Mohon tunggu...
Sri Ken
Sri Ken Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Swasta

Suka masak sambal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ujaran Kebencian Penghambat Demokrasi Era Reformasi

6 Mei 2018   15:33 Diperbarui: 6 Mei 2018   15:44 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: therightleftchronicles.com

Sejak era reformasi 1998, keran menyampaikan pendapat semakin terbuka lebar. Reformasi menjadi suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Kebebasan berpendapat pada era reformasi ini bagai dua mata pisau. Disatu sisi masyarakat menjadi kritis, responsif, dan terjamin kebebasannya dalam berekspresi. Namun di sisi lain begitu banyak yang seenaknya mengkritisi tanpa data yang pasti.

Pertanyaan yang cukup menggelitik, apakah kebebasan dalam era reformasi ini berarti bebas tanpa batas?. John Stuart Mill dalam On Liberty mengatakan bahwa argumen apapun harus diberi kebebasan dan didorong hingga batas nalar logika, bukan batas emosional atau moral. 

Namun Mill juga mengenalkan prinsip kerusakan yang dapat membatasi kebebasan berargumen. Apa maksudnya? Diskusi rasional tanpa kekangan memang menjadi tulang punggung demokrasi era reformasi, namun ketika ujaran tersebut ternyata dianggap menimbulkan lebih banyak kerusakan daripada manfaat, ia tidak lagi perlu dilindungi.

Di Indonesia, ujaran yang menimbulkan kerusakan lebih kita kenal dengan istilah ujaran kebencian (hate speech). Dengan dalih kebebasan berpendapat, ada beberapa individu bahkan kelompok yang mengumbar narasi kebencian diruang publik, baik offline maupun online. Ironisnya, hal ini dianggap sebagai sebuah kewajaran dan santer dibagikan melalui media sosial.

Sudah saatnya kita memahami bahwa ujaran kebencian dapat menimbulkan efek yang negatif. Menanam bibit buruk tentu akan berbuah buruk pula. Pada kehidupan bermasyarakat ujaran kebencian berpotensi menimbulkan konflik dan kekerasan. Betapa banyak kasus perang antar saudara, suku, agama akibat tajamnya mulut. Dan tidak sedikit yang berakibat harus terjerat kasus pidana. Kemudian dalam ranah yang lebih luas, ujaran kebencian merupakan pemicu munculnya gerakan radikalisme dan terorisme.

Menyadari bahaya yang ditimbulkan, sudah saatnya kita bergegas untuk turut andil. Bagaimana caranya? Tentu diawali dengan pemahaman bahwa antara kritik dan ujaran kebencian adalah hal yang berbeda. Jangan sampai kita terjebak membenci seseorang akibat tersebarnya isu atau data yang belum pasti kebenarannya. Kritik dalam ranah kebebasan berpendapat yang benar adalah berlandaskan fakta dan data serta disampaikan secara santun dan membangun.

Selanjutnya perlu kita kampanyekan gerakan hari bebas dari kebencian, baik diruang nyata maupun ruang maya. Kita bisa namai ini dengan "Hate Free Day". Diruang nyata dapat diwujudkan dengan membiasakan berbicara secara santun, penuh kasih sayang. Jalin kembali silaturahmi dengan saudara, bicaralah dengan mereka secara tatap muka. Sedangkan diruang maya, posting quote tentang indahnya perdamaian, kasih sayang, kalau bisa buat hal ini hingga menjadi viral.

Poin terpentingnya adalah selalu kita ingat bahwa ujaran kebencian berbeda dengan kritik. Ujaran kebencian hanya akan menghambat proses demokrasi di era reformasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun