"tiga kilo," sahutku asal. Ayah menatapku tajam ketika aku menjawab pertanyaan yang asal-asalan itu, perlahan ia berjalan menghampiriku, berhenti sejenak, lalu merebut Bubu, buku yang menjadi temanku dalam berimajinasi, kuberikan ia nama Bubu. "Ayah ... jangan ayah, balikin Bubu," teriakku, ketika ia merebut dan menjauhkannya dari pelukkanku.
"Kita butuh makan, bukan tulisan, tau kamu!" Ia mencengkram bajuku, matanya melotot, sangat menyeramkan. Lalu ia lembar Bubu menjauh dariku, berterbanganlah kertas-kertas yang telah lama terpenjara di dalam buku yang lusuh, dekil dan bau itu. Tulisan-tulisanku lepas bebas menghirup udara Jakarta yang penuh dengan polusi, tulisan itu menikmati buaian senja yang malu-malu menyelinap di kolong jalanan yang beraroma pesing juga bangkai tikus.
Ayah mendorong tubuh kecilku. "Kamu timbang kardus itu, sebelum magrib kita harus dapet uang." Ia menunjuk ke arah tumpukan kardus di atas gerobak.
Dahulu, air mataku pasti menetes, kali ini aku tersenyum, karena melihat kertas-kertas yang baru saja berhamburan. Aku merasakan aliran kebebasan dari semua imajinasiku yang terbang di atas kertas itu. Ini sudah yang kedua kalinya, tentu rasanya tidak sama, tapi kesenangan itu tetap ada.
Aku tidak akan menantikan yang ketiga, karena aku akan membuat sebuah kejutan yang akan membuat ayah bangga padaku, karena pada saat pertama kali ayah melempar Bubu, aku kehilangan selembar tulisanku, selembar kertas yang sangat berharga, karena aku menceritakan tentang ibu yang sabar mendidikku, meskipun aku tidak sekolah tapi aku pandai menulis dan aku senang membaca, ibu sering membawakanku buku-buku bacaan, entah ia dapatkan dari mana buku itu, sepulang memulung pastilah ia membawa selembar atau dua lembar kertas yang berisi tulisan bergambar, hingga akhirnya ia harus pergi untuk selama-lamanya.
Ibu sedang berusaha menyelamatkan tulisan-tulisanku yang terbang menghirup polusi Jakarta, karena ayah mendapatiku sedang menulis sebuah cerita tentang ibu. Namun, sayang ibu tidak sama seperti kerta-kertas itu, meskipun sudah terbang bebas dan menghantam tanah ia tetaplah kertas dengan tulisan dan cerita yang sama. Sementara ibu harus di larikan ke rumah sakit karena tertabrak mobil mewah, untungnya pemilik kendaraan itu bersedia mengurus biaya rumah sakit dan pemakaman ibu.
Lalu, orang itu menyimpan selembar kertas yang kutulis tentang ibu di atas kertas itu, ia pernah berjanji padaku, ia akan mewujudkan mimpiku, menjadi seorang penulis.
"Tunggu aja waktunya," celotehku sambil tersenyum sambil mengumpulkan lembaran-lembaran yang tergeletak di atas tanah.
Aku bergegas menuju gerobak setelah selesai merapikan semua kertas-kertas yang terserak untuk menimbangnya, "Empat kilo, tujuh ons," teriakku, ayah sedang membersihkan botol bekas, kata ayah botol plastik bekas yang bersih lebih mahal harganya dari pada yang kotor, ia sedang mencucinya di pinggir kali dibawah kolong jembatan.
"Bawa langsung ke lapaknya bang Ucok," teriak ayah dari bawah kali. "Ayah nanti nyusul, bentar lagi selesai."
"Iya..." teriakku sambil berlari menuju gerobak yang terparkir di bawah kolong jembatan layang. Aku langsung menarik gerobakku menjauh dari kolong jembatan, menyusuri jalanan yang sedang diterpa cahaya hangat dari senja, sebelum cahaya itu pergi menghilang aku harus tiba di lapaknya bang Ucok agar aku dapat membeli makan malam untukku dan ayahku.