Di hamparan horison, matahari perlahan meredup, melukis langit dengan gradasi warna yang lembut, dari oranye yang gemerlap berangsur memudar menjadi ungu pekat yang sangat dalam. Saat waktu beranjak, bintang-bintang pun menari indah satu per satu, menghiasi langit dengan kilauan cahaya yang memikat.
Tuts keyboard dari laptop, masih terus kuhantam dengan jari-jariku, menghasilkan serangkaian melodi tanpa nada yang menggetarkan ruangan ini, sementara kepulan asap pekat dari balutan sentuhan kretek menyelimuti sekeliling, membuatku hanyut dalam harmoni asap dan nada yang menyatu, menciptakan dunia yang tak terbatas di antara imajinasi dan aroma yang menguar.
“Bang, udah jam satu, masih aja nulis?” tanya istriku yang terjaga di tengah lelapnya.
“Besok harus naik cetak, Dek.” Aku hanya membalas tanpa menatapnya. Aku tidak ingin terusik ketika aliran deras imajinasiku sedang membanjiri endorfin di dalam otakku.
“Abang laper gak? Mau aku buatin camilan?”
“Enggak,” ucapku, aku masih tidak menantapnya.
Aku kembali meneruskan kegiatanku yang ditemani oleh simphoni dari binatang malam.
***
“Bang … Bang …” Istriku menggoyang-goyangkan tubuhku membangunkanku. “Bang, dari tadi alarmnya bunyi,” lanjutnya. Langusng kusambar ponselku, sudah pukul 5:10, kepalaku masih pening karena hampir semalaman aku mengejar tulisan yang sedang dikejar tengat waktu, aku harus segera mandi lalu bergegas ke kantor, meskipun dalam kondisi setengah sempoyongan.
“Bang, sarapan dulu,” teriak istriku dari dapur ketika ia melihatku sudah rapi dan siap untuk berangkat kerja.