Apakah agama dan sains dapat disatukan? ada tiga posisi untuk memahami hubungan antara sains dan agama dalam pencarian makna. Pertama, sains dan agama memiliki teritorium yang berbeda dalam pencarian makna. Kedua, agama dansains dapat dibawa ke dalam arena yang sama dalam pencarian makna. Dan ketiga, agama dan sains menerangi realitas yang sama, namun dengan perspektif yang berbeda.
Untuk mengungkap posisi pertama, kita dapat melihat dari penyataan "Karl R Popper" Menurut Popper, Demarkasi itu adalah antarateritorium ilmiah dan non-ilmiah. Semua pernyataan yang dapatdifalsifikasi, yaitu dibuktikan salah, adalah ilmiah, sementara yang tak dapat difalsifikasi adalah non-ilmiah. menurutnya pernyataan-pernyataan yang tak bisa difalsifikasi (seperti "Allah itu mahakuasa") memang tidak ilmiah dan bukan termasuk dalam teritorium sains, tetapi bisa saja pernyataan itu bermakna. Popper memberikan kontribusi penting untuk menyingkirkan positivisme dan memberi tempat pada agama dalam pencarian makna. Popper bahkan menegaskan bahwa tidak ada observasi yang bebas-teori. Artinya, data empiris itu sendiri merupakan hasil konstruksi makna dari subjek pengetahuan. Juga dalam sains, alam tidak pernah independen dari pemaknaan-pemaknaan manusia atasnya.
Thomas Kuhn dalam The Structure ofScientific Revolutions menunjukkan bahwa perkembangan sains tidakberlangsung linier, homogen, dan rasional (dalam arti akumulatif dan progresif) seperti yang dikira orang sampai saat ini. Sainsberkembang melalui revolusi-revolusi yang membongkar paradigma lama dan menggantinya dengan yang baru. Apa yang dipandang benar dalam paradigma lama akan mengalami krisis sampai ditegakkan suatu paradigma baru dengan kebenaran-kebenaran baru di dalamnya. Yang sentral di sini adalah pandangan bahwa perubahan paradigma dalam sejarah sains tidak termasuk wilayah logis hukum-hukum alam, melainkan terjadi seperti proses "metanoia" (pertobatan) dalam agama.Kuhn berhasil menunjukkan bahwa sains tidak memiliki "mata Allah" untuk keluar dari konteksspasial-temporal dan mengeluarkan klaim-klaim makna absolut. Dalam hal ini, pencarian makna dalam sains (kebenaran ilmiah) tidakmemiliki prioritas atas pencarian makna dalam agama. Bahkan, pandangan Kuhn tentang sejarah sains ini ikut menggugat setiap pandangan yang yakin akan adanya kebenaran absolut yang bersifat suprahistoris, seperti misalnya dalam agama.
Di wilyah yang lain, Feyerabend membawa agama dan sains ke dalam satu arena dalam pencarian makna. Menurut Feyerabend, sains dekat sekali dengan mitos. Metode ilmiah sarat dengan asumsi- asumsi kosmologis.Inti persoalan Feyerabend sesungguhnya adalah bahwa metode ilmiah menurutnya tidak bolehmemonopoli kebenaran dalam kehidupan. Kata objektivitas dalam sains, misalnya, tidak lebih otoritatif daripa. hal ini bersangkutan dengan pandangan ke dua, yakni agama dan sains dapat dibawa ke dalam area yang sama.
Agama dan sains menerangi realitas yang sama, namun dengan perspektif yang berbeda . Pandangan ke tiga ini sepertinya lebih diterimauntuk melihat hubungan yang nyata antara sains dan agama ketimbang beberapa posisi dari dua pandangan sebelumnya, karna sains pada pandangan ini melihat alam sebagai dunia objektif atau fakta-fakta yang tunduk pada hukum-hukum kausal dan mekanistis. Lewat perspektif ini kita membuat prognosis dan manipulasi teknis atas alam. Di dalam sains makna bersangkutan dengan kebenaran faktual tentang proses-proses dalam dunia objektif itu. Namun, kita tidak hanya menghadapi alam sebagai fakta-fakta, melainkan juga bermukim di dalamnya sebagai suatu dunia yang dihayati. Perspektif religius melihat alam dalam kaitannya dengan kenyataan transendental dan penghayatan eksistensial kita. Berbeda dari kebenaran faktual, makna dalam agama bersangkutan dengan kebenaran eksistensial dan transendental tentangtujuan kehidupan kita di dunia ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H