Mohon tunggu...
Iqbal Kautsar
Iqbal Kautsar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pemakna INDONESIA. Pencerita Perjalanan. Travel Blogger. \r\nwww.diasporaiqbal.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Memaknai Kebersahajaan Suku Boti, Timor

2 September 2013   11:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:29 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Weaving in Boti. Melestarikan tradisi untuk mandiri."][/caption]

Suku Boti menjadi benteng terakhir tradisi asli Pulau Timor. Di tengah serangan modernitas yang bertubi-tubi, Suku Boti tetap memegang kukuh warisan tradisi dan agama leluhurnya, Halaika. Hingga kini, Suku Boti masih hidup dalam kebersahajaan mereka yang bergantung pada kerasnya alam daratan Pulau Timor. Mereka juga sangat menghormati alam lestari dengan hidup harmonis bersamanya... Boti, sunyi terpencil lokasinya tapi gegap gempita menyediakan makna kehidupan.

Jalan beraspal mulus telah usai. Perjalanan setengah jam dari Niki-niki, Timor Tengah Selatan dari tadi serasa ‘datar’. Di sebuah pertigaan menjelang Oinlasi, motor kami berbelok kanan menuju jalanan terjal berbatu. Dari titik inilah, petualangan menuju Boti yang sesungguhnya baru dimulai. Perjalanan yang sarat lika-liku perjuangan!

“Kita akan lewat jalan tanah berbatu, naik turun tiga pegunungan. Setelah itu baru sampai di Boti.” tutur Hermanus (27), tukang ojek yang mengantarkan saya ke Boti.

Saya membayangkan perjalanan ke Boti akan menjadi perkara yang berat. Seratus meter pertama saja, motor bebek 100 cc ini terasa mengerang-erang.  Mengeluarkan tenaganya bersusah payah. Untung, kemahiran Hermanus membuat jalanan berbatu yang menanjak curam itu bisa teratasi. Saya kini yakin bahwa Hermanus sering masuk ke Boti.

Bukan soal mudah bisa mendapatkan tukang ojek yang mau mengantarkan wisatawan ke Boti. Mulanya saya dikerubung para tukang ojek ketika baru turun dari bus Atambua-Kupang di Niki-Niki. Tapi, saat saya berkata Boti adalah tujuannya, hanya tinggal Hermanus dan rekannya, Sius yang bersemangat. Alasannya: jauh, sedikit yang pernah ke Boti, medan yang dilalui berat, motor tak kuat, bahasanya beda dan harga tak cocok.

Hermanus aslinya bukanlah tukang ojek. Dia adalah supir bus jurusan Niki-niki ke Kupang. Seretnya penumpang bus menjadi alasan dia banting stir mengojek. Dengan motornya yang masih gress – hasil dua tahun kredit, dia biasa mengantar wisatawan ke Boti paling tidak seminggu sekali. Menjadi tukang ojek sekaligus pemandu ke Boti lebih menjanjikan menjadi ladang kehidupan. Sekali bawa wisatawan, biasanya PP Rp 125 ribu untuk domestik dan Rp 200 ribu untuk asing. Saya cukup beruntung, dia mau ditawar Rp100 ribu saja.

Lanskap kini mulai berubah. Makin menyusur ke dalam, daratan makin gersang. Bukit-bukit kini didominasi oleh bebatuan kapur yang rapuh. Meski saat itu baru lepas dari musim hujan, tidak tampak hutan menghijau yang menghias perbukitan. Lebih dominan gundul. Putih dan kering dimana-mana. Bekas longsoran seperti pemandangan yang biasa. Jalanan pun kini tak lagi berbatu. Berganti tanah kapur berdebu. Memang benar, ini sebuah perjalanan yang terjal!

“Kalau bawa bule, saya minta dia yang nyetir motor. Saya dibonceng saja. Atau tiap kali tanjakan, saya minta dia turun berjalan kaki.” ungkap Hermanus

[caption id="" align="aligncenter" width="563" caption="Jalanan yang harus dilalui ke Boti. Kapur dan kering."][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Hamparan kering perbukitan Timor dalam perjalanan ke Suku Boti"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Gapura masuk kawasan Boti Dalam."][/caption]

Selama melintasi jalanan, dalam hati saya terus mengungkap tanya. “Kenapa manusia mau tinggal di tempat susah ini? Sebuah alam yang kering, keras dan terpencil?” Tapi, sepertinya daratan ini sudah dihuni manusia ribuan tahun lalu. Manusia telah beradaptasi intim dengan alamnya. Tempat kering pasti menghasilkan manusia-manusia yang kuat, keras dan pantang menyerah.

Kebetulan, saya melintas tepat saat para anak sekolah sedang pulang. Menjumpainya berjalan kaki di tengah terik siang. Padahal, saya saja yang dibonceng lekas merasa dehidrasi. Mereka kuat berjalan berkilo-kilometer seperti ini tiap harinya. Jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh. Demi mengenyam pendidikan, anak-anak Timor rela bersusah payah menerjang alam yang berat. Tapi, dari senyum dan sapaan yang tulus, membuat saya optimis bahwa pendidikan akan mengangkat kesejahteraan masyarakat di sana.

Dua jam perjalanan menakjubkan menembus dataran kapur gersang berujung pada sebuah halaman yang teduh.  Pertanda saya telah tiba di kampung Suku Boti. Rimbunan pepohonan besar ini mengontraskan dengan lanskap selama perjalanan. Sebuah pagar kayu menjadi pembatas untuk masuk ke dalam kampung. Dua umekebubu’ – rumah bulat khas Timor, berdiri di samping kanan kiri. Ada juga sebuah rumah persegi yang tampaknya menjadi tempat pelayanan pemerintah kepada warga Boti.

Saat itu, suasana Boti sangat sepi. Tiada tampak manusia. Hermanus dan Sius langsung mengajak saya masuk. Tak perlu permisi, pintu kecil dibukanya. “Selamat datang di Boti!” kata Sius.

Memuliakan Tamu

Sebuah bangunan kontras dengan rumah sekitar. Bangunan beratap seng berdinding kayu yang bercat putih ini tampak megah dibanding rumah lainnya yang beratap jerami. Inilah Sonaf Raja Boti atau Istana Raja Boti. Jalan setapak batu berundak-undak yang saya lalui melintas perkampungan Boti berujung pada Sonaf Raja Boti. Pertama kali tiba di Boti, tamu harus menuju ke rumah raja dulu. Mohon izin sekaligus bersilaturahmi untuk diterima raja.

Nona Klui datang menyambut kami ketika tiba di sonaf. Ramah. Tutur katanya halus.  Perempuan muda ini ternyata bisa mahir berbahasa Indonesia. Katanya, dia sempat sekolah sampai SMP. Kami dipersilakanlah untuk duduk di beranda. Tapi, tidak banyak yang bisa diobrolkan karena menunggu Mama Raja datang. Seorang perempuan lain tampak bergegas ke belakang untuk memanggil Mama Raja.

“Hanya Raja atau Mama Raja yang bisa mengizinkan para tamu diterima di Boti. Setelah itu baru bisa bertanya-tanya. Karena Raja sedang di ladang baru pulang malam, nanti Mama Raja yang menyambut.”  ungkap Klui.

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Sonaf Raja Boti. Istana Boti. "][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Pinang, sirih, kapur. Tradisi yang selalu ada pada masyarakat Pulau Timor. Tidak terkecuali Suku Boti"][/caption] . [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Suguhan dari Mama Raja Boti kepada tamu. Dari kebun sendiri."][/caption]

Lima menit kami menunggu, Mama Raja yang bernama asli Molo Benu akhirnya datang. Perempuan separuh baya yang berpakaian anggun tapi sederhana warna coklat ini mengajak kami bersalaman. Kini, saatnya saya mengeluarkan persembahan kepada Mama Raja yang tiada lain adalah adik raja Boti sekarang, Usif Namah Benu. Buah pinang, daun sirih dan cengkih, saya masukkan ke dalam dua kotak wadah  dari rotan yang telah disediakan. Pinang, sirih, cengkih adalah ungkapan  penyambung tali persaudaraan ketika seorang tamu datang ke Boti.

Mama Raja mengunyah pinang, sirih dan cengkih lalu mencampurnya dengan kapur. Artinya kedatangan kami telah diterima. Mama Raja lalu mempersilakan kami untuk ikut menyirih. Untung, kedua tukang ojek kami yang melakukan ritual itu. Saya tidak perlu ikutan karena jujur tidak bisa menyirih. Bagi orang Timor, menyirih sudah menjadi tradisi bagi orang tua bahkan anak muda. Pasti dimana-mana akan banyak ditemui orang-orang bergigi jingga, bekas menyirih.

