“Urusan mereka itumah”, “Dia itu sayang sama kamu”, “Udah jangan dilawan, nggak takut durhaka kamu?”. Frasa-frasa ini seringkali diucapkan, membentuk lapisan-lapisan kecil yang mempermainkan korban dalam jaringan kebingungan dan ketidakpastian.
Dalam keheningan malam yang seolah menjadi teman setia rahasia-rahasia pahit, para perempuan ini terjebak dalam lingkaran kekerasan domestik yang merampas hak-hak dasar mereka.
Tangisan bisu dari korban-korban yang tak terhitung jumlahnya bergema melalui dinding-dinding rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, namun justru menjadi ruang-ruang penderitaan. Dalam realitas kelam ini, urgensi untuk mengatasi kekerasan domestik terhadap perempuan menjadi begitu jelas.
Di masyarakat kita terutama di Indonesia, maraknya “toleransi” terhadap tindakan kekerasan di ranah domestik terutama pada perempuan menjadi cermin dari sebuah ketidaksetaraan yang mengakar hingga tingkat hubungan yang paling intim.
Seringkali perilaku merendahkan dan mendominasi ini diterima sebagai bagian tak terhindarkan dari kehidupan sehari-hari. Ironisnya, dalam upaya untuk menjaga harmoni keluarga, banyak yang memilih untuk menyembunyikan kebenaran di balik tirai ketakutan dan rasa malu.
Normalisasi terhadap kekerasan domestik juga tercermin dalam struktur kekuasaan di kehidupan sehari-hari. Perempuan mungkin merasa terjebak dalam norma-norma sosial yang memandang rendah peran mereka, sehingga mereka enggan atau takut untuk melanggar batasan yang diberlakukan kepada mereka.
Hasilnya, kekerasan domestik seringkali tidak dianggap sebagai kejahatan yang harus ditanggapi dengan serius, melainkan sebagai masalah pribadi yang sebaiknya diselesaikan di dalam rumah tangga.
Dengan adanya normalisasi terhadap tindakan kekerasan domestik kita secara tidak langsung memelihara sebuah siklus kehancuran yang memerangkap korban dalam penderitaan fisik dan psikologis.
Tidak mengherankan jika PBB menyatakan bahwa kekerasan domestik merupakan tindakan kejahatan yang sangat jarang dilaporkan ke pihak yang berwajib, ada banyak alasan mengapa hal ini bisa terjadi, dan paradigma yang melihat bahwa kekerasan domestik sebagai urusan pribadi menjadi salah satunya.
Maraknya KDRT dan Normalisasi Tehadapnya