Mohon tunggu...
Iqlima Briliany
Iqlima Briliany Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Negeri Semarang

Saya suka menulis hal-hal yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyusuri Bayang Sensor: Wajah Pers Dalam Cengkaraman Kekuasaan Orde Baru

22 Desember 2024   16:10 Diperbarui: 22 Desember 2024   16:00 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pers memiliki peran vital dalam kehidupan demokrasi, terutama sebagai pilar
keempat yang menjaga keseimbangan kekuasaan. Namun, sejarah mencatat bahwa pers
sering kali menjadi arena pertarungan antara kebebasan dan kekuasaan, sebagaimana
terjadi di Indonesia pada era Orde Baru. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, pers
tidak hanya berfungsi sebagai media informasi tetapi juga alat kontrol yang dikendalikan
dengan ketat. Situasi ini mengangkat pertanyaan besar: apakah pers benar-benar mampu
menjadi suara rakyat di bawah tekanan rezim otoriter? Di balik janji stabilitas politik dan
pembangunan ekonomi, pemerintahan Orde Baru membawa pendekatan represif terhadap
media. Kebijakan-kebijakan seperti penerapan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)
dan pemberlakuan sensor menyeluruh menjadi simbol dari upaya membungkam suara-
suara yang berbeda pendapat. Media yang berani menyuarakan kebenaran dihadapkan
pada ancaman pembredelan, yang tidak hanya melumpuhkan redaksi tetapi juga
menciptakan iklim ketakutan di kalangan jurnalis.
Namun, kendali ini tidak sepenuhnya berhasil. Pers Indonesia, baik yang legal
maupun gerakan bawah tanah, menemukan cara untuk bertahan. Kritik halus melalui
satire, metafora, dan berita tersirat menjadi senjata perlawanan. Bahkan pers mahasiswa,
yang sering kali dianggap marginal, memainkan peran penting dalam menyuarakan kritik
terhadap kekuasaan. Keberanian ini menjadi bukti bahwa pers selalu memiliki daya hidup
untuk melawan tekanan. Fenomena ini menarik karena pada saat yang sama, pers juga
menjadi alat propaganda pemerintah. Media seperti TVRI dan RRI dimanfaatkan untuk
menyebarkan narasi tunggal yang mendukung legitimasi rezim. Publik dipaksa untuk
mengonsumsi informasi yang telah disaring, menciptakan situasi di mana kebenaran
menjadi milik segelintir pihak. Kontradiksi ini menempatkan pers sebagai aktor yang
berada di persimpangan moral, antara menjadi corong kekuasaan atau tetap
memperjuangkan idealisme.
Situasi ini tidak hanya memengaruhi kebebasan pers tetapi juga berdampak pada
masyarakat luas. Minimnya akses terhadap informasi yang objektif menumbuhkan
budaya autocensorship, di mana individu lebih memilih diam daripada menyuarakan
opini yang berlawanan dengan pemerintah. Akibatnya, partisipasi masyarakat dalam
demokrasi menjadi tumpul, menciptakan kesenjangan antara pemerintah dan rakyat.
Meski begitu, pers tetap menjadi bagian dari perjuangan panjang menuju Reformasi.
Keberanian beberapa media untuk melawan arus menjadi inspirasi bagi gerakan yang
pada akhirnya menjatuhkan Orde Baru. Peran pers dalam memantik kesadaran kolektif
masyarakat menjadi bukti bahwa kendali otoriter tidak dapat sepenuhnya membungkam
kebenaran.
Salah satu kebijakan utama yang diterapkan adalah pemberlakuan sistem Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) melalui Undang-Undang Pokok Pers No. 21 Tahun
1982. Sistem ini mewajibkan semua media untuk memiliki izin resmi dari pemerintah
sebelum beroperasi. Izin tersebut dapat dicabut kapan saja jika media dianggap melanggar
aturan atau mengancam stabilitas. Regulasi ini efektif membatasi munculnya media
independen, sekaligus menjadi alat pemerintah untuk membungkam media yang kritis
terhadap kebijakan negara. Selain itu, pemerintah Orde Baru juga menerapkan sensor
yang ketat terhadap konten media. Semua publikasi, termasuk berita, opini, dan liputan
investigatif, harus melalui pengawasan pemerintah sebelum diterbitkan. Sensor ini
memastikan bahwa tidak ada kritik terbuka terhadap pemerintah, militer, atau presiden.