Mulailah obrolan mengalir di antara kami. Sius dan Hermanus lancar berbincang dengan Mama Raja karena saling mengerti bahasa. Bahasa yang digunakan Suku Boti adalah bahasa Dawam.  Meski begitu, kadang dalam beberapa percakapan Sius menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Kadang juga, saya ikut masuk dengan dengan Bahasa Indonesia. Untungnya, Mama Raja bisa tahu meski sedikit terhadap Bahasa Indonesia.

“Kalau siang, semua lelaki berladang atau mencari kayu di hutan. Semua wanita tinggal di rumah untuk menenun atau merawat anak di rumah.” ungkap Mama Raja tatkala saya tergelitik bertanya dengan tidak adanya kaum lelaki di Boti.

Kaum lelaki Suku Boti memiliki penampilan yang khas. Rambut lelaki Boti akan digelung seperti penampilan orang jaman Majapahit. Untuk membedakan mana laki-laki yang sudah dan yang belum berkeluarga, terlihat pada bentuk konde. Konde atas bagi laki-laki yang sudah menikah dan konde bawah bagi mereka yang belum menikah. Kaum lelaki Boti mengenal monogami, hanya menikah pada satu perempuan saja seumur hidupnya. Sayangnya saya tak bisa menemui seorangpun lelaki Suku Boti siang itu.

Tiba-tiba, seorang perempuan hadir menyuguhi kami segelas kopi, sepiring pisang goreng dan semangkuk kacang goreng. Mama Raja langsung mempersilakan kami untuk menyantap hidangan yang diletakkan di meja sebelah.

“Ini dari kebun kami semua. Minyak untuk menggoreng pun kami olah sendiri. Silakan dinikmati“ ungkap Mama Raja.

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Di dalam Sonaf Raja Boti. Ruang tamu yang diisi dengan berbagai foto dan aksesoris."][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Isi Sonaf Raja Boti. Ada piala, plakat, kalender, dan radio tape. "][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Dapur kerucut di samping Sonaf Raja Boti. "][/caption]

Sebenarnya ada hal yang kurang enak tatkala kami hanya menyantap sendiri suguhan ini. Mama Raja beserta warga Boti tidak mau turut makan. Sesuai adat Suku Boti, bahwa tuan rumah tidak bisa menyantap sebelum para tamu makan. Saya amati jumlah makanan memang dihidangkan pas sekedar untuk para tamu. Ada nilai luhur terkandung di sini. Ini bentuk penghormatan Suku Boti kepada para tamunya. Sebuah tradisi tata hidup dari Boti: memuliakan tamu.

Setelah makanan tandas, saya diizinkan Mama Raja untuk masuk ke dalam Sonaf. Sekilas di dalam Sonaf tampak seperti sebuah ruang tamu biasa. Tapi namanya istana tentu banyak yang istimewa. Terpajang berbagai foto dokumentasi dari pengunjung, foto bupati, foto Soeharto, piala dan piagam penghargaan, plakat tanda mata dan kain ornamen khas Boti yang sangat indah. Tapi yang  menggelitik saya adalah adanya radio tua di sonaf Boti. Ternyata teknologi juga masuk ke Boti meski tertinggal beberapa masa.

“Di Boti radio boleh. Kalau televisi, HP, telepon tidak bisa. Listrik ada, kadang dinyalakan dari genset bantuan pemerintah. Tapi jarang. “ jelas Mama Raja tentang penerimaan teknologi modern suku Boti.

Roda waktu seakan berjalan lambat di Boti. Warga Boti hingga kini masih hidup dalam kebersahajaan mereka yang konservatif dalam menerima modernisasi. Mereka bisa hidup tidak perlu bergantung pada teknologi modern. Alam dataran Timor yang keras hingga kini masih menyediakan nafas kehidupan  yang melimpah bagi warga Boti.

Benteng Tradisi Atoni Metu Tidak ada masyarakat di Pulau Timor yang memegang tradisi leluhur seteguh dan seasli Suku Boti. Suku Boti merupakan segelintir yang tersisa dari pewaris tradisi suku asli pulau Timor, Atoni Metu. Suku yang mendiami pegunungan terpencil di Kecamatan Kie, Kab. Timor Tengah Selatan ini masih menganut kepercayaan bercorak animisme.

Keyakinan dan kepercayaan Suku Boti disebut Halaika. Suku Boti percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah sebagai mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Uis Pah disebut juga sebagai Dewa Bumi.

