Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ayah, Aku Bahagia Jadi Orang Miskin

29 November 2023   08:08 Diperbarui: 29 November 2023   08:25 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"TTIIIIIIIIIINNNNNN."

***

Suara klakson itu membangunkanku, jam di dinding kamarku masih tegak berdiri menantang langit, jangkrik pun masih bersenandung bersama embun yang turun di tengah malam yang perlahan membasahi rumput yang masih ranum.

Hawa dingin dari pendingin ruangan bergumul bersama udara malam yang perlahan merayap masuk melalui jendela bersama temaram rembulan yang masih malu-malu menampakkan wajahnya.

Keningku berpeluh sebesar biji jagung karena mimpi itu. "Mimpi itu lagi." Aku tersengal-sengal. Sudah tiga kali aku bermimpi hal yang sama, selalu anak yang sama, selalu ditempat yang sama, gerobak yang sama, jalan cerita yang sama, apa yang terjadi denganku? Siapa anak itu?

Aku tidak dapt memejamkan mataku setelah mimpi itu, aku ingin mencari tahu tentang anak itu, akan kumulai dari diriku, aku ingin mencari tahu diriku yang sebenarnya, aku juga merasa seperti ada potongan ingatan yang hilang dari diriku, aku tidak ingat masa kecilku, apa mungkin ada kaitannya dengan anak itu? Besok pagi aku akan pergi ke Jakarta, ke rumah ibu.

***

Jakarta,  dengan cahaya senja yang menyelubungi bangunan tinggi lalu menari-nari di antara jajaran gedung pencakar langit yang gemerlap. Aroma kehidupan perkotaan menguar di udara, campuran antara bau aspal yang lelah dengan polusi dan banjir berbalut lembut dengan sentuhan aroma kopi yang mengepul dari warung yang ramai, ratusan manusia tumpah ruah ke jalan bagai puisi visual yang memukau, dengan jendela-jendela tinggi yang menjadi saksi bisu dari aktivitas yang tak kunjung padam.

"Stop di sini. Pak," Perintahku segera, karena aku melihat gambaran nyata dari mimpiku semalam, kolong jembatan.

"Pak, kita tidak boleh berhenti dan parkir disini," jawab supir taksi yang kutumpangi sejak turun dari Stasiun Jatiegara. Segera kuberikan ongkos yang tertera di argo. Aku beranjak turun, dan taksi itu pergi meninggalkanku di kolong jembatan ini.

Mimpi itu persis di sini, kolong jembatan, di ujung sana ada kali. Aku berjalan perlahan ke ujung untuk memastikan apakah ada kali, semakin dekat semakin kencang jantungku berdegub, namun langkahku semakin lambat, hingga akhirnya aku berhenti melangkah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun