. Dari penampilan, sepertinya mereka tergolong kaum terpelajar (well educated person) dan berada di strata sosial kelas menengah. Pertanyaan yang diajukan Michael : kapan Pemilu Legislatif diadakan, apa yang mereka dapatkan saat datang ke TPS dan berapa jumlah parpol peserta Pileg tahun ini.
Sungguh mengejutkan hasilnya. Untuk pertanyaan pertama, hanya 2 orang yang menjawab benar : 9 April. Itupun salah satunya menjawab dengan ragu. Selebihnya ada yang menjawab 14 April, 8 April, bulan April tak tahu tanggalnya atau bahkan menjawab tak tahu entah kapan. Untuk pertanyaan kedua tentang apa yang didapat ketika datang ke TPS, meski ada yang menyebut “surat suara”, tapi kebanyakan tak paham. Sedang untuk pertanyaan terakhir, sungguh mengenaskan, tak seorang pun tahu berapa jumlah parpol kontenstan Pileg 2014. Saya yakin kalau ditanya siapa caleg yang akan mereka pilih dan nama parpol pengusungnya, bisa jadi para responden itu justru akan menjawab “tidak/belum tahu”.
Michael Chandra menutup segmen itu dengan sebuah tanya : “entah ini sebuah bentuk ketidakpedulian atau kurangnya sosialisasi”. Saya pribadi menilai itu bentuk ketidakpedulian masyarakat pada ajang pesta demokrasi yang seharusnya jadi pesta rakyat 5 tahunan. Kenapa? Sebab responden yang ditanya adalah warga yang sehari-hari beraktivitas di seputaran DKI, berada di lapis sosial kelas menengah dan berpendidikan cukup. Beda kalau yang ditanya orang-orang yang tinggal di pedesaan, pulau-pulau terluar RI, orang-orang lansia atau orang tak berpendidikan. Tak sulit menemukan spanduk, baliho dan poster KPU yang berisi ajakan datang ke TPS tanggal 9 April. Iklan KPU juga ada di media cetak, terutama koran. Para pengguna internet yang rajin berselancar di berbagai situs dan media online, pasti kerap menemukan iklan KPU. Jadi rasanya sosialisasi sudah cukup, kalau sebatas mengingatkan bahwa Pileg diadakan 9 April 2014. Masalahnya : sedikitpun warga tak tertarik menyimak ajakan tersebut. Kalau tanggal Pileg saja mereka sudah tak mau tahu, apatah lagi mencari tahu berapa parpol yang akan berlaga dan siapa saja calegnya, meski setiap hari mereka terpapar foto ratusan bahkan ribuan caleg yang bertebaran mengisi ruang-ruang publik.
Salahkah warga yang tak peduli? Kalau hanya segelintir warga mungkin bisa dikatakan mereka tak peduli. Tapi kalau terjadi pada mayoritas? Umumnya orang yang saya temui baik langsung atau yang berinteraksi di jejaring sosial, yang berkomentar di tulisan saya, atau komentar yang saya baca di berbagai artikel dan berita di media online, mayoritas mengatakan akan golput. Nah, kalau sudah jadi fenomena nasional, apakah apatisme ini kesalahan masyarakat? Bahkan meski mereka tahu betul Pileg tanggal 9 April, banyak yang sudah mantap memutuskan akan golput dengan alasan : tak ada pilihan! Muka lama sudah ketahuan jeleknya, wajah baru tak ada jaminan tak lebih jelek.
Ketidakpedulian dan apatisme “massal” pastilah ada sebabnya. Selama akar masalah dan penyebabnya tak diatasi, sosialisasi sampai berbusa-busa dan menelan biaya triliunan sekalipun, tak akan mampu mengikis apatisme masyarakat. Bahkan kendati dijelaskan dengan gamblang bahwa golput tak akan menyelesaikan masalah, golput tak akan berarti apa-apa, umumnya sebagian besar menjawab : kalau sama-sama tak ada artinya, lebih baik tak memilih dari pada menyesal salah pilih. Sikap apatis ini juga tercermin dari telepon pemirsa yang masuk ke acara Editorial Media Indonesia, Selasa pagi tadi. Alasannya sama : tak mau memilih caleg muka lama, tapi ragu dengan wajah baru
PRESTASI KORUPSI DPR DAN PARTAI POLITIK SEJAK 2004 – 2013
Selama 5 tahun terakhir, DPR dinilai sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Pada tahun 2009, 2010, 2011, DPR “dinobatkan” sebagai “lembaga yang paling korup”. Pada tahun 2012 dan 2013, untuk juara satu lembaga terkorup DPR ditemani oleh Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Di peringkat selanjutnya adalah lembaga pengadilan dan partai politik. Sementara 3 lembaga yang dianggap menjadi sarang koruptor terbanyak pada tahun 2009 adalah parlemen, pengadilan, dan partai politik. Ini bukan hanya hasil survey dari lembaga survey dalam negeri, hasil survei di ASEAN, parlemen Indonesia paling jago korupsi. Jika dibandingkan korupsi yang terjadi di lembaga di negara-negara Asia Tenggara lainnya, hanya di Indonesia yang anggota parlemennya melakukan korupsi, bahkan secara terstruktur. Di negara lain seperti di Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam, lembaga yang paling korup adalah kepolisian.
Ironisnya, gaji dan tunjangan anggota DPR RI justru menempati peringkat tertinggi ke-4 dari gaji dan tunjangan parlemen seluruh dunia, seperti diungkap dalam acara Mata Najwa, Rabu pekan lalu. Artinya : meski DPR Indonesia pendapatannya tertinggi ke-4 dunia, tapi korupsinya tetap tinggi juga. Kesimpulannya : korupsi di tubuh parlemen sama sekali tak ada korelasinya dengan pendapatan yang kurang.
‘Sinyal’ bahwa partai politik dan parlemen adalah lembaga terkorup, sebenarnya sudah berbunyi sejak sepuluh tahun silam. Situs ICW memuat survey yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) selama 3 bulan, antara Juli – September 2004, rakyat Indonesia berpandangan bahwa partai politik dan DPR merupakan lembaga yang sangat korup. Hasil survei itu telah dilaporkan kepada Presiden SBY di Istana Negara pada Jumat, 23 Desember 2005. Menurut Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus TII, korupsi yang dilakukan parpol sebenarnya sudah terindikasi lama oleh masyarakat. Tak satupun parpol memiliki kemampuan logistik independen, sehingga akhirnya berupaya mengumpulkan dana dengan cara-cara seperti makelar untuk membiayai kegiatannya. Survei TII menunjukkan, bahwa DPR dan parpol dinilai sebagai lembaga paling korup sudah sejak 2004. Bahkan partai politik dinilai digunakan sebagai tempat berlindung para koruptor dengan menyumbangkan sejumlah dananya, demikian hasil survey TII.
Kalau sudah demikian persepsi yang tertanam lekat di benak masyarakat Indonesia selama 10 tahun terakhir, dan selama itu pula DPR dianggap “mati rasa” karena tak juga melakukan upaya reformasi, sementara partai politik sebagai lembaga pencetak kader anggota DPR/DPRD dinilai abai terhadap pengawasan kadernya di parlemen, salahkah jika kemudian apatisme masyarakat berada di titik kulminasi hingga tak mau lagi peduli segala hal terkait pemilihan anggota legislatif? Tak kurang kritik keras bahkan demonstrasi ditujukan pada anggota DPR/DPRD, namun DPR dinilai “berhati baja” oleh Formappi (Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia), karena tak mau melakukan pembersihan lembaganya secara serius.
Parpol sebagai institusi yang paling bertanggung jawab atas perilaku korupsi para kadernya, alih-alih mengawasi kader-kadernya di DPR/DPRD, parpol malah seakan mendorong kadernya untuk melakukan tindakan korupsi. Buktinya parpol kerap lambat merespon jika ada kadernya terjerat kasus korupsi, bahkan sering membela kadernya yang korup. “Hal itu menandakan ada simbiosis mutualisme antara parpol dan anggotanya di parlemen untuk melakukan penyimpangan,” kata peneliti Formappi, Lucius Karus.
Tiga fungsi utama parlemen, semuanya bisa disalahgunakan jadi lahan korupsi dan suap. Dalam menjalankan fungsi penganggaran, DPR memiliki kewenangan yang nyaris absolut untuk membahas mata anggaran hingga unit terkecil. Ini memudahkan DPR melakukan “bancakan” anggaran. Saat menjalankan fungsi pengawasan, DPR kerap menyuarakan kritik keras pada mitranya di eksekutif (Kementrian dan lembaga negara lainnya), saat mengevaluasi kinerja pemerintah. Namun sayangnya, kritikan dan tekanan itu seringkali justru jadi isyarat untuk meminta transaksi di “bawah tangan”. Bahkan fungsi legislasi pun bisa jadi ajang “dagang pasal”, pengaturan pasal-pasal dalam penyusunan sebuah Undang-Undang. Masih ingat soal issu menghilangnya sejumlah pasal dari RUU Anti Tembakau yang disinyalir sarat kepentingan pengusaha rokok? Maka, tak salah jika KPK mencatat DPR sebagai sebagai lembaga paling korup selama 5 tahun berturut-turut : 2009, 2010, 2011, 2012, 2013.
Dengan semua realitas memprihatinkan di atas, maka sesungguhnya akar masalah ada di lembaga parlemen dan partai politik sebagai induk yang melahirkan para politisi di parlemen. Golput dan apatisme terhadap pesta demokrasi hanyalah “akibat” saja. Penyebab golput adalah hancurnya trust pada partai politik dan lembaga legislatif. Terbukti, banyak yang memastikan akan golput atau tak hadir ke TPS pada saat Pileg, tapi akan ikut Pilpres selama ada calon yang dianggap layak dipilih. Begitupun Pilkada di beberapa daerah, ada yang mampu menarik antusiasme warga untuk berpartisipasi, selama calon yang diajukan dinilai bisa dipercaya. Masyarakat sudah semakin pintar, mereka memilih orang yang rekam jejaknya baik, bukan karena parpol pengusungnya.
WAJAH PARLEMEN 5 TAHUN KE DEPAN
Lalu bagaimana jika Pileg 9 April nanti tingkat partisipasi masyarakat rendah? Adakah pengaruhnya jika golput mencapai 50% bahkan lebih? Secara perhitungan jumlah kursi DPR/DPRD, sama sekali tak ada pengaruhnya. Senayan akan tetap diisi 560 orang, bahkan bisa jadi muka lama melenggang kembali. Dari 560 anggota DPR yang sekarang, 507 diantaranya maju jadi caleg lagi. Artinya 90% muka lama itu akan kembali menghuni Senayan. Padahal tak kurang dari mereka yang sudah 2 – 3 kali periode jadi anggota DPR, alias sudah 10 – 15 tahun duduk di Senayan. Ada pula yang sebelumnya sudah jadi anggota DPRD di daerahnya. Di berbagai daerah, caleg muka lama melenggang kembali ke DPRD meski terkadang “ganti baju” parpol.
Adakah korelasi positif antara pengalaman yang panjang menjadi anggota parlemen dengan prestasi serta kinerja sebagai legislator? Tidak! Sama sekali tidak. Target legislasi dari tahun ke tahun hanya tercapai 20 – 30% saja dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang ditetapkan DPR sendiri. Ironisnya kebocoran anggaran justru makin besar. Anggota DPR justru semakin pintar memperjuangkan kepentingan kelompoknya. DPR periode 2009-2014 tercatat memperjuangkan pembangunan kompleks gedung baru yang dilengkapi fasilitas pusat kebugaran, spa, perbelanjaan, bahkan kolam renang. Juga berbagai renovasi mulai toilet sampai ruang rapat Banggar bahkan kalender, yang semuanya menelan biaya milyaran. Belum lagi pengadaan mesin absensi sidik jari, yang meski biayanya milyaran tapi sama sekali tak membuat anggota DPR berhenti membolos. Sementara DPR periode sebelumnya pernah ribut soal pengadaan mesin cuci, laptop canggih dan renovasi rumah dinas. Dari periode ke periode, kunjungan kerja ke luar negeri juga selalu jadi bahan gunjingan publik, karena tak ada urgensinya.
Sepertinya kita tak bisa banyak berharap nasib bangsa ini 5 tahun ke depan akan lebih baik dari sekarang. Apalagi kalau wajah lama nanti banyak yang terpilih lagi, artinya “prestasi” lama akan di-LANJUTKAN! Masihkah kita butuh 560 orang mengisi Senayan sementara rakyat tak merasa terwakili? Tampaknya perlu dipikirkan untuk merombak Undang-Undang Pemilu Legislatif, agar yang t erpilih hanya para caleg yang benar-benar berhasil mengumpulkan suara senilai BPP atau minimal 75% dari BPP, yang mana BPP ditetapkan sejak awal berdasarkan DPT, bukan berdasarkan suara sah saja. Dengan begitu, kalau tak ada caleg yang terpilih, ya rakyat tak perlu membayar gaji, tunjangan dan segala macam fasilitas untuk mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H