Sedangkan Uis Neno sebagai papa atau bapak merupakan penguasa alam baka yang akan menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di dunia. Uis Neno menjadi Dewa Langit.  Bagi Suku Boti, hidup ini diatur oleh tiga kekuatan besar, yakni Uis Pah, Uis Neno, juga roh arwah leluhur (Nitu).

Suku Boti dikenal sangat ketat dalam memegang adat dan kepercayaannya. Bila dilanggar, maka pelanggar akan dikenakan sanksi yang tegas. Bisa jadi warga pelanggar harus keluar dari komunitas suku Boti karena tidak diakui lagi sebagai penganut Halaika lagi. Implementasi aturan ini berlaku untuk siapapun. Tidak peduli orang tersebut adalah bagian dari keluarga raja sekalipun.

Laka Benu, putra sulung dari Raja Boti yang legendaris, Usif Nune Benu, harus meninggalkan Boti karena dia memeluk agama Katolik. Padahal, Laka Benu adalah putra mahkota Boti menggantikan Usif Nune Benu yang mangkat pada Maret 2005. Tradisi Boti mensyaratkan raja harus dipegang oleh orang yang mewarisi agama leluhur. Oleh karena itu, Laka Benu tidak bisa menjadi raja. Malah dia ‘dipersilakan’ untuk pergi dari Boti.

Tahta Raja Boti kemudian diberikan kepada Namah Benu, sang adik Laka Benu. Namun, saat pergantian tahta, tidak serta merta langsung sang raja baru dikukuhkan. Melainkan ada masa tiga tahun berkabung untuk menghormati Usif Nune Benu.

Selama itu, orang Boti tidak mengadakan pesta-pesta adat. Baru kemudian Namah Benu dikukuhkan menjadi Raja Boti dengan sebutan Usif Namah Benu. Usif adalah sebutan atau gelar yang diberikan Suku Boti terhadap raja mereka yang juga merupakan pemimpin adat dan spiritual warga Boti.

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Salah satu bentuk rumah di kampung Boti. "][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Bangunan yang dibuat pemerintah untuk layanan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat Boti"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Gambar kerbau di sonaf Raja Boti. Salah satu hewan kurban untuk pembuatan Sonaf Boti tahun 1970-an"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="330" caption="Alm. Usif Nune Benu. Raja legendaris Boti"][/caption]

Sebuah foto besar dengan pigura kayu terpampang di teras Sonaf Raja Boti. Ia menjadi pandangan yang dominan di antara ornamen-ornamen hewan yang dikurbankan saat membangun sonaf tahun 1970-an. Seperti kerbau, babi, ayam, kambing. Foto ini menggambarkan Raja Boti sekarang, Usif Namah Benu, sedang memegang pigura foto dari ayahnya, Usif Nune Benu. Mau tak mau ini melemparkan saya pada romantika kebijaksanaan dan kebersahajaan sang raja Boti, meski tiada kehadiran Raja saat itu.

Selain itu, ada keunikan lain perihal Suku Boti menjaga tradisi leluhur. Sampai saat ini Suku Boti masih konservatif dalam menerima pendidikan formal berupa sekolah dari pemerintah. Sikap konservatif ini tidak berarti menolak sepenuhnya sekolah, tetapi menyiasatinya agar seimbang dengan ajaran tradisi leluhur. Suku Boti menciptakan mediasi antara pendidikan formal dengan pembelajaran warisan tradisi. Mengharmonisasikan ajaran modern dengan tradisional.

“Ada aturan sekolah di Boti. Anak-anak pada satu keluarga akan dibagi dua. Separuh  pergi sekolah menuntut ilmu, separuh di rumah untuk belajar adat dan tradisi. “ terang Mama Raja Molo Benu

Aturan ini merupakan sebuah kebijaksanaan dari Suku Boti. Diharapkan, pada generasi suku Boti tercipta keseimbangan antara kehidupan masa sekarang dengan kehidupan berdasarkan adat dan tradisi yang sudah diwariskan turun temurun.  Dengan begitu, Suku Boti bisa melestarikan adat dan agama nenek moyang tanpa teralienasi peradaban di sekitarnya.

Menenun Kain, Harmonis bersama Alam

Mama Raja mengajak kami untuk melihat proses penenunan kain khas Boti. Tempatnya tak jauh dari Sonaf Raja. Melihat pembuatan kain berarti akan mengakrabkan diri dengan keseharian perempuan Boti. Aktivitas menenun adalah sarana memanfaatkan waktu bagi kaum perempuan di tengah dunia Boti yang berlangsung sunyi dan bersahaja tanpa teknologi modern. Menenun adalah kewajiban bagi para perempuan Boti, tapi sebaliknya haram bagi lelaki Boti.

Terlebih dulu, kami masuk ke sebuah rumah yang dipoles menjadi show room. Pada rumah ini terdapat berbagai macam aneka kerajinan yang diproduksi suku Boti. Sudah pasti ada kain tenun, manik-manik, hiasan rotan, dll. Selain dipajang, aneka kerajinan ini dimaksudkan pula untuk dijual kepada wisatawan. Beberapa pigura foto tentang kegiatan menenun warga Boti juga tampak menghiasi dinding-dinding ruangan.

Di belakang showroom, lokasi penenunan kain itulah berada. Tempat ini memang disediakan khusus untuk wisatawan yang ingin mengetahui dan merasakan prosesi menenun dari awal hingga akhir.

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Showroom Kampung Boti. Tempat pameran kerajinan Boti. Ada juga foto Soeharto. Waktu seakan berhenti di sini."][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Para perempuan Boti sedang memperagakan tahap-tahap pembuatan kain. Dari pemintalan sampai penenunan."][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Nona Klui dengan cekatan membuat motif pada kain Boti."][/caption]

“Biasanya perempuan sehari-hari menenun di dalam rumah. Sambil jaga rumah.” ungkap Klui.

Empat perempuan muda telah duduk menempati posisinya masing-masing. Pakaiannya menggunakan kaos biasa dengan sarung tenun khas Boti sebagawai bawahan. Mereka sudah dari tadi menjalankan tugasnya sesuai pembagian kerja. Prosesi membuat kain Boti dibagi menjadi beberapa tahap.

Proses pertama, kapas terlebih dulu dipisahkan dari biji kapas yang disebut beninis. Biasanya anak perempuan yang mengerjakan tugas ini. Selanjutnya, beninins itu dihaluskan dengan alat tertentu untuk dibuat dalam bentuk rol-rol kapas. Setelah itu, seorang perempuan kemudian menggulung rol kapas untuk dijadikan sebagai benang. Benang-benang ini akan diberi pewarna.

Suku Boti memiliki tradisi unik dalam mewarnai benang. Mereka menggunakan bahan-bahan dari alam untuk pewarna benang. Pewarna ini tersedia melimpah di hutan sekitar kampung Boti. Suku Boti benar-benar mengaplikasikan hidup yang harmonis bersama alam. Tidak ada bahan kimia yang mencemari tanah Boti karena semuanya berasal dari alam.

Dalam bahasa lokal, suku Boti menggunakan empat pewarna alami yang khas. Untuk merah tua dan merah muda menggunakan Bauk’ulu dan Noba. Warna hitam dan biru laut dihasilkan dari Taum. Warna kuning tua dan kuning muda didapat dari Huki. Warna hijau daun menggunakan Kotno. Warna-warna inilah yang kemudian mendominasi motif-motif pada tenun Boti.

Selanjutnya dilakukanlah penenunan.  Proses penenunan menjadi kain dilakukan oleh remaja putri atau para ibu. Prosesnya akan dikerjakan secara sendiri atau kelompok. Untuk satu lembar kain ikat yang ditenun membutuhkan waktu hingga tiga bulan penyelesaian secara sendirian. Bila berkelompok, kain bisa diselesaikan dalam waktu sebulan.

Tangan-tangan Nona Klui begitu cermat dan cekatan dalam menenun kain. Meski saya ajak mengobrol, dia tidak luput untuk mengombinasikan motif yang sedang dibuatnya. Dia sedang menyusun motif buaya yang merupakan merupakan motif paling khas dari Boti. Buaya adalah hewan yang disakralkan dalam tradisi orang Timor, termasuk di Suku Boti ini. Simbol kekuatan dan perlindungan.

Dari hasil tenunan tradisional itu, warga Boti menjahit pakaian baik untuk dipakai sehari-hari maupun untuk pakaian adat. Pakaian adat laki-laki disebut beti atau mau’. Sedangkan pakaian adat perempuan disebut tais. Selain pakaian, kain tenun juga bisa dibuat untuk aksesoris seperti gelang, tas kain atau sekedar dibuat sebagai kain sarung.

“Pohon kapas kami tanam sendiri. Kapas kami pintal sendiri. Kain kami tenun sendiri. Jadi, pakaian kami murni buatan sendiri. “ ungkap Mama Raja bangga.

