Aku adalah seorang remaja yang ingin mengejar mimpiku, menjadi seorang musisi. Seiring berjalannya waktu, perbedaan dalam pandangan hidup dan nilai-nilai status sosial di masyarakat antara aku dan orang tuaku semakin terasa meruncing. Ketegangan mulai menghiasi dalam percakapan sehari-hari di keluarga kami.
Suatu sore, ketika aku sedang duduk di ruang tamu, bermain ponsel, ibu masuk dengan wajah yang muram. Dia duduk di seberangku, dan ketegangan mulai terasa di udara dalam ruangan ini.
"Kamu tahu, Sayang," kata ibu dengan lembut, "Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Aku ingin kamu mengejar pendidikan yang baik dan menjadi orang yang sukses."
Aku menggelengkan kepala, rasa frustrasi mulai menggerogoti hatiku. "Tapi, Ma, sukses itu relatif, kan? Aku ingin mengejar passion-ku, dan itu tidak selalu harus menjadi seorang dokter atau insinyur seperti yang Mama inginkan."
Ayahku, yang mendengarkan dari ruangan sebelah, ikut berbicara, "Kamu perlu memikirkan masa depanmu, Nak. Passion bisa saja mengarahkanmu pada kebahagiaan, tapi itu sementara. Apa yang akan terjadi setelah itu?"
Kepalaku pusing mendengar kalimat yang sama berulang-ulang. Aku tidak bisa mengerti kenapa mereka tidak memahami apa yang aku rasakan. "Kalian berdua hanya peduli dengan uang dan status sosial. Bagiku, hidup bukan hanya tentang semua itu. Aku ingin merasa hidup, dan bukan hanya bertahan hidup."
Ibu menangis pelan. Air mata mengalir di pipinya. "Kami hanya ingin melindungimu, Sayang. Kamu masih terlalu muda untuk mengerti."
Terkadang, kata-kata tidak dapat menggambarkan betapa sulitnya menjalani perbedaan dalam pandangan hidup. Aku merasa tertekan, kami tidak bisa mengerti satu sama lain. Semakin waktu berlalu, pertikaian persepsi tentang kesuksesan itu semakin memuncak.
***
Beberapa bulan kemudian, aku membuat sebuah keputusan besar. Aku memutuskan untuk pergi dari rumah, aku mengikuti passion-ku, tanpa persetujuan mereka. Meskipun itu sebuah pilihan yang sangat sulit, aku merasa ini adalah satu-satunya cara untuk menemukan diriku sendiri.