Dulu, aku memiliki impian besar, aku ingin menjadi seorang penulis terkenal. Sejak usia remaja, aku selalu menyimpan buku catatan di saku celanaku, buku itu untuk mencatat ide-ide cerita yang muncul di benakku, aku tidak ingin ide itu menguap begitu saja.Â
Aku menghabiskan malam demi malam untuk menulis, menciptakan dunia-dunia imajinasi di atas kertas kosong. Kata-kata adalah temanku yang paling setia.
Namun, hidup selalu memiliki caranya sendiri untuk mengubah rencana yang telah kita bangun sejak awal. Ketika aku lulus kuliah, ayahku jatuh sakit, dengan penyakit yang cukup parah. Aku adalah anak tunggal, dan aku tahu, aku harus bertanggung jawab untuk keluargaku.Â
Jadi, aku meninggalkan impian menjadi penulis dan mencari pekerjaan yang menghasilkan pendapatan tetap dan stabil.Â
Aku menikahi kekasih masa kecilku, Nayla, dan kami memiliki dua anak yang menggemaskan, Mika dan Lisa. Kehidupan keluarga adalah prioritas utamaku, aku mencintai mereka lebih dari apapun.
Namun, setiap kali aku melihat pena dan kertas di meja kerjaku, kenangan yang dulu pernah singgah di hatiku itu selalu datang menghantuiku.Â
Aku selalu merasa menyesal karena telah mengorbankan impian masa laluku. Aku selalu menyalahkan diriku karena aku gagal menjadi seorang penulis, aku tidak melakukan yang terbaik dalam hidupku untuk mengejar mimpiku menjadi seorang penulis, dan sering sekali aku menghakimi diriku dengan kata pengecut.
***
Tahun berganti, kini aku bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan yang cukup besar. Kehidupan yang sangat mapan untuk keluarga kecilku, tetapi perasaan bersalah itu tidak pernah benar-benar pergi. Aku mencoba menulis pada malam hari untuk mengusir perasaan bersalah itu.
Namun, menulis itu membutuhkan ketenangan jiwa, batin, suasana dan juga waktu, aku kehilangan itu semuanya ketika bersama keluargaku dan juga dengan pekerjaanku saat ini.