Aku tidak pernah menyangka bahwa aku akan bertemu dengan cinta pertamaku lagi setelah bertahun-tahun lamanya. Radit, dia adalah teman sebangku ku saat SMP dulu. Kami sering bercanda, berbagi cerita, dan saling membantu dalam segala hal. Aku merasa nyaman bersamanya, tapi aku tidak berani mengungkapkan perasaanku. Aku takut dia akan menolakku atau menganggapku aneh.
***
Sebuah undangan acara reuni SMP yang diadakan di sebuah hotel yang singgah di ponselku beberapa hari yang lalu.
Aku ragu-ragu untuk datang, tapi teman-temanku meyakinkanku bahwa acara itu pasti akan sangat menyenangkan. Aku pun memutuskan untuk pergi ke sana dengan harapan bisa melihat Radit lagi.
Aku ingin tahu bagaimana kabarnya, apakah dia sudah menikah atau belum, apakah dia masih ingat aku atau tidak?.
***
Aku sampai di hotel dan masuk ke ruangan yang sudah disiapkan panitia untuk acara reuni. Aku melihat banyak wajah-wajah yang sudah berubah dengan sangat drastis. Ada yang lebih gemuk, ada yang lebih kurus, ada yang lebih sukses, ada yang lebih sederhana.
Aku mencari-cari Radit di antara mereka, tapi aku tidak menemukannya. Aku merasa kecewa dan sedih.
Aku duduk di salah satu kursi yang kosong dan menunggu acara dimulai. Aku merasakan ada yang menyentuh pundakku dari belakang. Aku menoleh dan terkejut melihat Radit berdiri di sampingku dengan senyum lebar.
"Hai, apa kabar? Lama tidak bertemu." katanya sambil mengulurkan tangannya.
Aku terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lihat. Dia masih tampan seperti dulu, tapi Radit yang sekarang lebih dewasa dan berwibawa. Matanya masih bersinar-sinar, tapi lebih teduh dan bijaksana. Rambutnya masih hitam pekat, lebih rapi dan pendek dengan gaya potongan rambut yang sama, belah pinggir.
"R...Radit?" balasku sambil berusaha menenangkan diri.
"Iya, aku Radit. Kamu tidak mengenaliku lagi?" dia bertanya sambil tertawa.
"Tentu saja aku mengenalimu. Kamu adalah teman sebangkuku saat SMP." aku menjawab sambil tersenyum.
"Betul sekali. Aku senang sekali bisa bertemu denganmu lagi." dia berkata sambil duduk di kursi di sebelahku.
"Senang bertemu denganmu juga." aku balas sambil merasa gugup.
Kami pun mulai berbincang-bincang tentang hal-hal yang terjadi selama kami berpisah. Aku mendengar bahwa dia sudah menjadi seorang dokter spesialis bedah di rumah sakit terkenal. Dia juga sudah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki yang lucu. Aku merasa sangat senang, tapi juga sedih karena dia sudah milik orang lain.
Radit juga tahu, aku menjadi seorang penulis novel yang cukup terkenal saat ini. Dia juga membaca beberapa karyaku dan memuji gaya penulisanku. Dia bilang bahwa dia selalu suka membaca tulisanku sejak saat SMP dan selalu mengagumi imajinasiku. Aku merasa bangga dan senang karena dia masih mengingat hal-hal kecil tentangku.
Kami terus bercerita sampai acara reuni selesai. Kami saling bertukar nomor telepon dan berjanji untuk tetap berkomunikasi. Aku merasa bahagia karena bisa bertemu dengan Radit lagi dan merasakan kembali ke dalam sebuah kenangan masa lalu yang pernah singgah di hati kami.
Tapi aku juga merasa bingung karena ada sesuatu yang berubah di hatiku. Aku merasakan rasa cinta yang sudah lama terpendam kembali muncul. Aku ingin kembali merajut cinta bersama Radit, tapi aku tahu itu tidak mungkin. Dia sudah memiliki keluarga yang bahagia dan aku tidak ingin mengganggunya.
Aku pun memutuskan untuk menyimpan perasaanku sendiri dan hanya menjadi teman baik untuk Radit. Aku berharap bahwa suatu hari nanti, aku bisa menemukan seseorang yang mencintaiku seperti aku mencintai Radit. Aku berharap bahwa suatu hari nanti, aku bisa bahagia seperti Radit, dan aku juga berharap bahwa suatu hari nanti, aku bisa melupakan Radit.
***
Dika seorang editor di penerbit besar yang menerbitkan novel-novelku. Dia orang yang baik, cerdas, dan sangat perhatian. Dia sangat mendukung karirku sebagai penulis dan sangat menghargai pendapatku meskipun kami sering berbeda pendapat, kerap kali ia membuatku tertawa dengan lelucon-leluconnya yang lucu dan konyol.
Aku merasa nyaman dan bahagia bersamanya, meskipun aku masih belum mampu melupakan Radit.
Suatu hari, kami pergi ke sebuah restoran untuk merayakan ulang tahunnya. Kami bercerita tentang seputar pekerjaan kami dan rencana-rencana masa depan kami. Kami saling menatap, tapi aku bingung apakah tatapan ini cinta atau sayang?
Tanpa sengaja, aku melihat Radit masuk ke restoran itu bersama dengan istrinya dan anaknya. Mereka tampak bahagia sekali. Mereka duduk di meja yang tidak jauh dari meja kami. Aku merasa kaget dan canggung melihat mereka.
Aku berharap mereka tidak melihatku, tapi ternyata tidak. Radit menoleh ke arahku dan menatapku dengan heran. Dia lalu tersenyum dan mengangkat tangannya, menyapaku. Aku pun membalas senyumnya dan mengangkat tanganku juga.
Aku menoleh ke arah Dika dan melihat dia tersenyum padaku.
"Dia Radit?" tanyanya sambil tersenyum.
"I...iya." Jawabku ragu, aku memang sering menceritakan nama itu, tapi aku tidak pernah mengatakan kalau ia sudah menikah.
"Kenapa?" Dika menatapku, sorot mata itu sangat dalam dan penuh makna.
"Ah, tidak... ." jawabku singkat dengan perasaan kikuk.
"Dia teman ketika kamu masih SMP, bukan?"
"Ehm." Aku mengangguk, aku berharap Dika tidak berfikir yang macam-macam tentangku
Dika pun mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya dan membukanya di depanku. Di dalamnya ada sebuah cincin berlian yang indah. Dia lalu memegang tanganku dan melamarku.
"Apa kamu mau menikah denganku?" dia bertanya sambil menatap mataku.
"Ya, aku mau." aku menjawab pertanyaan itu sambil meneteskan air mata. Aku menantikan momen ini, aku menunggu seseorang melamarku.
Dika pun memasangkan cincin itu di jariku dan mencium tanganku. Aku pun memeluknya erat dan mencium pipinya. Kami pun berpelukan sambil menikmati momen bahagia itu.
Di seberang kami, Radit juga tersenyum melihat kami. Dia lalu berbisik sesuatu ke telinga istrinya, sepertinya mereka ingin pergi dari retoran itu. Mereka pun berdiri dari meja mereka dan berjalan menuju pintu keluar.
Sebelum keluar, Radit menoleh lagi ke arahku dan memberikan isyarat dengan matanya. Isyarat yang artinya "Selamat ya, semoga kamu bahagia."
Aku pun membalas isyaratnya dengan matanya juga. Isyarat yang artinya "Terima kasih, semoga kamu juga bahagia."
Lalu, kami saling melepaskan pandangan kami dan berpisah untuk selamanya.
-Tamat-
Iqbal Muchtar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H