"Kenapa tidak diminum?" tanya Lasmi sambil menunjuk cangkir keramik berwana putih, sepertinya kopi itu sudah dingin, karena Lasmi membuatnya sudah setengah jam yang lalu. Bram, masih saja duduk di kursi yang memang dibelinya langsung dari Jepara, dia sendiri yang memilih desainnya, bahkan ukuran dan jenis kayu yang dia inginkan, pertanyaan Lasmi tidak mampu mengusik pandangan Bram yang melayang-layang.
"Mas Bram," Dia menoleh perlahan, terlihat sangat malas dan berat sekali kepalanya, itu pun karena Lasmi menepuk pundaknya, "Kopinya dingin tuh!" tunjuk Lasmi dengan nada manjanya.
Bram membuka penutup cangkir keramik berwarna putih itu, menatap Lasmi sebentar lalu pandangannya kembali melayang-layang. Lasmi bingung, apa yang sedang dipikirkan Bram saat ini? Dia ingin menanyakannya langsung, tapi, Lasmi tidak seperti wanita-wanita yang pernah singgah di hati Bram, Lasmi tahu betul kapan waktunya untuk berbincang, berdiskusi, atau berdebat, itu sebabnya Lasmi-lah yang dipilih Bram menjadi pendamping hidupnya.
Mereka sudah menikah selama lima tahun, tahun ini bulan Oktober akan genap menjadi enam tahun. Lasmi tahu betul kapan waktunya untuk mengutarakan keinginannya, hingga Bram tidak dapat menolak atau berdebat tentang keinginan Lasmi, salah satunya adalah tentang keturunan, Lasmi pernah meminta pada Bram untuk menunda keinginannya untuk memiliki keturunan.
Bram tidak dapat menolaknya, karena Lasmi benar-benar mengurus serta memperlakukannya dengan sangat baik, selain itu, Lasmi pun tahu cara berkomunikasi dengan suaminya itu, tidak pernah sehari pun Lasmi berkata kasar, bhkan dalam candanya, tetap saja sopan. Sebenarnya, dari lubuk hati Bram yang paling dalam, dia ingin segera memiliki momongan, setidaknya satu saja dulu, kalau memang mau dua nanti bisa dibicarakan lagi, tapi, masalahnya, Lasmi mempunyai senjata pamungkas yang membuat Bram tidak dapat menolak atau bahkan memperdebatkan keinginannya itu.
"Mas..." Lasmi melingkarkan kedua tangannya di pinggang Bram, dia bersimpuh di samping Bram, "Mas masih kepikiran, ya?" ucapnya manja. Kursi malas di taman itu memang dipesan langsung oleh Bram, karena dia ingin bermesraan berdua di atas kursi besar berbentuk lingkaran yang terbuat dari anyaman rotan, "Geser..." Lasmi mengucapkan kata itu dengan sangat manja, membuat Bram terpaksa menggeser tubuhnya dan melenyapkan pandangannya yang sejak tadi menggangu Lasmi.
Lasmi menghentakkan tubuhnya yang padat itu ke kursi rotan bulat, memang kursi itu dibuat untuk dua orang, penjual kursi rotan itu menamakannya kursi untuk malas-malasan berdua, kursi itu memang nyaman, apa lagi sambil menikmati sore bersama pasangan hidup sambil berpelukan. "Aku ingin bicara, Lasmi," Bram menatap Lasmi. Bram mengatakan kalimat itu ketika Lasmi baru saja menyandarkan kepalanya di pundak Bram.
"Mau ngomong apa, Mas?" Lasmi memainkan jari-jarinya di dada Bram.
"Sebelumnya, aku mau minta maaf..." ucap Bram sambil membuang wajahnya jauh-jauh setelah menatap Lasmi dalam-dalam, mata Bram terlihat sedikit berapi-api, namun raut wajahnya terlihat takut. Lasmi tetap terlihat tenang, dia tahu cara menghadapi Bram.
"Aku... Aku... menghamili sekertarisku!" Bram berusaha melepas pelukan Lasmi.