Setiap masyarakat pada umumnya menyambut Tahun baru dengan impian dan harapan yang baru. Namun tidak bagi sebagian besar masyarakat
Jabodetabek dalam menyambut masuknya Tahun 2020, hal ini karena bencana alam berupa kebanjiran yang dihadapi masyarakat sebagian besar
saat tertidur lelap di kawasan Jabodetabek pada hari rabu tanggal 1 Januari 2020. Masyarakat Jabodetabek tidak memikirkan lagi bagaimana nikmatnya menyambut Tahun Baru namun lebih fokus memikirkan bagaimana cara menyelamatkan diri mereka tanpa memikirkan harta benda mereka.
Kebanjiran yang terjadi ini tentunya bukan hanya berdampak pada masyarakat namun juga berdampak kepada kerugian yang dihadapi Negara. Sebagaimana informasi yang diperoleh dari sarana media massa banyak bangunan pemukiman yang digenangi air bahkan ada yang roboh, sepeda motor, mobil, alat-alat elektronik, furniture, truk dan jenis kendaraan lainnya yang terkena bahkan terseret air saat banjir terjadi.
Kalau kita kaji, kepemilikkan atas kendaraan bermotor  seperti sepeda motor, mobil, truk dan lainnya, alat-alat elektronik, furniture serta kredit kepemilikkan rumah tinggal pasti ada yang masih dalam status kredit atau pinjaman ke Bank. Kejadian banjir memungkinkan potensi kredit macet juga timbul jika debitur tidak menyelesaikan angsuran kepemilikkan rumah tinggal, alat-alat elektronik, furniture dan cicilan kredit atas kendaraan yang terkena banjir. Jika debitur tidak mau menyelesaikan angsuran cicilan kreditnya akibat banjir, maka sektor perbankan konvensional baik pemerintah maupun swasta akan dirugikan. Hal ini akan berdampak kepada tingkat NPL (Non Performing Loan) dan LDR (Loan Deposit Rasio) yang dihadapi oleh sektor entitas perbankan konvensional khususnya sektor perbankan pemerintah.Â
Semakin banyak masyarakat yang menunggak kreditnya maka semakin tinggi nilai NPL. NPL yang tinggi akan mengurangi tingkat modal sektor perbankan yang berdampak kepada penyaluran kredit untuk periode berikutnya. Peraturan Bank Indonesia Nomor15/2/PBI/2013 menetapkan Rasio Kredit Bermasalah adalah 5% dari jumlah seluruh kredit yang diberikan. Semakin tinggi NPL nya maka dikatakan Bank semakin tidak sehat. NPL tinggi dapat menurunkan laba yang akan diterima oleh Bank. Tentunya akan berdampak kepadatingkat LDR suatu bank konvensional. Menurut Mulyono (1995) dalam Yuyun Nurul Aini (2006:35), rasio LDR merupakan rasio perbandingan antara jumlah dana yang disalurkan ke masyarakat (kredit) dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri yang digunakan.
Rasio ini menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan yang dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi rasio ini semakin rendah pula kemampuan likuiditas bank (Dendawijaya, 2001 dalam Yuyun Nurul Aini (2006 : 35) ). Sebagian praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari LDR suatu bank adalah sekitar 85%. Namun batas toleransi berkisar antara 85%-100% atau menurut Kasmir (2003) dalam Yuyun Nurul Aini (2006 : 35), batas aman untuk LDR menurut peraturan pemerintah adalah maksimum 110 %. Kedua hal ini berpengaruh terhadap besarnya jumlah Giro Wajib Minimum Perbankan Konvensional yang ditetapkan oleh Bank Sentral berdasarkan persentase dana pihak ketiga yang dihimpun perbankan.Â
Hal ini dapat dilihat pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/6/PBI/2017 dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/4/PADG/2017 mengenai  Giro Wajib Minimum bagi Bank Konvensional. GWM yang dimaksud dalam hal ini antara lain : 1) Pertama, GWM Primer adalah simpanan minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 2) Kedua, GWM Sekunder adalah cadangan minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Deposito Bank Indonesia, dan Surat Berharga Negara, yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK. 3)
Ketiga, Loan to Funding Ratio yang selanjutnya disingkat LFR adalah rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk kredit kepada bank lain, terhadap: a. dana pihak ketiga mencakup giro, tabungan, dan deposito dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antarbank; dan b. surat berharga dalam rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu yang diterbitkan oleh Bank untuk memperoleh sumber pendanaan. LFR Target adalah  kisaran LFR yang dibatasi oleh batas bawah dan batas atas yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam rangka perhitungan GWM LFR. GWM LFR adalah simpanan minimum dalam rupiah yang wajib dipelihara oleh Bank dalam bentuk saldo Rekening Giro pada Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari DPK yang dihitung berdasarkan selisih antara LFR yang dimiliki oleh Bank dengan LFR Target.Â
Ini bertujuan agar kredit bank tetap dapat disalurkan pada batas rentang yang ditentukan yang mendorong pergerakkan pada pertumbuhan ekonomi. Pergerakkan pertumbuhan ekonomi menggambarkan sektor perbankan memberikan kontribusi bagi perekonomian negara dalam menekan tingkat inflasi. Kiranya tulisan ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah bahwa kondisi banjir juga turut mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi negara sehingga diharapkan upaya perbaikkan regulasi dapat dilakukan dari banyak sektor termasuk  perbankan mengenai penilaian devaluasi asset yang disesuaikan dengan pokok pinjaman atau tingkat bunga yang diberikan bagi, peraturan wajib menggunakan asuransi bencana alam bagi asset yang dikredit oleh pihak debitur, tata kota dalam hal sanitasi air dan pendirian tanggul, lingkungan hidup dalam hal pembuangan sampah yang diharapkan dapat menurunkan jumlah kredit macet yang timbul akibat dari kondisi force majeur seperti banjir, gempa bumi yang berada di luar kendali masyarakat dan pemerintah.
Ditulis Oleh : Irene Sukma Lestari Barus
Dosen Universitas Widyatama (UTama)
Jumat, 3 Januari 2020
Daftar Pustaka :
1. Â Dendawijaya, Lukman. 2001. Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia.