"Maaf mengganggu Anda, Tuan Barton," sapa wanita berambut pirang dengan suara gemetar. "Saya datang ke sini karena saya membutuhkan bantuan Anda," Ia menatapku, sorot matanya sayu, hanya ekspresi ketakutan yang dapat kuterka ketika menatapnya.
"Masuklah, Nyonya," sahutku dengan sopan. "Saya James Barton, dan ini teman saya, Dokter Watson. Silakan duduk dan ceritakan masalah Anda."
Wanita itu masuk ke dalam apartemenku, ia menghempaskan tubuhnya yang berbalut gaun berwarna putih di atas sofa, menghela nafas sejenak lalu mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari tasnya, dengan sedikit gemetar ia memberikannya padaku.
"Ini adalah surat yang saya terima pagi ini," katanya. "Saya tidak tahu siapa pengirimnya, tapi isinya sangat mengerikan. Saya takut saya akan menjadi korban pembunuhan berantai yang sedang terjadi di London." Wanita itu terlihat semakin pucat.
Perlahan-lahan aku membuka amplop itu, tanpa sedikit pun merasa curiga, lalu mengeluarkan selembar kertas putih. Di atasnya tertulis sebuah tulisan dengan tinta berwana merah:
Anda akan menjadi yang berikutnya. Bintang David akan menjadi tanda kematian Anda.
Aku memandang kertas itu dengan penuh pertanyaan di dalam otakku, memang belakangan ini kasus pembunuhan berantai sedang ramai di beritakan oleh semua orang di London, namun yang tersasa sangat janggal, lalu aku menoleh ke wanita itu.
"Siapa nama Anda, Nyonya?" tanyaku.
"Saya Sarah Cohen, Tuan Barton," jawab wanita berambut pirang itu. "Saya seorang guru di sekolah dasar di dekat sini."
"Apakah Anda Yahudi, Nyonya Cohen?" tanyaku lagi berusaha memastikan beberapa dugaan-dugaanku.
"Ya, Tuan Barton. Saya berasal dari keluarga Yahudi yang tinggal di London selama beberapa generasi."
"Apakah Anda tahu tentang kasus pembunuhan berantai yang sedang terjadi di London?"
"Saya tahu sedikit, Tuan Barton. Saya membaca di koran bahwa sudah ada empat orang yang dibunuh dengan cara yang sama: mereka ditemukan dengan luka tusukan di dada, dan tanda bintang david dibuat dari darah mereka di dinding atau lantai tempat mereka ditemukan."
"Apakah Anda mengenal salah satu korban itu?"
"Tidak, Tuan Barton. Saya tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan mereka."
"Apakah Anda memiliki musuh atau orang yang membenci Anda?"
"Tidak, Tuan Barton. Saya hidup sederhana dan damai. Saya tidak pernah terlibat dalam masalah atau konflik dengan siapa pun."
Aku mengangguk-angguk, lalu menyerahkan kertas itu kepada Watson.
"Watson, apa pendapat Anda tentang surat ini?" tanyaku.
Watson memeriksa kertas itu dengan seksama, Â "Sulit untuk mengatakannya, Barton. Surat ini tampaknya ditulis dengan tinta merah biasa, bukan darah. Huruf-hurufnya rapi dan teratur, menunjukkan bahwa pengirimnya memiliki pendidikan yang bagus. Tidak ada cap atau tanda lain yang bisa mengidentifikasi pengirimnya."
"Jadi, kita tidak punya petunjuk apa pun? Lalu siapa pelakunya?" tanyaku sambil mengerutkan keningku.
"Tidak ada yang pasti, Barton. Tapi saya punya dugaan." Ucap Watson dengan tatapan berbinar.
"Apa itu?"
"Saya pikir pelakunya adalah seorang anti-Semit, yang membenci orang-orang Yahudi dan ingin membunuh mereka semua. Mungkin dia terinspirasi oleh kasus pembunuhan Jack the Ripper yang terjadi beberapa tahun lalu, yang juga menargetkan wanita-wanita miskin di London Timur."
"Menarik sekali, Watson. Tapi saya tidak sepenuhnya setuju dengan Anda."
"Mengapa begitu, Barton?"
"Karena saya melihat ada sesuatu yang aneh dalam surat ini."
"Apa itu?"
"Lihatlah, Watson. Surat ini ditulis dengan tinta merah, tapi tidak ada bekas tinta merah di amplopnya. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?"
"Ah, itu mudah, Barton. Mungkin pengirimnya menggunakan sarung tangan saat menulis dan menyegel surat ini, lalu mengirimkannya."
"Mungkin saja begitu, Watson. Tapi ada hal lain yang lebih aneh."
"Apa itu?"
"Lihatlah lagi, Watson. Surat ini ditulis dengan tinta merah, tapi tidak ada tanda bekas tinta merah di kertasnya. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?"
"Ah, itu sangat sulit, Barton. Mungkin pengirimnya menggunakan tinta khusus yang tidak meninggalkan bekas di kertas."
"Mungkin saja begitu, Watson. Tapi ada hal lain yang lebih aneh lagi."
"Apa itu?"
"Lihatlah sekali lagi, Watson. Surat ini ditulis dengan tinta merah, tapi tidak ada bekas tinta merah di jari-jari saya. Bagaimana mungkin itu terjadi?"
"Ah, itu mustahil, Barton. Mungkin Anda salah lihat."
"Tidak, Watson. Saya tidak salah lihat. Saya yakin bahwa surat ini tidak ditulis dengan tinta merah sama sekali."
"Lalu, dengan apa surat ini ditulis, Barton?"
"Dengan sesuatu yang lebih berbahaya dari tinta merah, Watson. Dengan sesuatu yang bisa membunuh siapa pun yang menyentuhnya."
"Apa itu, Barton?"
"Dengan racun, Watson. Dengan racun yang sangat mematikan."
Aku mengatakan hal itu dengan tenang, aku segera melempar kertas itu ke lantai, dan berlari ke wastafel untuk mencuci tanganku. Watson dan Nyonya Cohen terperanjat mendengar penjelasanku, mereka segera menyusul berlari di belakangku.
"Barton, apakah teori Anda benar?" tanya Watson dengan wajah panik. "Apakah Anda yakin surat itu beracun?"
"Ya, Watson. Saya yakin sekali. Saya merasakan sensasi terbakar di jari-jari saya saat menyentuh surat itu. Saya juga melihat ada bintik-bintik merah di kulit saya. Itu adalah tanda-tanda keracunan."
"Tuhan, Barton. Apakah Anda baik-baik saja? Apakah Anda perlu dokter?"
"Tidak, Watson. Saya tidak perlu dokter. Saya sudah minum antidot yang selalu saya bawa di saku saya. Itu akan menetralkan racun dalam darah saya."
"Lalu, bagaimana Anda bisa tahu bahwa surat itu beracun, Barton? Apa yang membuat Anda curiga?"
"Saya curiga karena ada sesuatu yang tidak cocok dalam surat itu, Watson. Sesuatu yang bertentangan dengan motif pelaku."
"Apa itu, Barton?"
"Bintang David, Watson. Bintang David."
"Apa maksud Anda?"
"Lihatlah, Watson. Surat ini ditujukan kepada Nyonya Cohen, seorang wanita Yahudi yang mungkin menjadi korban pembunuhan berantai yang dilakukan oleh seorang anti-Semit. Surat ini mengancam bahwa dia akan dibunuh dengan tanda bintang David di tubuhnya, seperti korban-korban sebelumnya."
"Ya, Barton. Masalah itu sudah jelas tertulis di surat itu."
"Tapi pikirkanlah, Watson. Apakah itu masuk akal? Apakah seorang anti-Semit yang membenci orang-orang Yahudi akan menggunakan simbol Yahudi untuk membunuh mereka? Apakah dia tidak akan lebih memilih simbol lain yang menunjukkan kebenciannya terhadap mereka?"
"Ah, saya mengerti maksud Anda, Barton. Anda benar. Itu tidak masuk akal sama sekali."
"Tepat sekali, Watson. Sebuah kontradiksi yang mencolok dalam surat ini, menunjukkan bahwa pelaku bukanlah seorang anti-Semit yang asli, tapi seseorang yang berpura-pura menjadi anti-Semit untuk menutupi motif sebenarnya."
"Lalu, apa motif pelaku sebenarnya, Barton?"
"Itu yang harus kita cari tahu, Watson. Tapi saya yakin bahwa motifnya bukanlah kebencian rasial atau agama, tapi sesuatu yang lebih pribadi dan spesifik."
"Apa itu, Barton?"
"Saya belum tahu pasti, Watson. Tapi saya punya beberapa teori."
"Apa saja teorinya?"
"Saya punya tiga teori utama, Watson. Pertama, mungkin pelaku adalah seorang psikopat yang suka membunuh orang-orang secara acak untuk kesenangan atau tantangan diri sendiri. Kedua, mungkin pelaku adalah seorang pembunuh bayaran yang disewa oleh seseorang untuk membunuh orang-orang tertentu dengan cara tertentu. Ketiga, mungkin pelaku adalah seorang yang memiliki dendam atau masalah pribadi dengan salah satu atau beberapa korban, dan membunuh mereka dengan cara yang sama untuk mengirimkan pesan atau membalas dendam. Mana yang paling mungkin menurut Anda, Watson?"
"Entahlah, tidak tahu, Barton. Semua teori itu terdengar mungkin. Tapi saya cenderung ke teori ketiga. Saya pikir ada sesuatu yang lebih dalam di balik kasus ini."
"Saya setuju dengan Anda, Watson. Saya juga cenderung dengan teori ketiga. Saya pikir ada hubungan antara pelaku dan korban yang belum kita ketahui."
"Lalu, bagaimana kita bisa mengetahui hubungan itu, Barton?"
"Kita harus menyelidiki lebih lanjut, Watson. Kita harus mengumpulkan informasi tentang korban-korban sebelumnya, dan mencari tahu apakah mereka memiliki sesuatu yang sama atau berbeda dari Nyonya Cohen. Kita juga harus mencari tahu siapa pengirim surat ini, dan bagaimana dia bisa mendapatkan alamat Nyonya Cohen. Kita harus menemukan petunjuk yang bisa mengarahkan kita ke identitas dan lokasi pelaku."
"Baiklah, Barton. Saya siap membantu Anda dalam penyelidikan ini. Tapi bagaimana dengan Nyonya Cohen? Apakah dia aman di sini?"
"Tidak, Watson. Dia tidak aman di sini. Pelaku pasti sudah tahu keseharian Nyonya Cohen. Dia mungkin akan mencoba menyerangnya kapan saja. Kita harus membawanya ke tempat yang lebih aman."
"Ke mana kita akan membawanya?"
"BRAKK." Tubuh Nyonya Cohen tiba-tiba terjatuh.
"BRAK." Watson kemudian menyusul, bola mataku terbelalak menatap mereka berdua tergelatak tanpa sebab, kulihat Watson dan Nyonya Cohen mengelepar bak ikan yang kehabisan nafas.
"Watson," teriakku.
"BRAK." Tubuhku kini jatuh ke lantai, sama seperti mereka, menggelepar kesakitan, nafasku tersengal-sengal, dalam waktu sempit aku berfikir, apakah mungkin surat itu membawa racun yang menyebar di udara ketika aku membukanya?
-Tamat-
Iqbal Muchtar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H