Setelah sekian lama merantau, akhirnya kaki ini melangkah lagi di tanah Simabur, kampung halaman di Sumatera Barat. Terik matahari menyambut kepulanganku, dan sejuknya angin pedesaan mengusap wajahku seperti seorang kekasih yang menyapaku dengan kerinduannya.
Aku memasuki kamarku, mataku tertuju pada sebuah harta karun yang tersembunyi di balik lemari tua di sudut kamarku. Melihatnya saja membuatku terhanyut dalam aliran waktu, kembali pada momen-momen penuh kebahagiaan bersama ayah. Ketika aku memegangnya, aku dapat merasakan sentuhan lembutnya dan mendengar suaranya yang hangat yang membuatku hanyut dalam kenangan masa itu.
Aku mengajak emak mengenang bersama dalam kenangan tentang kopiah itu. Kami duduk di teras depan, di temani matahari senja yang melukis langit dengan warna oranye dan merah serta hamparan padi yang mulai menguning. Aku meletakkan kopiah di pangkuanku, dan emak tersenyum melihatnya.
"Kopiah itu punya cerita yang menarik, Nak," kata emak dengan logat khas suku Simabur sambil memandanginya dengan penuh rasa rindu.
Aku mengangguk dan berkata, "Tentu, Mak. Ambo ingin tahu lebih banyak lagi tentang kopiah ini."
Emak melanjutkan, "Di desa tempat ayahmu tumbuh besar, kopiah ini menjadi simbol semangat perjuangan. Ayahmu berasal dari keluarga sederhana, dan segala sesuatu yang Ayah miliki saat itu adalah hasil jerih payahnya sendiri. Ayah bahkan menabung dengan susah payah untuk membeli kopiah ini, dan setiap kali Ayah mengenakannya, Ayah merasa seperti ia memiliki dunianya sendiri."
Aku membayangkan ayah muda yang penuh semangat, Ayah menabung untuk mendapatkan kopiah yang ia inginkan dengan berusaha dengan sangat bersungguh-sungguh yang membuatku semakin menghargai makna di balik kopiah itu.
"Ayah selalu menyimpan kopiah ini dengan penuh rasa kecintaan yang sangat mendalam. Ketika cuaca sedang buruk atau pada saat kehidupan membawanya pada sebuah tantangan, kopiah ini adalah benda yang selalu Ayah pegang erat-erat, seperti simbol perlindungan dan semangat yang tidak pernah padam," kata emak dengan lembut.
"Emak... ." aku menggenggam tangan ibuku.
Emak mengambil napas dalam-dalam, matanya seolah-olah memandang ke dalam masa lalu. "Kopiah ini kenangan terindah dari masa muda ayahmu. Ketika itu, ayahmu masih menjadi seorang pelajar yang penuh semangat. Dia memakainya dengan bangga saat pergi ke sekolah dan acara-acara penting lainnya."