Media yang mencoba menyimpang dari garis resmi berisiko menghadapi pembredelan
atau pencabutan SIUPP. Contoh yang paling terkenal adalah pembredelan majalah
Tempo, Editor, dan Detik pada awal 1990-an karena memberitakan isu-isu sensitif terkait
korupsi pejabat negara.
Kedua media ini dijadikan corong propaganda pemerintah untuk menyebarkan
narasi tunggal yang mendukung legitimasi rezim. Program-program berita dan informasi
yang disiarkan dirancang untuk mengarahkan opini publik agar sejalan dengan kebijakan
pemerintah. Media swasta yang ada pun dipaksa mengikuti garis editorial yang serupa
untuk menjaga izin operasional mereka. Namun, pengendalian ini tidak terjadi tanpa
perlawanan. Sejumlah media mencoba bertahan dengan strategi kreatif, seperti
menyisipkan kritik melalui humor, metafora, atau simbolisme yang sulit ditangkap oleh
sensor pemerintah. Selain itu, pers mahasiswa muncul sebagai salah satu bentuk
perlawanan terhadap kendali ketat ini. Meski dihadapkan pada ancaman pembubaran,
pers mahasiswa tetap menjadi ruang alternatif bagi ide-ide kritis dan penyebaran
informasi yang tidak dapat ditemukan di media arus utama.
Di sisi lain, kebijakan kontrol pers pada masa Orde Baru juga membawa dampak
buruk terhadap jurnalisme dan masyarakat secara umum. Kebijakan ini membatasi
kemampuan jurnalis untuk melakukan investigasi yang independen, sekaligus
menciptakan budaya autocensorship di kalangan pekerja media. Akibatnya, masyarakat
kehilangan akses terhadap informasi yang obyektif dan berimbang. Kondisi ini
memperlebar jarak antara rakyat dan penguasa, serta mempersulit lahirnya ruang diskusi
publik yang sehat.
Kebijakan lain yang memperketat kontrol pers adalah pemberlakuan sensor
terhadap berita. Setiap berita yang akan diterbitkan harus melewati tahap pemeriksaan
oleh pihak yang berwenang. Jika kontennya dianggap sensitif atau berpotensi
menimbulkan keributan, maka berita itu dilarang terbit. Sensor ini menciptakan ketakutan
di kalangan jurnalis dan redaksi, sehingga mereka cenderung menerapkan
autocensorship, yaitu menyensor diri sendiri sebelum tulisan sampai ke meja editor. Tak
hanya berhenti pada sensor, pemerintah juga melakukan pembredelan media secara
langsung seperti Tempo, Detik, dan Editor menjadi korban pembredelan karena dianggap
terlalu kritis terhadap kebijakan pemerintah. Pembredelan ini bukan hanya mematikan
media tersebut tetapi juga menjadi peringatan keras bagi media lainnya untuk tidak
melawan kehendak pemerintah. Akibatnya, banyak media memilih jalan aman dengan
hanya menerbitkan berita yang mendukung pemerintah.
Di sisi lain, pemerintah memanfaatkan media milik negara, seperti TVRI dan RRI,
sebagai alat propaganda. Media ini didesain untuk menyebarkan narasi yang mendukung
kebijakan pemerintah dan menampilkan citra positif Soeharto sebagai pemimpin. Tidak
ada ruang untuk kritik atau pandangan alternatif. Bagi masyarakat, TVRI dan RRI
menjadi satu-satunya sumber informasi yang dianggap "resmi," meskipun sering kali
tidak mencerminkan kenyataan yang terjadi. Strategi pengendalian pers ini juga
mencakup pembatasan kebebasan pers mahasiswa. Sebagai bagian dari gerakan
intelektual muda, pers mahasiswa sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi suara
alternatif. Namun, pemerintah mengawasi ketat aktivitas mereka, bahkan tidak jarang
melakukan intimidasi terhadap mahasiswa yang berani menerbitkan tulisan kritis. Meski
demikian, pers mahasiswa tetap memainkan peran penting dalam menyuarakan
kebenaran, meskipun harus bergerak secara bawah tanah.
