Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Saya Dukung KPK Mengusut Tuntas Penyelewenangan Dana Haji dari Hulu Jangan Hanya Ekornya

24 Mei 2014   00:32 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:11 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari dulu, dana yang terkumpul dari ONH (Ongkos Naik Haji) sangat besar akumulasinya. Sejak sebelum Indonesia dilanda krisis moneter, sudah terjadi antrian berangkat haji yang dikenal dengan istilah waiting list. Tahun 1997, kurs USD melambung terus sehingga ONH yang waktu itu sekitar 6 jutaan terus naik membubung, sementara kondisi ekonomi masyarakat makin lemah. Mulai saat itu, antrian pergi haji menurun dan selama beberapa tahun Indonesia bebas waiting list.

Ketika Orba runtuh, issu soal KKN pengadaan barang dan jasa terkait pemberangkatan haji (pengadaan koper, baju ihrom, tas, sampe payung, dll.) sudah marak dibicarakan. Tapi cuma euphoria belaka, setelah itu tak pernah ada kelanjutannya. Perekonomian membaik, kurs dolar mulai stabil, antrian pendaftar haji meningkat lagi dan mulai lagi ada waiting list.

Mulai 2007, setoran awal ONH yang semula Rp. 20 juta/orang dinaikkan menjadi Rp. 25 juta per orang, dengan pertimbangan untuk mengerem laju pertambahan pendaftar haji. Faktanya, kenaikan Rp. 5 juta tak berarti apa-apa bagi yang sudah ngebet ingin menunaikan ibadah haji. Apalagi bank-bank berlomba-lomba merilis program “DANA TALANGAN”. Tadinya hanya Bank Muamalat, lalu disusul bank-bank lain yang punya unit syariah atau bank Pemerintah yang membuka bank syariah. Maka, dengan adanya program dana talangan, pendaftar haji makin bejibun dan antrian makin panjang. Di beberapa propinsi yang jumlah penduduk Muslim-nya banyak dan animo berhaji tinggi, antrian pergi haji bisa mencapai belasan tahun (misalnya : Jawa Timur, Aceh).

Setoran awal ONH dibayar untuk mendapatkan nomor porsi haji dan selama menunggu, dana ditransfer ke rekening Siskohaj Depag, tanpa bunga/bagi hasil. Sejak tahun berapa saya lupa, dana terkumpul dari setoran awal ONH yang menunggu itu sudah mencapai trilyunan, sehingga ditempatkan seorang Anggito Abimanyu (mantan staf ahli Menteri Keuangan di jaman ibu Sri Mulyani Indrawati) untuk ikut mengelola dana haji. Anggito dianggap figur yang bersih dan paham soal investasi dan pengelolaan keuangan. Kemudian pada tahun 2012, mantan Pimpinan KPK, M. Yasin, diangkat menjadi Inspektur Jendral Kementrian Agama untuk ikut mengawasi Kemenag.

Namun, penyelenggaraan haji bukanlah hal sederhana. Dari hulu sampai hilir banyak sekali tahapan dan pada saat keberangkatan sampai tiba di Mekah dan Madinah, banyak fasilitas yang harus disediakan. Yang jelas adalah kendaraan, penginapan dan catering. Belum lagi banyaknya travel biro nakal yang sering mempermainkan jamaah.

Masih ingat insiden kelaparan jamaah haji Indonesia saat wuquf di Arofah musim haji tahun 2007? Saat itu cateringnya kacau balau, terlambat dikirm sampai berjam-jam. Sungguh memalukan sekaligus mengenaskan kondisi jamaah haji asal Indonesia yang sampai kelaparan di puncak ibadah haji. Menodai kesakralan haji, dimana seharusnya jamaah yang sedang wuquf dijamin ketersediaan segala kebutuhannya agar bisa khusyuk. Memang ada banyak makanan berupa roti dan buah yang terus mengalir dari Pemerintah Sauda maupun warga Mekah yang menyumbang. Namun bagi jamaah Indonesia yang terbiasa makan nasi, terutama jamaah lansia, itu persoalan besar. Mereka tidak bisa makan. Kabarnya, waktu itu, semua telepon ke KBRI di sana tidak ada yang mengangkat. Entah permainannya di tingkat mana. Akhirnya, Menteri Agama waktu itu, Maftuh Basuni, sampai dilempari botol air mineral oleh jamaah yang kesal.

Nah, sebenarnya, carut marut penyelenggaraan haji itu sudah laammaaaa...sekali terjadi. Ibarat “tradisi” yang dilestarikan. Antrian haji melalui waiting list sudah berlangsung lebih dari 10 tahun terakhir ini. Kenaikan setoran awal ONH menjadi Rp. 25 juta, sudah terjadi sejak 2007. Kalau bicara kacau balau teknis penyelenggaraan, penyediaan sarana dan pelayanan, hampir tiap tahun selalu terjadi masalah, entah besar entah kecil. Mulai soal catering sampai pemondokan yang ironisnya jamaah asal Malaysia yang hanya sepersepuluh jamaah asal Indonesia justru bisa mendapatkan penginapan yang lebih dekat ke Masjidil Haram. Dan masih banyak lagi kekurangannya. Padahal semestinya dengan dana mengendap selama menunggu (waiting list) bisa dimanfaatkan untuk memberikan layanan yang lebih baik bagi jamaah haji.

So..., kalau kini KPK mengusut penyelewengan dana haji, inilah kesempatan bagi KPK untuk mengusut sampai tuntas...tas...tas!!! Jangan cuma PEGANG EKORNYA saja, terlalu kecil kalau KPK hanya mengusut dana haji 2012 – 2013. Padahal carut marutnya kan sudah lama. Anggap saja sejak KPK berdiri 11 tahun yang lalu. Atau kalau terlalu jauh mundurnya, ya mulai saja dari moment kekacauan catering di tahun 2007. Bukankah itu juga bukti ketidakberesan pengadaan barang dan jasa bagi jamaah haji?

Tidak perlu lah sensitif menghubungkan ini dengan soal copras-capres yang memang sudah sensitif sejak awal. Justru ini moment bagus untuk membersihkan semuanya, agar tak jadi beban di waktu yang akan datang. Bagi KPK, ini saatnya KPK menunjukkan bahwa KPK memang BEBAS dari TARIK MENARIK POLITIK PRAKTIS. Termasuk Ketua KPK, Abraham Samad. Seperti kata narator Metro TV pagi tadi, carut marut ini sudah lama, tapi KPK baru intens melakukan gelar perkara seminggu terakhir ini. Semoga saja narator Metro TV itu salah. Saya berharap KPK sudah bekerja dan mendalami issu ini sejak beberapa tahun lalu. Apalagi ada Pak M. Yasin di Irjen Kemenag, sebagai mantan Pimpinan KPK yang mestinya bisa banyak membantu KPK.

Ayo KPK,  #SaveDanaHaji! Jangan sampai hanya terpegang ekornya, tapi kepalanya didiamkan. Jangan sampai yang diusut hanya hilirnya, tapi hulunya dibiarkan. Sungguh naif jika KPK hanya mengusut penyelewengan setahun terakhir saja, sementara aroma ketidakberesan itu sebenarnya sudah lama dirasakan jamaah dan orang awam, sejak bertahun-tahun lalu. Saya masih percaya kredibilitas KPK. Tapi kalau KPK hanya bekerja di hilir saja dan hanya bisa pegang bagian ekor saja, maka KPK sedang menggali lubang kuburnya sendiriJangan sampai kecurigaan bahwa ada nuansa politis itu menemukan pembenaran. Jadi, mari KPK, mari buktikan bahwa KPK memang bekerja dengan sungguh-sungguh dan TIDAK TEBANG PILIH. Sekali lagi, saya masih percaya KPK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun