Akhir Oktober kemarin, di tengah-tengah waktu luang, saya menyempatkan scrolling status-status lingkup pertemanan di WhatsApp. Saya memang cukup senang melihat-lihat story WhatsApp sesekali. Meski kebanyakan orang menggunakannya untuk berjualan, tapi pasti ada saja beberapa hal menarik di sana. Saya tak akan membahas detail mengenai WhatsApp story seperti apa. Namun, yang menarik adalah kisah satu ini, cerita yang datang dari teman lama saya semasa kuliah.
Dalam story tersebut, diketahui kalau Ia sedang berada di kampung halamannya. Rumah orang tuanya di Surabaya. Saya pun penasaran dan tergugah mencari tau lebih banyak tentang kabarnya saat ini.
Pulang adalah Keniscayaan
Meski jarang komunikasi, pertemanan kami tak putus. Terakhir saya mendengar kabar darinya adalah Ia melanjutkan rantau ke Jakarta selepas kuliah empat tahun lalu. Dan sebagai perempuan, Ia termasuk orang yang sangat mandiri. Buktinya, selama hampir genap delapan tahun, anak tunggal ini sudah tinggal jauh dari orang tuanya, tinggal di kos-kosan selama kuliah sampai bekerja. Hingga akhirnya COVID-19 melanda. Dan sejak April lalu, Ia harus mengambil keputusan besar dan mungkin berat untuk kebanyakan orang di usia kami: pulang ke rumah.
Bagi millennial, tinggal di rumah orang tua hingga dewasa mungkin adalah hal yang biasa meski juga diwarnai dengan persepsi negatif, baik di keluarga maupun di lingkungan. Namun, di dunia COVID-19, pulang atau tetap tinggal di rumah orang tua tak bisa lagi dipandang sebagai tanda seseorang itu kalah bersaing atau malas bekerja. Bagi banyak orang, kondisi ini lebih condong pada pertimbangan ekonomi. Mengapa harus bayar sewa kos-kosan mahal kalau proximity dengan tempat kerja bahkan sudah tak lagi relevan? Sampai kapan? Tak ada juga yang tau pasti.
Di sisi lain, kembali ke rumah justru memudahkan millenials untuk memonitor kesehatan kedua orang tuanya. Dan bagi jutaan millennials yang selama ini merantau di kota-kota besar, pulang memang bukan pilihan, melainkan keniscayaan.
Bahkan, sebelum korona melanda, stigma publik terhadap kaum millennial yang tetap tinggal di rumah juga bervariasi di berbagai belahan dunia. Ambil contoh di Portugal, India, dan Italia, yang menganggap tinggal bersama orang tua di usia 20 – 30 adalah hal yang normal. Budaya timur pun memiliki persepsi yang bercampur. Baik di kampung maupun di perkotaan. Mungkin berbeda di Amerika. Tapi, pandangan yang menyebutkan seorang anak harus tinggal jauh dari orang tuanya selepas usia 18 lebih pada soal persepsi publik saja.
Di Rumah setelah Sekian Lama
Kembali ke teman saya yang satu ini. Sudah genap satu semester Ia pulang ke Surabaya dan bekerja dari rumah. Ia pulang bukan karena di-PHK, melainkan memang pekerjaannya dapat dilakukan dari mana saja, kapan saja. Asal pada waktu-waktu tertentu, Ia harus standby untuk melakukan check-in harian, mingguan, dan rapat besar bulanan. Semua pekerjaan pun berorientasi pada result.Â
Namun, pulang ke rumah baginya tentu bukan hal mudah. Bagi millennial, tinggal bersama orang tua ada saja tantangannya. Dari tetap bekerja jarak jauh, mencapai target pekerjaan, ikut membantu pekerjaan rumah, sampai siap segala sesuatunya harus ikut aturan orang tua. Bagi Ia dan orang tuanya, terutama ibunya, sejauh ini kehidupan berjalan normal dan damai. Namun sampai kapan? Mereka kini kembali tinggal bersama setelah dipisahkan oleh jarak selama hampir delapan tahun.
Melalui chat WhatsApp, teman saya bercerita ketika Ia pertama kali memberi kabar kepada ibunya kalau dalam waktu dekat Ia akan pulang. Awalnya Ia ragu, takut merepotkan. Akhirnya, Ia menawarkan kalau Ia mau membayar uang sewa untuk tinggal sementara di sana. Saya pun membayangkan respon ibunya. Ibu mana yang seperhitungan itu dengan anaknya sendiri? (Ini menarik. Kaitannya dengan Market Norm dan Social Norm. Kita akan bahas di tulisan berikutnya)