[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Tahap-tahap dari beninis hingga pembuatan benang."][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Suku Boti menggunakan pewarna alami untuk kainnya. Benar-benar harmonis bersama alam."][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Salah satu rumah warga di Kampung Boti. Sederhana dan bersahaja."][/caption]

Bisa mengetahui proses pembuatan kain di Boti, membuat saya mendapat pelajaran berharga. Suku Boti menggunakan hasil karya mereka sendiri dalam kesehariannya. Mereka bisa mandiri. Mengajarkan kita agar cinta pada produk sendiri. Bukankah ini wujud dari kesederhanaan hidup? Ada penghormatan luhur terhadap alam sekitar Boti yang menyediakan banyak bahan baku untuk memenuhi kebutuhan. Sebuah optimalisasi potensi alam dengan tetap menjaga alam lestari.

“Menurut falsafah hidup orang Boti, manusia akan selamat dan sejahtera bila merawat dan melestarikan lingkungan hidup.” jelas Nona Klui

***

Perlahan, matahari mulai merendah ke ufuk barat. Sore sudah menjelang. Kebersahajaan hidup suku Boti melarutkan saya dari tadi awet tak mau beranjak. Tapi, saya dan Lingga mesti kembali ke Kupang. Kami meminta pamit kepada Mama Raja. Namun, sebelum pulang, Mama Raja minta kami makan dulu.

“Tidak bisa keluar dari Boti sebelum menyantap suguhan makan dari Mama Raja.” jelas Hermanus

Kami kembali ke Sonaf Raja dan menyantap hidangan dari Mama Raja. Sebuah suguhan sederhana tapi saya yakin dibuat dengan penuh cinta. Nasi dengan sayur labu, oseng mie instan, tempe dan kacang. Saya serasa menikmati makanan yang teriringi ungkapan terbaik memuliakan tamu. Seperti tadi juga, Mama Raja dan pembantunya tidak ikut makan bersama kami. Baiklah, karena lapar mendera, makanan pun lekas tandas.

Namun, tak berhenti saat itu juga. Penghormatan kepada kami mencapai puncaknya sesaat sebelum pergi. Kami diberikan kain khas Boti. Cuma-cuma! Langsung oleh Mama Raja, kain tenun bermotif buaya yang sangat indah itu dikalungkan kepada saya. Jujur, saya terharu dan bangga. Serasa saya menjadi tamu kehormatan suku Boti. Padahal, saya sekedar wisatawan biasa. Sungguh betapa baik dan ramahnya sambutan dari warga Boti. Momen ini pun menjadi klimaks dari kehadiran saya di Kampung Boti. Happy Ending in Boti!

Lambaian tangan Mama Raja, Nona Klui dan warga Boti lainnya mengiringi kepergian kami dari Boti. “Koenom amfain ahoit teu Hot Sonaf’. Selamat Jalan menuju tempat tinggal Anda. Dalam hati, saya berharap semoga ada kesempatan untuk datang kembali dan tinggal lebih lama memaknai kebersahajaan Suku Boti.

Pinang, sirih dan cengkih harus dipersiapkan tamu sebelum masuk ke Boti. Biasanya dibeli di Niki-niki [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Angkutan masyarakat sekitar Boti ke Oinlasi dan Niki-Niki. Pick up yg dimodifikasi. "][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Motif buaya pada anyaman Boti. Buaya adalah hewan yang disakralkan di Boti."][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Patung burung di atas rumah bundar Boti. "][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Di Boti, ayam pun harus dikandangkan dengan digantung. Tak mudah menemui ayam di dataran kering di Pulau Timor"][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Rumah bundar Umekububu yang banyak dijumpai di Pulau Timor. Di Boti cukup banyak."][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Mama Raja tampak bersantai. Sambil mengawasi perempuan Boti yang sedang menenun. "][/caption] Sius dan Hermanus. Tukang ojek yang 'berani' mengantarkan saya bertakzim ke Boti.Tangguh!! [caption id="" align="aligncenter" width="432" caption="Seorang Mama dengan anaknya yang lucu. Menjaga tradisi Suku Boti"][/caption] Menembus lorong waktu. Menemui para penenun Boti. Penjaga tradisi [caption id="" align="aligncenter" width="432" caption=" Nona Klui. Salah sedikit perempuan Boti yang bisa berbahasa Indonesia"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun