Mohon tunggu...
Mochamad Iqbal
Mochamad Iqbal Mohon Tunggu... Guru - Penulis | Pengajar | Penikmat Film

Nominasi Best in Fiction 2023, senang membaca buku-buku filsafat. | Penulis Novel Aku Ustadz Matote | Penulis Antologi Cerpen Isnin di Tanah Jawa, Kumpulan Para Pemalas. | Menulis adalah cara untuk mengabadikan pikiran, dan membiarkannya hidup selamanya.|

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perjuangan dari Sudut Pandangku

12 Agustus 2023   11:26 Diperbarui: 12 Agustus 2023   11:28 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustarsi gambar oleh Cottonbro Studio dari pexel.com

Mungkin beberapa orang tidak dapat melihat keindahan warna, namun aku adalah seorang remaja yang hidup dalam dunia warna dan imajinasi. Setiap kali jariku menyentuh kuas dan menyelam dalam palet warna, hatiku berdegup lebih cepat, dan semangatku membara seperti api yang tak terpadamkan. Saat kuas pertama kali menyentuh permukaan kanvas putih, aku merasakan aliran energi kreatif yang mengalir begitu deras, seakan-akan aku terhubung dengan alam semesta kanvas itu sendiri.

Warna-warna yang berjejer di paletku adalah bahasa yang paling kumengerti. Aku memilih dengan hati-hati, seperti memilih kata-kata untuk sebuah puisi, setiap warna mewakili perasaan dan emosi yang tersembunyi dalam diriku. Saat kuas menggoreskan cat di atas kanvas, aku merasa seolah-olah aku mengungkapkan bagian terdalam dari diriku yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Kanvas kosong adalah panggung bagi imajinasiku yang liar. Setiap goresan kuas adalah langkah menuju dunia dan hanya aku yang dapat memahaminya, tetapi dunia itu dapat aku terjemahkan kepada orang lain melalui karya seniku. Aku tidak hanya melukis gambar, tetapi aku mentransfer perasaan, mimpi, dan pengalaman ke dalam setiap goresan, memberi mereka makna yang lebih dalam daripada sekadar tampilan visual.

Ketika aku melukis, waktu berhenti berjalan dan semua permasalahan seakan menguap entah ke mana. Aku sepenuhnya terbenam dalam proses kreatifitas itu, merasa seperti aku dan kanvas menjadi satu entitas yang hidup. Aku bisa merasakan denyutan kuas di tangan, mengikuti irama hatiku sendiri.

Melalui seni lukis, aku menemukan jalan untuk berbicara dengan dunia. Setiap lukisan adalah sebuah cerita yang mengungkapkan bagian dari diriku yang tidak pernah terucap. Dan ketika orang lain melihat karya-karyaku, aku berharap mereka bisa merasakan semangatku yang meledak-ledak dan kebahagiaanku yang tak tergambarkan setiap kali aku meraba kuas dan cat di atas kanvas.

Sejak kecil, lukisan adalah jendela di mana aku dapat mengungkapkan perasaan dan pemikiranku yang tak terkatakan. Namun, kota kecil tempatku dibesarkan ada satu sekolah yang terkenal dengan reputasi akademis yang kuat. Persaingan untuk masuk ke sekolah ini begitu ketat, dan tekanan untuk mencapai prestasi akademis tinggi sangatlah besar. Sekolah untuk para pelukis handal.

Aku merasa terbelah antara dua pilihan, dunia yang penuh warna yang aku cintai dan dunia akademis yang diharapkan oleh orang tuaku. Setiap hari, aku merasa seperti aku harus memilih antara menggambar dengan kuas atau menghitung rumus matematika. Orang tua selalu berbicara tentang pentingnya pendidikan dan selalu memberikanku sebuah konsep tentang bagaimana masuk ke sekolah terbaik yang akan membuka pintu masa depan yang lebih cerah.

Teman-teman sekelasku juga tak henti-hentinya membicarakan ujian dan nilai. Aku merasa seperti aku hanya satu-satunya yang memiliki kecintaan yang begitu mendalam pada seni. Perasaan ini membuatku merasa terasing dan kesepian, seperti tidak ada yang benar-benar mengerti impian dan keinginanku.

Hari ini aku memutuskan untuk mencari inspirasi, aku pergi ke sebuah taman tidak jauh dari rumahku untuk melukis. Di sana, aku bertemu dengan seorang seniman jalanan tua, dari goresan keriput yang membentang di wajahnya dapat kutebak ia berusia 60 tahun, dengan kaos oblong berwarna hitam berambut panjang yang sedang membuat sebuah karya seni dengan kapur di trotoar. Aku tertarik dengan gambarnya, konsep goresan warna yang sungguh sangat unik, coretan warna yang menceritakan tentang keresahan sosial dan masyrakat.

