Mohon tunggu...
Iqri Sulizar
Iqri Sulizar Mohon Tunggu... wiraswasta -

Media Integrator: Sosmed, Offline Media,Web/Blog, Android dan SMS Gateway

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sistem Pemilu Bikin Caleg Gila?

4 Maret 2014   03:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:16 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pakar Psikologi Politik Prof Dr Hamdi Muluk menyatakan sistem Pemilu yang berlaku saat ini memang memungkinkan calon anggota legislatif yang gagal terpilih, menjadi gila. “(Karena) sistemnya ini terlalu membuka lebar pintu bagi orang untuk bereksperimen prilaku,” tegasnya kepada mediaumat.com, Sabtu (15/2) melalui sambungan telepon.

Salah satu eksperimen prilaku tersebut adalah mencoba peruntungan menjadi caleg, padahal itu tidak rasional bagi dirinya. “Padahal jumlah orang yang betul-betul mampu dinominasikan untuk menjadi caleg itu sedikit. Mampu di sini ya mampu pengetahuannya, mampu akhlaknya, mampu track record-nya, mampu juga dari segi pendanaan dan didukung partai,” ungkapnya.

Menurut Hamdi, dengan sistem terbuka ini juga akan bersaing di antara caleg dari anggota parpol sendiri. Ya tentu sangat mahal biayanya. Sudah pinjam sana-sini, sudah habis satu milyar kok belum cukup juga. Nanti kalau tidak terpilih stres dia karena tidak bisa mengembalikan pinjaman.

“Jadi sistem kita ini juga tidak rasional. Ya sudahlah, terjadilah itu, yang tidak kuat mental kepental, masuk rumah sakit jiwa. Nah, ini yang diantisipasi oleh rumah sakit jiwa. Atau pura-pura gila supaya tidak ditagih utangnya,” bebernya.

Partai yang ada juga tidak menyaring dengan ketat calon calegnya. Lagi-lagi karena sistem pemilunya kan berupa proporsional terbuka dan banyak partai. “Ini yang bikin kacau!” tegasnya.

Akibatnya, lanjut Hamdi, partai disuruh memilih sepuluh orang calegnya di satu daerah pemilihan (dapil), misalnya. Partai panik, harus mencantumkan nama orang sebanyak itu. Padahal orang yang berkualitas di masyarakat itu sedikit. Dan partai, karena dituntut untuk mengisi kolom caleg yang banyak itu akhirnya mengendorkan seleksi di dalam tubuh partai sendiri.

Tapi Parpol juga kadang kelakuannya tidak bertanggung jawab. Suka malakin (memeras, bahasa politikusnya sewa perahu, red) orang yang mau jadi caleg. Artinya, orang-orang yang baik, yang ingin tetap mengabdi ke republik ini dengan jalur yang benar yang tidak usah membayar uang perahu, tetapi partai menyaring calegnya berdasarkan kualifikasi kemampuan dan integritas, bukan karena menyogok, akan tersingkir.

Menurutnya, banyak orang-orang bersih yang mau tulus mengabdi ke republik datang ke partai ditanya: ‘Mau bayar sewa perahu berapa Lu?’ Kalau orang bersih ini bilang tidak punya duit, maka dijawab: ‘Mau sehebat apa pun Lu, profesor doktor apa pun Lu, kemampuannya sehebat apapun belum tentu bisa naik perahu.’

“Banyak contoh kasusnya, teman-teman saya ya melaporkan pengalamannya seperti itu. Jadi, parpol-parpol itu tidak mencari orang berkualitas kok, mencarinya ya wani piro tadi. Makanya ya banyak pengusaha yang masuk jadi legislator kan? Karena mampu membayar wani piro tadi.” pungkasnya.

Download Aplikasi Androidnya di Google Play Store atau https://play.google.com/store/apps/details?id=com.appmk.magazine.AOURGEKEXRFACDPKCH&hl=in

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun