[caption id="attachment_316969" align="aligncenter" width="480" caption="dok-pri"][/caption]
Membaca beragam berita soal Menpora Roy Suryo bersama rombongannya yang bertamu ke Surabaya lalu makan di Rawon Setan, kemudian ada kekisruhan soal pembayaran, saya jadi ingat pengalaman saya sendiri. Roy Suryo seorang Menteri, pejabat publik, datang bersama rombongan dalam jumlah besar, tagihan harga makanan pun nilainya cukup besar, maka tak heran pemberitaan media massa jadi ramai plus komentar-komentar sinis. Apalagi Roy Suryo mungkin termasuk pejabat yang kurang disukai karena gayanya ditambah pula dari partai berkuasa yang belakangan kurang mendapat simpati. Lengkaplah sudah derita Roy Suryo.
Jangankan pejabat yang untuk urusan bayar membayar sudah ada ajudan atau pihak terkait, sehingga terbuka kemungkinan miss-komunikasi atau tak ada koordinasi yang jelas antara pejabat tuan rumah dan pejabat tamu, tentang siapa yang menjamu makan. Saya saja yang pergi makan sendirian, pernah mengalami lupa bayar. Kejadiannya sudah lama, mungkin sekitar tahun 2008-an. Hari Minggu saya ada janji dengan teman-teman untuk melihat pameran biro perjalanan umroh dan bursa buku Islam di sebuah mall di Surabaya. Kami janjian sekitar pukul 1 siang. Karena saya pikir masih keburu, maka saya baru berangkat setelah sholat Dhuhur. Sayangnya saya lupa memprediksi daerah sekitar mall tersebut selalu jadi pusat kemacetan saat weekend. Jadilah saya jam 1 lebih sedikit baru tiba di mall.
Teman saya SMS bahwa dia dan istrinya sudah di lokasi pameran. Saya minta ijin padanya untuk makan siang dulu. Teman saya mempersilakan, saya pun masuk ke resto sekenanya, tanpa berkeliling mencari. Sayangnya, lagi-lagi saya tak beruntung. Itu jam makan siang dan hari Minggu pula, banyak keluarga memilih maksi di resto. Saya harus antri bahkan sekedar menunggu meja kosong. Pindah ke resto lain sama saja kondisinya. Akhirnya ada meja yang ditinggalkan pengunjung sebelumnya, saya duduk di situ dan segera memesan menu paling praktis dan tak perlu waktu lama memasaknya. Selama makan, SMS teman terus masuk, menanyakan saya ada dimana, mengabarkan kalau teman yang lain juga sudah datang. Wah, saya jadi tak enak hati, merasa membuat orang lain menunggu.
Begitu makanan datang, sayang langsung makan cepat-cepat tanpa dinikmati rasanya. Yang penting perut terisi dan saya harus segera ngacir ke basement. Begitu selesai, telepon saya berdering, teman saya sudah tak sabar lagi. Oke, saya ambil tas dan langsung pergi, dengan langkah tergesa menuju escalator. Sampai di arena pameran, saya pun langsung bergabung dengan teman-teman, sayang tausiyah seorang ustadz ternama sudah usai. Di arena itu saya bertemu teman lama, ngobrol dan berkeliling dari satu booth ke booth lain. Sampai tak terasa sudah sore, teman-teman pun mengajak pulang. Kami tinggalkan lokasi pameran dan langsung menuju parkiran.
Begitu mobil sudah hendak keluar dari pintu keluar mall, antri membayar tiket parkir, saya mendadak teringat : ups, saya belum bayar makan! Teriakan spontan yang keluar dari mulut saya “Ya Allah!” teman saya heran, dia mengira saya kehilangan sesuatu. Saya katakan kalau saya lupa membayar makan siang berikut minumannya. Karena tak mungkin menurunkan penumpang di lokasi itu, terpaksa mobil keluar dulu sampai di luar area parkir mall, barulah saya turun dan bergegas kembali masuk ke mall. Teman saya suruh pulang saja, sebab saya tak ingin menyusahkan mereka dengan menunggu saya gara-gara kelalaian saya sendiri.
Begitu sampai di resto tempat tadi saya makan siang, suasana sudah sepi, hanya ada beberapa meja dengan pengunjung yang tak banyak. Saya langsung menuju kasir dan meminta maaf tadi saya sudah makan tanpa bayar, tapi saya ingat betul menu pesanan saya. Ternyata kasir dan pramusaji disitu langsung mengenali saya. “Mbak yang tadi duduk di meja sana ‘kan?” katanya menunjuk meja tempat duduk saya. “Iya betul”, saya membenarkan. Kasirnya langsung mengeluarkan bill “Ini Mbak sudah disiapkan bill-nya”. Ampuuun!!! Betapa malunya saya. Jadi tadi kepergian saya tergesa-gesa bukannya luput dari perhatian mereka. Mungkin saja mereka tadi mengira saya segera ngacir karena memang berniat tak membayar.
Saya katakan tadi saya terburu-buru karena sudah terlambat memenuhi janji dengan teman-teman. Begitu bertemu teman, saya langsung asyik ngobrol dan baru teringat saat sudah akan pulang. Kasir dan beberapa pramusaji tertawa mendengar cerita saya. “Kenapa gak langsung pulang aja Mbak? Kan gak mungkin juga kami cari Mbak”, kata salah satu dari mereka. “Wah, kalo nanti malam saya sakit perut semalaman gara-gara perut saya penuh makanan haram gimana Mas?” saya balik bertanya. “Kalo belum dibayar ‘kan sama aja saya nyolong, belum halal statusnya”, kata saya. Kasir segera menyelesaikan pembayaran saya dan sekali lagi saya meminta maaf. Pasti tadi akibat perbuatan saya – habis makan langsung ngacir – para pramusaji dan kasir yang bertugas sempat dibuat khawatir karena harus mengganti seharga pesanan makan+minum saya.
Untunglah saya warga biasa. Kesalahan seperti itu tak jadi pembicaraan. Bahkan seperti kata Mas pramusaji, kalaupun saya terus pulang, tak akan ada yang mencari saya di keramaian mall Minggu siang. Tapi..., meski tak akan di-bully di media seperti Roy Suryo, saya akan di-bully hati kecil saya sendiri. Selamat makan siang, jangan sampai lupa bayar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H