Sejak satu dekade terakhir Laut Natuna Utara menjadi perbatasan laut dia Indonesia yang begitu sensitif. Itu dipengaruhi langsung karena letaknya yang begitu strategis dalam peta maritim dunia. Seakan mendorong sejumlah negara tetangga melahirkan ketegangan dengan Indonesia. Jelas negara kita tidak tinggal diam, terutama sekali dalam wujud menjaga kedaulatan nasional.
Selain itu, Indonesia juga khawatir bahwa pengaruh Tiongkok di LTS dapat membawa implikasi terhadap Natuna. Wilayah Natuna, seperti LTS, menjadi sasaran klaim oleh Tiongkok. Kekayaan alam yang melimpah di Natuna membuatnya sangat penting bagi Indonesia. Jika Natuna jatuh ke tangan Tiongkok, akan berdampak buruk pada kehidupan masyarakat di sekitarnya yang menggantungkan hidup dari sumber daya alam.
Beragam konflik hadir, paling kentara tentu saja saat Tiongkok dengan sepihak mengklaim wilayah Nine Dash Line. Meskipun kemudian berdasarkan hukum Internasional yang ditetapkan oleh Konvensi Laut PBB (UNCLOS). Pengakuan itu ditolak karena sudah merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dasar hukum yang Tiongkok pegang tidak kuat dan ditolak dunia internasional.
Indonesia jelas tidak tinggal diam dan telah mengambil berbagai kebijakan dalam menjaga kedaulatan bangsa. Ini jelas mendukung berbagai upaya diplomasi maritim yang dilakukan Indonesia untuk mempertahankan wilayahnya. Dalam konteks ini, Indonesia telah mengembangkan Strategi Hedging yang memungkinkan negara untuk menjaga hubungan bilateral yang baik dengan Tiongkok sementara juga mempertahankan kepentingan nasionalnya. Dengan demikian, Indonesia dapat menjaga stabilitas di wilayahnya dan mempertahankan kekayaan alam yang melimpah di Natuna
Nine Dash Line, Awal Mula Konflik Berkepanjangan di Laut Tiongkok Selatan
Sejak berakhirnya Perang Dunia kedua, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) telah terlibat dalam klaim tumpang tindih di Laut Tiongkok Selatan (LTS) dengan Brunei, Filipina, Malaysia, dan Vietnam, dipicu oleh Peta Sembilan Garis Putus-putus (Nine Dash Line) Tiongkok yang mengklaim 85% dari LTS dan Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel, yang merebut pulau dan perairan negara lain dan menyebabkan friksi yang dikenal sebagai Sengketa LTS.
Namun, tidak lama setelah Pertemuan Phnom Penh, Tiongkok melanjutkan strateginya dengan bermanuver di sekitar LTS untuk menerapkan klaim NDL. Di tengah meningkatnya ketegangan yang ditimbulkan oleh manuver ofensif ini, pada tahun 2009 Tiongkok mengeluarkan dan mendaftarkan ke PBB peta klaim NDL baru yang mencakup Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna, selatan LTS. Namun dalam kasus ini, PBB menolak klaim Tiongkok ini karena tidak didasarkan pada hukum internasional apa pun, khususnya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982).
Indonesia perlu mempercepat negosiasi dengan sejumlah negara tetangga. Perjanjian dimulai dari Filipina, India, Malaysia, Palau, Singapura, Thailand, dan Timor-Leste untuk mencapai kesepakatan mengenai sisa masalah batas maritim, termasuk laut wilayah, landas kontinen, dan ZEE. Kesepakatan mengenai batas laut wilayah antara Indonesia dan Singapura, laut wilayah dan ZEE antara Indonesia dan Malaysia, dan ZEE antara Indonesia dan Thailand harus diprioritaskan, mengingat ketiga negara ini sangat dekat dengan LNU.