[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Aceng HM Fikri, saat masih menjabat Bupati Garut, berjalan menuju ruang pertemuan gubernur Jabar saat akan menerima Surat Keputusan Presiden RI Nomor 17/P Tahun 2013 Tanggal 20 Februari 2013 tentang Pengesahan Pemberhentian Bupati Garut Masa Jabatan 2009-2014 yang akan diserahkan Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan di Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Senin (25/2/2013). (TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN)"][/caption]
Aceng Fikri, mantan Bupati Garut yang ngetop mendadak karena kasus nikah sirri kilat dan cerai via SMS, hampir bisa dipastikan melenggang ke Senayan. Dan terperangahlah semua orang, tak kurang ibu Linda Gumelar, menteri yang mengurusi hak perempuan dan anak. Media sosial pun turut ramai membincangkan keberhasilan Aceng mendulang suara di Provinsi Jawa Barat melalui pemilihan calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD), semacam senator, begitulah.
Rabu 9 April 2014, menjelang jam 10 pagi, seorang teman yang tinggal di Bogor dan baru saja pulang dari TPS, cerita bahwa tadi di surat suara ada nama Aceng Fikri. Semula saya kira ia bercanda, sebab berita yang pernah saya baca, Aceng urung nyaleg. Semula Aceng memang mengincar kursi Senayan, menjadi caleg dari Partai Hanura. Namun karena banyak diprotes, akhirnya Hanura membatalkan pencalegan Aceng. Saya pikir upaya Aceng ke Senayan terhenti sampai di sana. Tapi rupanya Aceng memang pengejar kursi yang tangguh. Banyak jalan ke Senayan. Tak bisa lewat parpol, ya jalan sendiri saja menjadi calon DPD.
Calon DPD sebenarnya lebih “hebat”. Sebab selain maju menonjolkan kekuatan individu, tak bisa mendompleng popularitas parpol, calon DPD juga harus mengumpulkan suara di seluruh wilayah Provinsi. Bandingkan dengan caleg yang dapilnya hanya 2-5 kabupaten/kota saja. Apalagi Jawa Barat adalah propinsi besar dan paling padat penduduknya. Tapi Aceng berhasil membuktikan dirinya layak atas kursi Senayan, setelah perolehan suaranya diposisikan di peringkat ke-3 terbanyak. Jadi, apa yang mengejutkan? Bukankah itu pilihan masyarakat Jawa Barat?
Tak hanya Aceng yang melaju ke Senayan, kedua anak kandung Atut juga hampir pasti lolos ke Senayan. Andika Hazrumy, putra sulung Atut yang pada periode 2009–2014 menjadi anggota DPD mewakili Provinsi Banten, kini kembali ke Senayan lagi, tapi menjadi anggota DPR RI. Andika yang dicalonkan oleh Partai Golkar – yang dulu dipimpin bapaknya, kini dipimpin tantenya setelah Hikmat Tomet meninggal dunia – melalui Dapil Banten I (Kabupaten Lebak dan Pandeglang), mendapat 70.846 suara dari total 192.641 suara yang didapat Partai Golkar di Dapil itu. Sebagai penyumbang 37% suara di dapilnya, tentu saja Andika berhak atas kursi Senayan. Sedangkan adiknya, Andiara Aprilia Hikmat, yang sebelumnya belum pernah berkiprah di kancah politik, kini menggantikan posisinya di DPD, mewakili Provinsi Banten dengan raihan 904.221 suara.
Andika mengusung tagline “Saatnya Yang Muda Mengabdi untuk Provinsi Banten” dan Andiara mengusung jargon “Ayo! Tumbuh dan Berkembang Bersama Banten”. Entah apa yang dimaksud Andiara, sebab ibunya sudah jadi gubernur Banten selama 10 tahun (sejak menggantikan gubernur pertama yang tahun ketiga masa jabatannya tersandung kasus korupsi), namun Banten ya begitu-begitu saja. Pun juga kakaknya yang hampir 5 tahun jadi senator Banten di Senayan, seberapa jauh Andika sudah memacu tumbuh kembang Banten.
[caption id="attachment_321730" align="aligncenter" width="469" caption="Billboard Andiara putri Atut (foto : www.merdeka.com)"]
IRONI YANG DIBENCI YANG DIPILIH
Aceng Fikri, Andika dan Andiara, ketiganya menunjukkan ironi. Aceng meramaikan jagat pemberitaan pada akhir 2012 lalu, karena ketahuan menikahi sirri seorang gadis belia di bawah umur, namun hanya berselang 4 hari kemudian, Aceng menceraikannya lewat SMS. Bahkan kemudian SMS itu tersebar di media, publik bisa menilai betapa kasarnya kata-kata yang dilontarkan Aceng via SMS. Dalam sebuah wawancara langsung di TV One, Aceng bahkan mengatakan bahwa menikah ibarat beli baju, kalau tak cocok ya tinggal kembalikan saja. Aceng mungkin tak tahu, bahkan beli baju pun kalau sudah dibawa pulang tak bisa dikembalikan ke penjualnya. Sungguh sebuah perumpamaan yang sangat merendahkan derajat wanita sebagai istri, sekaligus menistakan sakralnya lembaga pernikahan, yang seolah bisa dibuat mainan sepanjang dia suka.
Aceng memang akhirnya dimakzulkan, namun bukan karena implikasi hukum atas nikah sirri dan cerai SMS-nya. Pengacara Aceng berhasil membela kliennya bahwa tak ada aspek hukum yang dilanggar Aceng. Aceng hanya dinyatakan melanggar etika. Aceng memang tak sekali saja menikah sirri lalu diceraikan. Selain dengan Fanny Octora, sebelumnya Aceng juga pernah menikahi sirri gadis lain hanya bertahan 2 bulan, kemudian dicerai melalui pesan BBM. Seorang pejabat publik yang melanggar etika dan kepatutan dari sisi formalitas bernegara, di mana seharusnya seorang bupati menjadi contoh warga negara yang baik dengan mencatatkan pernikahannya.
Dari sisi agama, Aceng justru mempertontonkan betapa dirinya sama sekali tak mengindahkan tujuan mulia sebuah pernikahan untuk membentuk keluarga yang utuh, sesuai ajaran agama. Aceng menggampangkan akad nikah –janji suci dengan menyebut nama Tuhan – hanya sebagai pemuas hasratnya. Dia juga menggampangkan perceraian dan sama sekali tak menghargai perempuan. Atas perbuatannya itu Aceng dihujat, didemo, dicemooh, dijadikan bulan-bulanan tertawaan di media sosial. Rasanya tumpah ruah kebencian publik atas diri Aceng Fikri yang dicap “doyan kawin”.
Kini, baru 1,5 tahun berlalu sejak peristiwa Aceng dihujat dan dicemooh, masyarakat yang sama memilihnya untuk menjadi Senator mewakili mereka. Meski di daerah tempatnya dulu menjabat, Garut, Aceng tak mendapatkan suara signifikan. Namun itu tak mengurangi kejumawaan Aceng, “Rakyat sekarang sudah cerdas, mereka tahu mana yang benar,” katanya.
[caption id="attachment_321731" align="aligncenter" width="620" caption="Baliho Andika putra Atut (foto : pemilu.tempo.co)"]
Serupa tapi tak sama dengan di Jawa Barat, Banten juga punya cerita yang mirip. Awal Oktober 2013, Wawan, adik kandung Atut ditangkap KPK terkait kasus suap kepada Akil Mochtar. Esoknya, Atut dicekal. Sejak itu gelombang demo menuntut KPK menelisik skandal korupsi yang melibatkan dinasti Chasan Sochib, ayah Atut. Berbagai media massa mengulas nama-nama keluarga Atut yang berkuasa di jalur politik, baik eksekutif maupun legislatif, termasuk Andika Hazrumy. Juga kabar tentang penyimpangan dana hibah dan bansos APBD Banten yang semuanya jatuh ke tangan LSM dan organisasi yang dipimpin sanak keluarga Atut. Pada 20 Desember 2013, Atut resmi ditahan KPK. Sekarang malah sudah siap duduk di kursi terdakwa.
Saat bersamaan, anggota keluarga Atut sedang maju ke ajang pesta demokrasi. Suami (almarhum) dan anaknya jadi caleg DPR RI, menantunya (istri Andika) jadi caleg DPRD Banten dan anak perempuannya jadi calon DPD. Saat itu saya sempat bertanya pada beberapa teman yang asli warga Banten, bagaimana peluang keluarga Atut di 2014. Teman-teman saya umumnya menjawab “habis!”, artinya mereka tak bakal terpilih. “Belum tentu!” kata saya, sebab Banten, sebagiannya masih berada di pelosok, masih miskin, masih terbelakang, bukankah daerah pemilihan seperti ini sangat potensial untuk “digarap”?
Pengamat politik Burhanuddin Muhtadi lewat lembaga surveinya melakukan sigi 2 hari pasca Atut ditahan. Survei itu dilakukan terhadap warga di seluruh Provinsi Banten yang sudah punya hak pilih dengan responden yang dipilih secara acak, menunjukkan: 82% rakyat Banten yakin dengan sangkaan KPK kalau Ratu Atut telah melakukan korupsi dan penyuapan. 72% rakyat Banten menilai pemerintahan di bawah Ratu Atut tidak membaik bahkan memburuk. Ketidakpuasan terhadap kinerja Ratu Atut bahkan mencapai 80%. Karena itu sebanyak 80,6% rakyat menilai Ratu Atut harus menonaktifkan diri sebagai gubernur hingga ada kekuatan hukum tetap.
Faktanya?! Kedua anak Atut berhasil mengumpulkan suara terbanyak dibanding pesaingnya. Entah apa upaya yang dilakukan Andika dan timsesnya di Lebak dan Pandeglang, begitu pula dengan Andiara di seluruh Banten. Yang jelas, dari hasil survei ICW, Banten menduduki peringkat teratas provinsi/daerah dengan kasus money politics tertinggi. Burhanuddin Muhtadi yang mendampingi ICW memaparkan hasil temuannya, bahwa di Banten harga suara sangat murah, cukup dihargai 5.000 – 25.000 rupiah saja. Di Banten bahkan ada istilah “lebaran politik” kata Burhan.
Saya tak tahu apakah Burhanuddin mensurvei seluruh Banten atau hanya daerah seperti Lebak dan Pandeglang saja. Sebab, setahu penulis, di Kota Cilegon dan Serang “pasaran” harga suara minimal Rp. 50.000,00 per orang. Karena itu, caleg yang ingin lebih diperhatikan pemilih, rela membagikan uang Rp. 100.000,00 – Rp. 150.000,00 per orang. Konon, cerita salah seorang teman penulis yang tinggal di Serang, Dapil di mana Adde Rossi, menantu Atut bertarung, saweran yang dibagikan timses istri Andika itu mencapai Rp. 250.000,00 per orang.
[caption id="attachment_321732" align="aligncenter" width="480" caption="Seolah apa yang tertulis di poster ini beberapa bulan lalu sudah tak berarti apa-apa lagi (foto : article.wn.com)"]
DEMOCRAZY, MASIHKAH SUARA RAKYAT = SUARA TUHAN?
Inilah demokrasi, pemenangnya adalah suara terbanyak. Tak soal suara terbanyak itu merepresentasikan pilihan terbaik atau terburuk. Sekali lagi, demokrasi hanyalah soal banyak-banyakan, bukan bagus-bagusan. Ini hanya soal kuantitas, bukan kualitas. Tak jadi soal pula apakah suara itu diraih dengan perjuangan susah payah mendapatkan kepercayaan rakyat, atau “dibeli” dengan memenangkan hati rakyat. Disukai tak selalu berarti yang terbaik. Seorang caleg bisa saja disukai karena dikenal murah hati dan suka berbagi. Seperti pengakuan seorang ibu kala diwawancara sebuah media, dia mengatakan ibu-ibu kampungnya suka dengan Bu Atut, karena tiap kali datang selalu membagi-bagikan mainan dan makanan untuk anak-anak. Bukan urusan mereka dari mana sumber uang yang dipakai untuk bagi-bagi, bukan?
Suara rakyat adalah suara Tuhan, itu prinsip demokrasi. Tuhan yang Mahabijaksana, Tuhan Yang Mahaadil, Tuhan Yang Mahatahu, Tuhan Yang Mahapintar, tentu akan menjatuhkan pilihan pada hamba-NYA yang terbaik, yang paling tepat dan layak dipercaya mengemban amanah. Jadi, semestinya rakyat pemilih sudah memegang sifat Tuhan yang bijaksana, adil, tahu, pintar agar mereka bisa memilih orang-orang yang terbaik dan layak mengemban amanah. Jika kondisi masyarakat sudah seperti itu, maka tepat jika suara rakyat disamakan dengan suara Tuhan.
Namun, ketika kemiskinan masih membelit, hidup sehari-hari saja sudah susah, rakyat merasa mereka harus jumpalitan sendiri untuk bisa bertahan hidup, boro-boro mencari tahu latar belakang sang calon, memilih dan memilah dengan adil dan bijak, agar bisa pintar menentukan pilihan. Apa yang ada di depan mata, itu yang dinilai. Ketika ada orang datang membawa uang 50 ribuan plus sekantong sembako meski isinya tak seberapa, ya itulah penukar suaranya. Mereka tak akan sampai berpikir bahwa jika korupsi bisa diberantas, rakyat Indonesia semua bisa bersekolah dan berobat gratis. Yang ada di pikiran mereka “Siapa yang memberi terbanyak, itulah yang paling murah hati. Akan saya pilih dia, agar nanti dia memberi saya lagi lebih banyak”. Sementara yang tak menawarkan iming-iming instan, dianggap pelit dan jangan harap dipilih.
[caption id="attachment_321734" align="aligncenter" width="600" caption="Popularitas plus posisi di nomor urut 1 sangat menguntungkan bagi Aceng (foto : www.jpnn.com)"]
Begitu pun mereka yang bermodal popularitas. Aceng sangat populer. Populer tak selalu harus positif bukan? Yang penting, namanya dikenal luas dan tertanam di benak banyak orang. Maka ketika surat suara dibuka dan ada namanya di urutan teratas, orang tak mau ambil pusing mencari nama lain yang belum tentu diingatnya. Popularitas, politik uang, semuanya adalah bentuk pragmatisme. Demokrasi kita masih pragmatis. Karena itu, kalau 9 Mei nanti KPU mengesahkan hasil perhitungan suara dan sekaligus menetapkan siapa saja caleg yang lolos ke Senayan, jangan heran jika mereka tak sesuai harapan. Pun juga anggota DPRD di berbagai daerah, jangan heran kalau banyak di antara mereka yang dulunya dikenal preman, pengusaha abal-abal, dll. Selama perut masih kosong, selama masyarakat masih jauh dari sejahtera, selama pragmatisme masih jadi tuhan, maka democrazy hanya bicara soal kuantitas, bukan kualitas. Masihkah suara rakyat representasi suara Tuhan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H