[caption id="attachment_345576" align="aligncenter" width="576" caption="Para wanita warga Dolly sedang serius mendengarkan pengarahan cara membuat kue dari pihak Tri Star (foto : diambil dari FB Grup #SaveRisma, milik Pak Kartono)"][/caption]
Hiruk pikuk dan gegap gempita pro-kontra penutupan lokalisasi Dolly pada 18 Juni lalu, usai sudah. Dolly memang sudah resmi dideklarasikan ditutup, tapi Pemerintah Kota Surabaya masih memberi waktu 7 hari kerja bagi para PSK untuk mengambil dana kompensasi serta melakukan pemeriksaan kesehatan. Selama itu, wisma yang masih nekad buka memang masih diberi waktu. Kebetulan, batas akhir pengambilan dana kompensasi bertepatan dengan hari terakhir sebelum masuk bulan Ramadhan. Sudah jadi aturan dan kesepakatan sejak dulu, selama bulan Ramadhan semua aktivitas hiburan malam di Dolly wajib ditutup. Umumnya para PSK pulang ke kampung halaman selama sebulan lebih, sampai setelah Idul Fitri. Tahun ini, berlaku juga hal serupa, bedanya : Pemkot Surabaya akan menindak tegas wisma (rumah bordil) yang tetap nekad buka seusai Idul Fitri.
[caption id="attachment_331453" align="aligncenter" width="538" caption="(foto diambil dari grup FB #SaveRisma)"]
Seperti ramai diberitakan media massa mainstream, baik media TV maupun onlen, penolakan keras dilakukan oleh para pekerja lokalisasi (PSK, mucikari, makelar tamu, penjual minuman, dll.). Begitupun sebagian warga yang tinggal di kawasan gang Dolly yang menyebut dirinya “warga terdampak”, yaitu mereka yang secara tak langsung mendapatkan penghasilan dari keberadaan lokalisasi Dolly, semisal pencuci baju yang sehari-hari menerima cucian dari seribuan lebih PSK. Penolakan-penolakan itulah yang di-blow up besar-besaran hingga membentuk opini publik bahwa penutupan lokalisasi – yang konon terbesar se-Asia Tenggara itu – adalah suatu kemustahilan. Bukan itu saja, penutupan lokalisasi hanya akan menyengsarakan para pekerjanya yang sudah terbiasa mendapat penghasilan belasan juta sebulan, kini harus kehilangan pekerjaan.
[caption id="attachment_331454" align="aligncenter" width="259" caption="foto : kabargress.com"]
[caption id="attachment_331455" align="aligncenter" width="480" caption="foto : www.suarasurabaya.net"]
Ironis sebenarnya, karena upaya penutupan lokalisasi tidak bisa ditinjau dari sudut pandang kehilangan pekerjaan semata, ibarat pabrik rokok Sampoerna yang mem-PHK ribuan karyawan. Penutupan lokalisasi yang sudah berbaur tanpa batas dengan masyarakat sekitar, non pemilik wisma esek-esek dan non pekerja lokalisasi. Anak-anak dari warga sekitar sejak kecil tumbuh dan berkembang di lingkungan prostitusi yang sangat tidak baik untuk perkembangan jiwa mereka. Anak-anak disitu – yang seharusnya masih belajar – terbiasa keluyuran sampai jam 10 malam menyaksikan pemandangan para PSK duduk berjajar bak di akuarium, melihat para centeng dan pelanggan prostitusi berinteraksi, bahkan mereka sejak kecil sudah terbiasa dengan gaya mengisap rokok dan menenggak miras. Di sisi lain, gadis-gadis ABG sehari-hari melihat para PSK berdandan menor dan seakan glamor, membuat mereka akhirnya berpikir : alangkah mudahnya mendapatkan uang dan memiliki semua asesories idaman wanita, cukup dengan mejeng dan menunggu “pembeli”.
[caption id="attachment_331456" align="aligncenter" width="297" caption="foto : www.tempo.co"]
[caption id="attachment_331457" align="aligncenter" width="477" caption="foto : www.nahimunkar.com"]
Terlepas dari semua kabar penolakan, sedikit sekali media mainstream yang meliput sisi sebaliknya, mungkin hanya media lokal yang tak terlalu dikenal. Tentang sejumlah warga gang Dolly yang berbondong-bondong menyampaikan aspirasinya meminta agar Dolly segera ditutup, tentang anak-anak usia SD yang tinggal di kawasan Dolly yang berkirim surat pada ibu Walikota Surabaya, meminta agar Dolly ditutup agar ia bisa tenang belajar, tentang kisah mantan mucikari yang memulai hidup baru dengan berjualan telur asin dan telur ayam negeri, dll. Semua itu seolah (sengaja) dinafikan, padahal jika diberitakan akan bisa jadi motivasi dan penambah spirit pekerja lokalisasi yang sebagian memang sudah ingin keluar dari “jerat” lokalisasi.
[caption id="attachment_331458" align="aligncenter" width="276" caption="foto : www.suryaonlen.co"]
KISAH SUKSES PENUTUPAN 4 LOKALISASI DI SURABAYA SEBELUM GANG DOLLY
Padahal, Dolly bukan lokalisasi pertama yang ditutup Pemkot Surabaya. Sebelumnya, Walikota Tri Rismaharini telah menutup 4 lokalisasi, yang sebelumnya juga diwarnai penolakan. Keempat lokalisasi itu adalah :
1.Dupak Bangunsari, di Surabaya Utara, ditutup pada 21 Desember 2012, kini kawasan tersebut dijadikan pusat usaha produksi makanan kemasan, keset, pernik-pernik, dan jilbab tenun. Sebanyak 163 PSK berasal dari 61 wisma dan 50 mucikari di-alihprofesi-kan. Pemkot Surabaya memberikan dana kompensasi dan pelatihan ketrampilan. Warga yang semula mencari nafkah dari wisma dan karaoke kini diajari berusaha. Omzet mereka kini bahkan ada yang mencapai Rp 10 juta/bulan.
2.Tambak Asri, di Surabaya Barat, ditutup pada 28 April 2013, semula dihuni ratusan PSK dan mucikari yang tersebar di 90 wisma dan 20 kafe. Bu Risma selaku Walikota memberi bantuan 2 buah mesin cuci untuk usaha laundry, kini para mantan PSK sudah berhasil mengembangkan menjadi 10 mesin cuci, artinya usahanya berkembang hingga bisa menambah asset. Selain itu, beberapa rumah bekas wisma disewa pemkot untuk produksi jilbab tenun dan pernak-pernik.
3.Moroseneng, di Surabaya Barat, ditutup 22 Desember 2013.
4.Klakah Rejo, juga di Surabaya Barat, ditutup di tanggal yang sama. Dua lokalisasi itu tadinya dihuni sekitar 350 PSK dan 90 mucikari
[caption id="attachment_331459" align="aligncenter" width="400" caption="Aktivitas eks pekerja lokalisasi Dupak Bangunsari yang kini bergerak di bidang usaha kuliner (foto : news.detik.com)"]
Tak ada penutupan lokalisasi yang awalnya tidak diwarnai protes. Tapi rencana itu jalan terus, perlahan tapi pasti, wajah eks lokalisasi berubah menjadi sentra-sentra kerajinan dan belanja. Karena itu, Bu Risma sempat berujar “Dolly bukan ditutup, tapi diubah wajahnya”. Para pekerja lokalisasi akan dialihkan profesinya seperti halnya kawasan Dupak Bangunsari yang telah dialihkan menjadi sentra produksi makanan dan membuahkan hasil yang bagus. Para eks PSK kini beralih profesi sebagian jadi pedagang makanan olahan yang menuai omset yang cukup fantastis. Rata-rata setiap pedagang produksi makanan olahan ini meraup keuntungan hingga Rp 10 juta/ bulan. Sebuah capaian yang luar biasa bagi para pekerja yang umumnya tak memiliki ketrampilan teknis dan bekal pendidikan formal yang memadai. Inilah bukti bahwa selama masih ada kemauan untuk bekerja, Tuhan tak akan pernah menutup pintu rejeki.
Di Dupak Bangunsari kini sudah tumbuh hingga 10 industri rumah tangga yang memproduksi batik. Karena itu, bukan tidak mungkin Dolly pun bisa diubah wajahnya menjadi sentra belanja. Rencana Bu Risma, para pekerja di Gang Dolly ( PSK, penjual miras, penjual kondom, dll.) akan dialihkan profesinya ke sektor pekerjaan lain yang berbasis industri rumah tangga, semisal menekuni bisnispenjualan telur asin, bawang goreng, dll.
[caption id="attachment_331460" align="aligncenter" width="538" caption="Para wanita warga Dolly sedang serius mendengarkan pengarahan cara membuat kue dari pihak Tri Star (foto : diambil dari FB Grup #SaveRisma, milik Pak Kartono)"]
MENGUBAH WAJAH DOLLY DI BULAN RAMADHAN
Lalu, setelah lebih 10 hari dideklarasikan ditutup, adakah PSK yang mau ikut program pengentasan dan berhijrah ke jalan hidup yang tidak dilarang agama? Ada! Meski luput dari pemberitaan media mainstream. Sebuah UKM (Usaha Kecil Menengah) yang juga bergerak di bidang Taman Bacaan “Kawan Kami” melakukan pendampingan kepada eks warga Dolly (mucikari, PSK, warga terdampak) untuk belajar membuat kue kering yang biasa disuguhkan saat lebaran. Mereka dilatih langsung oleh industri kue kering Tri Star. Adalah pak Kartono, yang selama ini mengupayakan Taman Bacaan, yang membantu memasarkan kue-kue buatan eks pekerja lokalisasi itu. Kini, kue-kue tersebut dipasarkan di kantor koperasi TBM Kawan Kami, yang berlokasi di Jl. Putat Jaya 2A No.36 Surabaya. Tak jauh dari lokalisasi Dolly dan Jarak.
Beberapa teman saya yang sudah datang ke sana dan mencoba membeli kue buatan mereka, rasanya enak, kualitasnya bagus dan harganya pun terjangkau. Hanya saja, karena ini masih industri rumahan skala kecil, untuk membelinya harus pesan dulu, karena pembuatannya tidak dalam jumlah besar. Para produsen kue itu terdiri dari beberapa kelompok yang semuanya eks pekerja lokalisasi. Karena pesanan cukup banyak, tidak semua pesanan itu diberikan pada satu kelompok saja, melainkan diteruskan ke kelompok lain. Namun tak perlu diragukan kualitas dan rasanya, sebab “ilmu” dan resep yang didapat berasal dari sumber yang sama. Memang penampilan kue-kue itu dan kemasannya bisa dibilang masih seadanya dan belum dikemas dengan “gemerlap” seperti industri besar yang menjual produknya di mall. Kendati begitu, sekelompok organisasi pemuda siap melakukan pendampingan dan pembinaan agar bisa dikemas lebih menarik lagi hingga tak kalah dengan buatan toko kue profesional.
Jumat lalu, saya mencoba mempromosikan kue kering buatan warga gang Dolly itu dengan mengunggah fotonya ke laman facebook saya dan menuliskan status yang menerangkan “inilah kue kering lebaran karya mbak-mbak eks wanita gang Dolly yang sekarang belajar mengubah hidup mencari rizki di jalan halal”. Tak dinyana, status dan foto itu di-like banyak pihak dan banyak pula yang men-share status itu ke akun FB mereka. Tak jarang, mereka yang men-share juga me-mention teman-temannya di Surabaya, mengajak agar membeli kue itu. Dari komentar yang masuk di akun-akun yang men-share status tersebut, bisa dikatakan semuanya memberikan support, mendoakan, merasa haru dengan upaya bangkit dari lembah nista dan tentu saja mengajak membantu dengan cara membeli produk kue kering itu. Sampai sore ini, Alhamdulillah jumlah share-nya sudah mencapai lebih dari 400 kali, bahkan di share juga ke fans page laman FB sebuah situs Islami. Siapa bilang makanan buatan eks PSK tak ada yang mau membeli? Itu hanya kesan negatif yang dihembus-hembuskan untuk melemahkan upaya bangkit dan keluar dari bisnis prostitusi.
[caption id="attachment_331461" align="aligncenter" width="576" caption="Para wanita gang Dolly ini sedang sibuk membuat kue kering (foto diambil dari FB Grup #SaveRisma, milik Pak Kartono)"]
Sebagian keuntungan dari kue itu akan digunakan untuk operasional taman baca dan membantu sekolah anak-anak disekitar gang Dolly. Jadi, berbelanja sambil beramal. Membeli kue lebaran yang enak, yang murah, yang bagus tampilannya, dimana saja bisa, banyak pilihan. Namun membeli hasil karya eks pekerja lokalisasi, setidaknya membantu mendongkrak rasa percaya diri mereka, bahwa bekerja di jalan halal, menjual kue, juga bisa memberikan keuntungan yang membawa berkah. Ketimbang menjual tubuh dan layanan seksual, meski hasilnya belasan juta, toh selama bertahun-tahun hidup mereka tetap tak jadi kaya. Bahkan ketika usia mulai menua, penyakit mulai datang, mereka tak juga punya tabungan meski sudah melacur bertahun-tahun. Believe it or not, meski hasilnya belasan juta per bulan, tapi tanpa adanya barokah, uang itu menguap begitu saja. PSK tetap saja PSK, tak bisa jadi jutawan dari menjual tubuh dan kehormatannya. Sementara dengan membuka usaha halal, ada harapan bisnisnya akan berkembang bahkan bisa mengajak sanak saudara ikut bekerja dan memberi penghasilan bagi orang lain.
Tak hanya itu saja, sekelompok anak muda yang tergabung dalam Komunitas Pemuda Surabaya selama bulan Ramadhan ini mengadakan kegiatan bertajuk “BARBAR di DOLLY” (Bareng-bareng Ramadhan di Dolly. Setelah sebelumnya mendukung penutupan lokalisasi Dolly dengan membuat petisi yang diserahkan kepada Menteri Sosial, para pemuda arek-arek Suroboyo kini membuat gerakan “MENGUBAH WAJAH DOLLY”. ada beberapa program yg dilakukan :
1.DOLLY CERIA : program pendidikan untuk terapi anak, pendidikan kesehatan dan mengundang para profesional untuk memberikan materi kepada anak-anak yg hidup di sekitar lokalisasi Dolly.
2.BAHAGIA BERSAMA : ajang silaturahim antara warga Dolly dan non Dolly, lewat kegiatan bukber, nobar (nonton bareng) semifinal dan final Pildun, sekaligus sahur bersama warga.
3.KAMPUNG RAMADHAN : berupa bazaar yang bertujuan meningkatkan nilai perekonomian warga Dolly di bulan Ramadhan.