Pengamat Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy memprediksikan satu calon presiden membutuhkan biaya kampanye setidaknya 5-6 trilyun rupiah. “Jadi kalau cuma 3 trilyun itu terlampau sedikit. Saya duga dua kali lipat atau paling tidak 5 trilyun,” ungkapnya seperti diberitakan Tabloid Media Umat Edisi 121, Jum’at (7-20 Februari).
Noorsy berpatokan pada jumlah kabupaten dan kota yang ada di Indonesia. Kalau dihitung 524 kabupaten dan kota yang 60 persennya berbiaya tinggi karena ada di Pulau Jawa.
“Dari 524 itu sekitar 300-nya adalah kota dan kabupaten besar dan setiap kabupaten kotanya paling tidak butuh biaya seratus sampai dua ratus milyar saja itu sudah berapa?” ungkapnya.
Menurutnya, tentu saja sebagian besar dari uang yang dibutuhkan itu didapat dari sumbangan BUMN-BUMN –terutama BUMN keuangan--- juga perusahaan-perusahaan besar baik swasta maupun asing yang asetnya minimal Rp 15 milyar.
“Itu diakui kok, diterima kok dalam audit. Cuma auditnya dibuka ke publik atau tidak, itu saja,” ungkapnya.
Ia menegaskan hal itu biasa ditemukan oleh auditor akuntan publik. “Kalau auditor BPK saya tidak tahu, tapi kalau auditor akuntan publik itu ya sering menemukan di manajemen laba (earnings management),” ungkapnya.
Manajemen laba itu ada tiga komponen yakni manajemen kontrak, bonus dan politcal cost. “Nah, sumbangan ke capres itu masuknya ke political cost manajemen laba tadi atau di biaya transaksi,” bebernya.
Karena masuknya ke pos keuntungan, tentu saja sumbangan ke capres --- yang akhirnya terpilih jadi presiden--- sangat menguntungkan. Di antaranya adalah konsesi, lisensi, hak istimewa memperoleh proyek, dan macam-macam.
“Kalau pakai APBN bisa di-input dan di-output. Kalau non APBN bisa dilisensi, bisa dikonsesi. Macam-macam manfaatnya bagi perusahaan BUMN maupun perusahaan swasta,” lontarnya.
Dampak dari itu semua, masyarakat yang dirugikan. “Jadi kerugiannya banyak, berkali-kali lipat. Dalam hitungan saya tiga kali lipat!” tegas Noorsy.
Pertama, kerugian harga-harga naik. Kedua, arah kebijakan pemerintah dikendalikan oleh perusahaan. Ketiga, organisasi politik dan birokrasi tidak lagi efektif mengelola aspirasi masyarakat tetapi mengelola aspirasinya korporasi.