Konsekuensi dari praktik pengendalian ini adalah munculnya budaya diam di
masyarakat. Ketakutan untuk berbicara atau menulis sesuatu yang berlawanan dengan
pemerintah menciptakan kondisi di mana kritik terhadap penguasa nyaris tidak terdengar.
Media, yang seharusnya menjadi ruang publik untuk berdiskusi, justru berubah menjadi
corong kekuasaan. Ini membuat masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang
objektif dan berimbang. Meski demikian, kendali pemerintah tidak sepenuhnya
membungkam pers. Beberapa media berusaha bertahan dengan strategi kreatif, seperti
menggunakan metafora, humor, atau menyelipkan kritik halus dalam berita mereka.
Perlawanan ini menunjukkan bahwa meskipun pers berada di bawah tekanan besar, ia
tetap memiliki daya hidup untuk bertahan dan menjadi bagian dari perjuangan menuju
kebebasan. Kendali pemerintah atas pers pada era Orde Baru adalah pelajaran berharga
tentang betapa pentingnya mempertahankan kebebasan pers sebagai pilar utama
demokrasi.
Di tengah represi ketat terhadap kebebasan pers pada era Orde Baru, perlawanan
terhadap kendali pemerintah tetap muncul dalam berbagai bentuk. Media yang berani
menyuarakan kebenaran sering kali memilih strategi kreatif untuk menghindari
pembredelan. Salah satu cara yang paling umum adalah menyisipkan kritik melalui
metafora atau simbol. Sebagai contoh, berita tentang korupsi pemerintah sering kali
disamarkan menjadi cerita fabel atau humor yang hanya dipahami oleh pembaca kritis.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa meski diawasi ketat, pers masih memiliki cara untuk
menyampaikan pesan kepada publik.
Salah satu bentuk perlawanan lain adalah munculnya pers mahasiswa. Di kampus-
kampus, mahasiswa mulai menerbitkan buletin atau majalah independen yang membahas
isu-isu sensitif yang tidak dapat dilaporkan oleh media arus utama. Buletin seperti Aktivis
dan Balairung menjadi corong suara yang mewakili keresahan masyarakat terhadap
ketidakadilan sosial dan politik. Meski sederhana, media ini berhasil menjangkau banyak
kalangan muda yang kemudian menjadi bagian penting dalam gerakan Reformasi 1998.
Selain itu, beberapa media memilih untuk tetap menerbitkan berita-berita kritis dengan
risiko besar. Majalah seperti Tempo dan Editor dikenal dengan keberanian mereka dalam
melaporkan isu-isu sensitif, seperti skandal keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Meski sering kali harus menghadapi pembredelan atau penarikan izin terbit, semangat
jurnalis di balik media ini tidak surut. Ketika dibredel, mereka sering kali mendirikan
media baru dengan nama dan strategi berbeda untuk melanjutkan perjuangan mereka.
Adaptasi juga dilakukan dengan memanfaatkan teknologi sederhana yang ada pada saat
itu. Salah satunya adalah penyebaran berita melalui selebaran atau pamflet bawah tanah.
Informasi-informasi kritis yang tidak bisa.

Referensi

Hill, D. T. (2011). Pers di Masa Orde Baru. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Rahmanto, Q. (2015). Pers Pada Masa Orde Baru (Pembredelan Koran Indonesia Raya
Tahun 1974).
Ariwianto, E. (2023). Kebebasan Pers Serta Kritik Masyarakat Dalam Masa
Pemerintahan Orde Baru. Lani: Jurnal Kajian Ilmu Sejarah dan Budaya, 4(2),
113-116.
Lesmana, T. (2005). Kebebasan pers dilihat dari perspektif konflik, antara kebebasan dan
tertib sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi, 2(1).
Murtiningsih, R. S., & Siswanto, J. (1999). Pembungkaman Pers Pada Masa Orde Baru
(Refleksi Filosofis atas Kebebasan Pers Indonesia Masa Orde Baru). Jurnal
Filsafat, 1(1), 57-65.
Maulana, R., Septiyana, D., Ginting, A. F. B., & Pardede, S. A. (2023). Rahasia
Terungkap: Menganalisis Dinamika Keamanan Pers Pada Masa Orde Baru
(1966-1998). Histeria Jurnal: Ilmiah Soshum dan Humaniora, 2(2), 89-96.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun