Kehilangan, sungguh, itu bukanlah sekadar lenyapnya sesuatu dari genggaman. Kehilangan adalah sebuah perjalanan melintasi lembah yang sunyi, di mana jiwa yang sepi berjalan dengan hati yang remuk berusaha menderapkan langkah yang tegar. Dalam kehilangan, jiwa yang sepi akan menemukan rahasia yang tersembunyi dalam relung hati yang paling dalam. Kehilangan juga mengajarkan jiwa yang sepi tentang nilai sejati dari kebersamaan, tentang kelembutan dalam belas kasihan, dan tentang kekuatan yang tersembunyi dalam kesendirian. Meskipun kelam, kehilangan adalah awal dari perjalanan menuju cahaya yang lebih terang, di mana jiwa yang sepi itu bisa memeluk kenangan dengan tulus, memelihara rasa syukur atas apa pun yang pernah dimilikinya, dan menemukan keberanian untuk melangkah maju, meski langkah itu terasa berat.
***
"Beberapa hari lagi, aku pulang ke Yogya," ucap Friska dengan suara gemetar, ia seperti sedang menanggung beban berat di pundaknya ketika mengatakan kalimat itu, hatinya dipenuhi oleh gejolak yang sulit diungkapkan. Desa ini berhasil menghipnotisnya, dengan segala keindahan alam yang memesona hingga seorang pria yang hadir mengisi relung hatinya.
“Jangan bawa aku pulang!” Deandra menatap wajah Friska yang sedang hanyut dalam ketidak-pastian perasaannya. Suara Deandra membuat Friska semakin tenggelam ke tengah arus perasaannya yang tidak menentu.
“Dean,” Friska tidak berani menatap wajah Deandra, dia tertunduk setelah Dean mengatakan kalimat itu, “aku enggak becanda, Dean!” ucapnya lesu, wajahnya masih menatap lantai kayu yang berbaris dari rumah panggung, Friska dengan teman-temannya tinggal di rumah panggung selama bertugas di desa ini. Friska tidak berani menatap Deandra, dia takut, matanya akan menangkap rindu, dan rindu itu akan terus menggelayuti pikirannya, Deandra, pria yang unik, mahasiswa seni rupa yang senang dengan intrik politik, kadang-kadang menjadi seorang filsuf yang menciptakan teorinya sendiri.
“Kalau begitu, bawa aku pulang!” Deandra sudah tdak lagi menatap wajah Friska, dia mencari-cari sesuatu dari dalam tas selempangnya. Friska tidak memperhatikan Deandra, karena dia sedang bersiap-siap untuk patah hati dari kehilangan seseorang yang telah menorehkan cinta dengan cara yang berbeda di lubuk hatinya yang sangat rapuh.
Dalam lubuk hati Friska yang paling dalam, ada penyesalan yang sangat mendalam, andai saja waktu dapat diputar, Friska ingin mengubah jalan ceritanya, dia tidak akan memilih desa ini, atau kalau tidak dapat diubah desanya, Friska tidak akan minum kopi di rumah kepala desa, di sore itu lah semua kisah Friska terjadi.
Desa ini memang dikenal sebagai desa penghasil kopi terbesar di Indonesia, meskipun masih dalam urutan ketiga berdasarkan data statistik, namun, menurut Deandra, seharusnya desa ini sudah layak menempati posisi pertama, pemerintah daerah seharusnya membasmi lintah-lintah yang menghisap darah para petani kopi di desa ini, sehingga, mereka dapat memproduksi biji kopi dengan kualitas terbaik di dunia.
Bicara tentang kopi dengan Deandra, sama seperti kamus berjalan, dia mengetahui lebih detail tentang jenis kopi, Deandra tidak hanya bicara tentang Arabika, Robusta, Liberika dan Excelsa, tapi juga sejarah yang membawanya menjadi sebuah cerita, dalam pikiran Deandra, kopi adalah sebuah seni, mahakarya Tuhan di bumi, lewat Deandra juga Friska dapat memahami lebih dalam tentang mikroorganisme kopi, tentu sangat membantu Friska sebagai mahasiswi Falkutas pertanian dengan jurusan Mikrobiologi Pertanian yang sedang kuliah kerja nyata di desa penghasil kopi terbesar itu, Deandra memang unik, mahasiswa jurusan seni rupa yang tahu lebih banyak tentang teknik pertanian kopi.
“Bawa aku pulang…” ucapnya lebih tegas, tangannya menyodorkan sesuatu, “Friska…” panggil Deandra, karena Friska masih saja menundukkan kepalanya sejak tadi, pikirannya melayang. “bawa aku pulang…” ucap Deandra saat Friska menatap wajahnya, bola mata Friska langsung tertuju pada sebuah benda yang sedang di pegang oleh Deandra.