“Minang Sepakat,” teriakku penuh semangat.
“Mm.. nama yang unik,” balas Hayati, “Sepakat,” lanjutnya sambil menyalamiku.
“Dua hari lagi … grand opening-nya,” kataku kepada Hayati yang masih menatap sebuah toko yang akan menjadi restoran masakan Padang untuk kukelola di Bandung.
“Gulai Kepala Kakap di meja tiga,” teriak Hayati yang sedang berakting seolah ia sedang melayani pelanggan yang datang ke restoran itu, “Tambuah ciek,” lanjutnya sambil tertawa meledekku.
Seketika kami terdiam, mata kami bertautan, saling menatap dengan perasaan haru. Terlintas di pikiranku, tiga tahun yang lalu saat semuanya terasa sangat sulit untuk di hadapi, semua terlihat mustahil untuk dilalui. Hayati hadir mengiringi perjalananku melewati kerikil di jalan yang terjal.
***
Aku selalu bermimpi menjadi seorang Chef profesional. Aku suka memasak sejak kecil, aku sering menonton acara kuliner di televisi. Aku terpesona dengan berbagai macam masakan dari seluruh dunia, dan aku ingin belajar lebih banyak tentang seni memasak.
Namun, keluargaku tidak pernah mendukungku. Mereka menganggap bahwa memasak itu pekerjaan wanita, pekerjaan itu tidak pantas untuk seorang pria. Apalagi, keluarga besarku adalah keluarga dokter yang terkenal di Bandung. Ayahku, ibuku, kakakku, dan paman-pamanku semuanya adalah dokter yang terkenal juga sukses. Mereka berharap aku mengikuti jejak mereka menjadi dokter juga.
Aku tidak pernah mempunyai keberanian mengatakan kepada mereka bahwa aku tidak tertarik dengan dunia kedokteran. Aku hanya menuruti keinginan mereka lalu masuk ke fakultas kedokteran di salah satu universitas negeri ternama di Yogyakarta. Aku berpura-pura belajar dengan rajin, padahal aku lebih sering menghabiskan waktuku di dapur ketimbang di perpustakaan, atau membantu ibu kos membuat makanan untuk usaha cateringnya.
***