Hidup ini terkadang penuh dengan pertentangan antara apa yang kita inginkan dan apa yang kita anggap sebagai kewajiban. Bagiku, pilihan sulit itu sangat terasa ketika aku berada di ambang perjalanan menjalani impian masa laluku.
Dulu, aku selalu bermimpi menjadi seorang seniman. Ketika aku masih sangat muda, aku menghabiskan waktu berjam-jam menggambar dan melukis. Setiap sapuan kuas dan setiap goresan pensil membawaku lebih dekat pada impianku. Impian itu adalah cahaya yang membimbing langkah-langkahku di masa itu.
Namun, kehidupan memiliki cara yang unik untuk menempatkan kewajiban di atas impian. Aku bertemu dengan Nayla, wanita yang akhirnya menjadi istriku. Kami memiliki dua anak yang lucu dan ceria. Mereka adalah cinta sejatiku, aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa mereka.
Kewajiban sebagai suami dan ayah menarikku ke dalam sebuah dunia yang jauh berbeda. Aku meninggalkan dunia yang penuh dengan warna dan mulai bekerja di sebuah perusahaan besar. Gaji yang besar dan jaminan stabilitas keuangan membuatku merasa aman dan puas. Aku sangat mencintai keluargaku, tetapi impian masa laluku tidak pernah benar-benar bisa lenyap.
Suatu hari, ketika aku sedang membersihkan loteng rumah kami, aku menemukan koleksi lukisan dan sketsa-sketsa lama yang sudah terlupakan. Dalam setiap detail goresan gambar itu, aku melihat potongan dari diriku yang pernah ada. Sebuah desakan kuat mendorongku untuk kembali ke dunia yang penuh dengan warna itu. Aku mulai melukis lagi, diam-diam, di malam hari ketika semua orang sudah terlelap dengan mimpinya.
Tapi, semakin sering aku menghabiskan waktu untuk melukis, semakin banyak waktu yang hilang untuk keluargaku. Pertentangan itu memuncak ketika salah satu dari anakku, Lintang, datang ke ruang kerjaku sambil menangis.
Dengan mata berkaca-kaca Lintang menghampiriku, "Papa, kenapa papa selalu sibuk melukis? Mengapa papa tidak pernah mau bermain dengan kami lagi?"
Perasaan bersalah merayap dalam diriku. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan pada Lintang. Bagaimana aku bisa menjelaskan semua perasaanku kepadanya bahwa impian itu telah kembali memakan diriku? Aku telah mencoba memadukan kewajibanku sebagai ayah dengan hasratku terhadap dunia seni lukis, tetapi tampaknya aku gagal.
Suatu hari, Aku menerima sebuah undangan untuk mengikuti pameran seni lokal. Teman-teman lamaku akan ikut berpartisipasi dalam pameran itu, aku merasa ada dorongan yang kuat dari dalam diriku untuk ikut berpartisipasi. Aku pergi meninggalkan pekerjaanku untuk dapat menghadiri pameran tersebut, dan itu adalah salah satu keputusan terberat yang pernahku buat.
Ketika aku berjalan di antara lukisan-lukisan yang indah, aku merasa sepertinya aku telah kembali ke rumah. Impianku yang terlupakan kembali bermekaran, sebuah suara jiwa menyuruhku agar aku segera mengikuti panggilan hatiku, mengejar semua impian yang pernah hilang dan padam. Aku keluar dari pekerjaanku dan memutuskan untuk kembali sepenuhnya ke dalam dunia yang penuh dengan warna.