Aku memutuskan untuk berbicara dengannya. Dia berkata, "Apapun yang membuat hatimu berdetak lebih cepat, itulah yang harus kamu ikuti. Jangan pernah biarkan orang lain menghentikanmu untuk menjadi dirimu sendiri."

"Kadang-kadang, terasa sangat sulit menghadapi tekanan dari luar." Jawabku.

"Dunia penuh dengan suara dan pendapat orang lain, tapi hanya suaramu dan impianmu yang paling penting. Jangan pernah takut mengikuti hastratmu." Pria itu tersenyum sejenak, kemudian melanjutkan aktifitasnya.

"Saya merasa bingung saat ini, saya harus memilih antara passion saya dalam seni atau harapan dan ekspektasi mereka." Gerutuku.

"Saya tahu perasaan itu. Kadang-kadang, jalan yang benar tidak selalu mudah. Tetapi percayalah, mengikuti hati dan hasratmu akan membawa kamu ke tempat-tempat yang tak terduga." Jawabnya tanpa menoleh ia sedang asik dengan kapur-kapur itu.

Gambar itu hampir selesai, sebuah lubang di sebuah trotoar taman yang dipercantik dengan goresan kapur, ia menceritakan seorang remaja yang sedang terombang-ambing dalam kebingungan, salah langkah ia akan terjebak di dalam lubang yang dalam itu untuk selamanya, namun untuk mengikuti keinginannya ia harus berjalan dengan seutas tali yang sangat rapuh, keresahan yang aku rasakan seperti gambar itu.

"Tanpa kanvas, lalu bagaimana cara mengabadikannya?" tanyaku ketika aku merasa hanyut dalam kisah singkat dalam gambar itu.

"Lihatlah." Ia tersenyum, kemudian ia mengabil sebuah kamera, ia menjepret beberapa sudut, kemudia ia bagikan hasil karyanya di dalam sebuah platform yang diikuti oleh jutaan penggemar.

"Aku ingin membuktikan bahwa menjadi seniman juga bisa sukses." teriakku ketika melihatnya selesai mengunggah hasil jepretan itu.

"Kamu tahu, tak ada kesuksesan yang sejati. Ingatlah, dunia butuh keberanian dan kreativitasmu. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam paradigma orang lain." Sahutnya sambil mengemas kameranya kedalam tas dan memasukan sisa kapur ke dalam kotak kecil.

"Terima kasih," Balasku sambil menundukan kepala, "Bapak benar-benar memberikan semangat baru bagi saya. Saya akan berusaha untuk tidak pernah melupakan apa yang benar-benar saya cintai." Lanjutku.

"Itu dia... Berjalanlah dengan keyakinan. Dunia ini adalah kanvasmu sendiri, dan kamu adalah senimannya." Balas pria tua itu sambil menepuk bahuku dengan lembut.

Kata-kata pria tua itu sangat menyentuh hatiku. Aku menyadari bahwa aku tidak bisa terus mengabaikan hasrat dan minatku dalam seni hanya karena ekspektasi orang lain. Aku ingin mengejar mimpiku tanpa rasa takut atau penyesalan. Namun, menghadapi orang tua dan memulai percakapan tentang impianku adalah hal yang menakutkan dan sulit.

"Aku harus bicara." Batinku berteriak, "Aku harus bicara hari ini." Aku sedang dalam perjalanan pulang, hari ini aku metuskan untuk tidak melukis, karena aku sudah menemukan jawaban dari keresahanku.

Sesampainya di rumah kulihat Ayah dan Bunda sedang menikmati akhir pekan menonton serial di ruang tengah, Aku menghampiri mereka yang tengah asik duduk berdua, perasaan tegang dan cemas bergelayut dihatiku.

"Ayah, Bunda, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan." Sahutku mengusik mereka.

"Tentu, Nak. Apa yang ingin kamu bicarakan?" Ayah menjawab dengan tersenyum.

"Ini bukanlah hal yang mudah untuk diungkapkan, tetapi... aku ingin membicarakan tentang impianku dalam dunia seni." Jawabku sambil menelan ludah.

"Impianmu dalam dunia seni?" Nada suara bunda meninggi sambil mengangkat alisnya.

"Iya bun... aku merasa sangat terhubung dengan dunia seni, dan aku ingin mengejar karir di bidang seni ini." Jawabku pelan.

"Nala, kamu tahu betapa pentingnya pendidikan," Kata ayah berpikir sejenak, "Kami ingin kamu memiliki masa depan yang cerah dan stabil." Lanjutnya.

Mendengar Ayah aku berusaha untuk tenang, "Aku tahu, Ayah. Tapi dalam hati aku, seni adalah hal yang sangat aku cintai dan ingin aku tekuni." Jawabku.

"Nak, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Industri seni bisa saja sangat sulit dan tidak stabil." Bunda berbicara dengan lembut berusaha menjelaskan.

"Aku mengerti rasa khawatir itu, Bunda. Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa sukses dalam hal ini." Balasku lembut.

"Kamu tahu, Nala, kami hanya ingin kamu memiliki masa depan yang cerah. Masuk ke sekolah terbaik akan membuka peluang yang lebih baik untuk masa depanmu." Kata ayah sambil memandangku dengan serius.

"Aku sangat menghargai dukungan dan usaha Ayah dan Bunda untuk memberikanku pendidikan terbaik. Tapi aku juga ingin meminta kesempatan untuk mengejar impianku." Pintaku.

"Kami ingin kamu bahagia, Nala. Tapi kami juga khawatir kamu mungkin akan menghadapi kesulitan di masa depanmu nanti." Kata bunda sambil merenung sejenak.

"Aku tidak akan berhenti belajar dan berusaha, baik dalam hal seni maupun dalam hal akademik. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa melakukan keduanya." Sahutku berusaha meyakinkan mereka.

"Kami hanya ingin melihatmu berhasil dan bahagia, Nala. Jika ini adalah hal yang kamu benar-benar cintai, kami akan mendukungmu." Balas ayah sambil menggenggam tanganku dengan lembut.

"Kamu tahu, kamu adalah anak kami dan kamu memiliki hak untuk menentukan jalanmu sendiri. Kami akan mendukungmu sepenuhnya." Bunda menimpali sambil tersenyum.

"Terima kasih, Ayah, Bunda. Semua ini sangat berarti bagiku. Aku berjanji akan bekerja keras dan bersunguh-sungguh untuk membuktikan bahwa aku bisa meraih kesuksesan terhadap sesuatu yang aku cintai." Jawabku dengan perasaan haru.

***

Sejak saat itu aku mengejar mimpiku dengan sunguh-sungguh, tak kubiarkan seharipun tanpa belajar demi mengejar nilai akademik dan juga membiarkan imajinasiku semakin liar di atas kanvas.

Perjalanan yang kuhadapi untuk mencapai tujuanku bersekolah di sekolah seni rupa terbaik terbukti tak semudah yang kubayangkan. Aku terjebak dalam gelombang keraguan diri sendiri dan tekanan dari lingkungan sekitarku. Setiap langkah terasa seperti ujian, menguji tekadku untuk tetap berjalan pada jalur yang kuharapkan.

Namun, dari dalam hingar bingar ekspektasi dan perdebatan internal, aku merasa semakin dekat dengan diriku yang sebenarnya. Aku belajar bahwa keberhasilan sejati tidak hanya tentang mencapai tujuan, melainkan tentang perjalanan untuk menemukan jati diri dan mengikuti hasrat dengan tekad yang tidak kuat tak mudah goyah.

Ada saat-saat ketika keraguan itu hampir membuatku menyerah. Tetapi aku ingat kata-kata bijak yang pernah kudengar "Keberanian bukanlah ketiadaan ketakutan, tetapi kemampuan untuk melanjutkan meskipun ketakutan itu ada." Dengan tekad yang semakin kuat, aku mampu melewati rintangan-rintangan dan tetap fokus pada impianku.

Dan akhirnya, setelah melewati ujian, tantangan, dan penolakan, aku menerima kabar bahagia bahwa aku diterima di sekolah seni rupa impianku. Rasanya seperti semua kerja keras dan perjuangan itu berbuah manis. Aku merasa seperti melangkah ke babak baru dalam hidupku, dikelilingi oleh orang-orang dengan minat dan tujuan yang serupa.

Dalam proses perjalananku ini, aku menemukan sebuah kebenaran yang menginspirasiku, bahwa menjadi diri sendiri adalah bentuk keberhasilan tertinggi. Kini, aku melihat masa depan yang cerah, penuh dengan karya-karya yang kuciptakan dengan penuh gairah. Perjalanan ini telah membantu aku menemukan jati diriku yang sejati dan memberi arah bagi langkah-langkahku selanjutnya.

Dalam setiap usaha yang dilakukan dengan sunguh-sungguh, ada potensi besar untuk tumbuh, belajar, dan meraih kebahagiaan sejati yang utuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun