"Ayah!" Laki-laki yang kupanggil ayah itu sedang duduk membelakangiku, mendengar suaraku ia menoleh. Melihat wajahnya kepalaku tiba-tiba sakit, hidungku mengeluarkan darah, pandanganku kabur, kakiku melemah. Tiba-tiba pandanganku menjadi gelap.
"BRAK."
***
"Uhuk, Uhuk..." Aku membuka mataku, bau balsem bercampur minyak angin yang menyengat membuatku terbatuk.
"Akhirnya kamu bangun juga," kata laki-laki itu, ia tersenyum. "Masih sama seperti dulu, gampang pingsan."
"Saya dimana pak?" kataku merasa khawatir, aku mataku berputar mengelilingi ruangan yang dipenuhi tumpukan botol plastik bekas dan juga kardus serta kertas, baunya aneh, sepertinya aku pernah mencium bau busuk yang aneh seperti ini, sepertinya ini adalah lapak pengepul barang bekas.
"Maaf, Pak... saya ingin ke Darmawangsa, permisi." Aku langsung berdiri mengambil tas ransel yang tergeltak di sampingku. Baru kupanggul tas ranselku, tanpa sengaja aku melihat sebuah foto di dinding ruangan itu, foto anak kecil bersama bapaknya, aku menghampiri foto itu.
"Itu kamu Radit, kamu pergi terlalu lama, Ayah nyesel nyuruh kamu jalan sendiri ke lapak bang Ucok waktu itu, pengamen di lampu merah bilang ke Ayah kamu ditabrak, tapi Ayah ngak bisa cari kamu di semua rumah sakit, Ayah enggak tahu kamu dimana, bertahun-tahun ayah cari kamu, sampai akhirnya ada sebuah novel yang ayah temuin waktu lagi mulung, ada muka kamu di novel itu, kamu berhasil menjadi penulis terkenal, ayah cari tahu tentang kamu, ternyata kamu di asuh oleh seorang dokter yang tanpa sengaja menabrak kamu saat itu, dokter Lola, dia tidak punya anak,"
"Enggak, enggak mungkin ... bapak butuh uang berapa, tolong sebut aja, tapi tolong lepasin saya dari sini," pintaku memohon.
"Radit, nama kamu Radit ..."
"Enggak, engak..." teriakku, kepalaku sakit sekali, tapi perlahan aku mengingat masa kecilku, persis seperti mimpi itu, muncul wajah ibu yang sedang tersenyum sambil bercerita tentang pesawat terbang, lalu muncul juga kenangan ketika ibu tertabrak mobil saat berusaha menyelamatkan tulisan-tulisanku. Aku juga teringat ayah yang selalu melarangku menulis lalu membuang bukuku. Aku mengingat itu semua perlahan-lahan.