Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ayah, Aku Bahagia Jadi Orang Miskin

29 November 2023   08:08 Diperbarui: 29 November 2023   08:25 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar oleh Alex Fu dari pexel.com

KECEWA, sebagai penjara tak berujung dalam kegelapan, di mana jiwa terpenjara dalam duka yang tak terlukiskan. Ia seperti lautan hitam kehampaan yang menggulung setiap harapan menjadi serpihan tak berarti, melumatkan segala yang dulu bersinar menjadi abu lalu hilang bersama debu.

PERASAAN ini adalah samudra tanpa batas, tempat gelombang kesedihan menghempaskan setiap cita-cita hingga tak bersisa. Kecewa adalah angin kencang yang merobek segala harapan, meninggalkan puing-puing hati yang retak dan hancur. Di sini, setiap langkah terasa seperti jalan menuju keputusasaan, di mana bayangan-bayangan kegagalan menari-nari dalam sorot mata yang mati.

Warna-warna cerah kebahagiaan pudar dalam bayang-bayang kecewa, seperti lukisan tua yang usang. Suara tawa menjadi serak, diserap oleh hampa, senyum yang pernah bersinar kini hanya tinggal kenangan yang memudar. Kecewa adalah tembok tak terlihat yang memisahkan diri dari segala harapan, membiarkan jiwa terperangkap dalam labirin kekecewaan yang gelap.

Setiap detik terasa seperti belitan tali gantung, mengikat hati pada kekosongan yang tak terpisahkan. Kecewa adalah rintihan kesakitan yang tak berujung, melengkapi setiap langkah dengan getaran keputusasaan. Dan dalam kehampaan ini, tidak ada pelajaran kecuali bahwa hidup adalah panggung tragedi, di mana pemeran utamanya adalah kecewa yang tak pernah lelah memainkan perannya.

***

"Nulis apa, Nak?" Mendengar suara itu, langsung kututup rapat-rapat buku usang yang sedang terbuka lebar dihadapanku.

"Eee ... nyatet timbangan kardus yang kemaren," kataku yang sedang berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Kamu masih punya mimpi itu?" tanya ayahku. Dia tidak senang dengan mimpiku, lebih baik mengumpulkan kardus bekas atau botol plastik bekas saja, karena barang-barang itu bernilai jual, bisa untuk kami makan, sementara menulis hanya berangan-angan saja, meskipun tulisanku bagus, menarik, unik tetap saja akan menghabiskan waktu seharian untuk menulis, berkhayal, buang-buang waktu saja katanya.

"Eng ... enggak," balasku terbata-bata.

"Berapa kilo kardus kita?" tanya ayahku. Pertanyaan itu membuatku sontak kelimpungan, karena memang aku belum menimbangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun