Tidak seluruh wilayah Indonesia memiliki timbal baik yang ideal selayaknya sebuah Negara. Dalam konsep bernegara yang saya pahami, masyarakat mempunyai kewajiban menaati aturan yang dibuat Negara, juga berkewajiban menyisihkan sebagian pendapatannya lewat pajak atau zakat , lalu Negara alias Pemerintah mengelola uang itu untuk membangun jalan, memperhatikan kesehatan masyarakat, dll. Itulah Negara yang sehat, yang timbal baliknya berjalan dengan ideal.
Pulau Balai mempunyai kisah yang cukup miris. Pulau Balai adalah nama sebuah pulau di Kepulauan Banyak, Kabupaten Aceh Singkil.
[caption id="attachment_290688" align="alignleft" width="394" caption="Seorang warga sedang mengangkut karang yang diambilnya dari laut untuk dijual ke masyarakat sebagai pondasi"][/caption] Dari warung kopi yang mepet pantai, saya bisa perhatikan aktivitas orang-orang yang berhubungan dengan laut, termasuk seorang bapak yang baru pulang entah dari mana, membawa karang yang memenuhi hampir seluruh perahunya. Dia turun, lalu mengambil becaknya untuk membawa karang-karang tersebut, juga entah ke mana. Saya mendekatinya, lalu melempar senyum. Saya potret aktivitasnya setelah minta izin.
“Ini karang hidup, Pak?” tanya saya.
“Inilah pencarian masyarakat, gak dapat bantuan, kami habiskanlah dulu karang ini,” katanya santai.
Saya mulai bisa menebak bahwa bapak ini mempunyai aktivitas unik yang dalam hukum Indonesia dikategorikan perbuatan illegal: mengambil karang di laut (hidup atau mati), lalu menjualnya ke masyarakat di Balai. Masyarakat menggunakannya untuk membuat pondasi rumah. Untuk menutup pondasi sebesar satu kubik, butuh pasir setara Rp300 ribu. “Mana sanggup kami. Kalau karang, cuma Rp100 ribu sampai depan rumah,” kata seorang bapak di warung kopi.
Saya seperti tinggal di wilayah tanpa pemerintahan. Tidak ada timbal, dan tidak ada balik. Pemerintah tidak membangunkan sarana prasarana yang cukup, dan masyarakat tidak terlalu ambil pusing dengan aturan-aturan pemerintah.
Jalan-jalan seadanya yang melingkari pulau adalah jalan-jalan yang dibuat oleh masyarakat sendiri, dengan dana masyarakat sendiri. Pembangunan jalan yang terakhir dilakukan belasan tahun yang lalu, sebelum pemekaran Aceh Singkil. Masyarakat menganggap Aceh Singkil tidak melakukan apa-apa buat Balai.
Gempa 2005 yang membuat tanah turun 1 meter dan oleh karenanya menenggelamkan banyak sekali rumah, tidak membuat pemerintah bergeming untuk membangunkan jalan. Rumah-rumah yang menjadi tenggelam karenanya dibiarkan tenggelam begitu saja. Sebagian warga tetap menggunakan rumah tenggelam tersebut sebagai tempat tinggal, setelah menumpuk lantainya dengan bebatuan dan kekarangan. Jawabannya setelah saya tanya kok tidak pindah adalah: Mau pindah ke mana? Cuma ini yang kami punya.
Keadaan paling mengerikan adalah ketika malam 18, waktu purnama sedang purnama-purnamanya. Air laut pasang begitu tinggi sehingga menenggelamkan sebagian jalan utama. Kalau ada tsunami, walau kecil, seluruh penduduk Balai akan habis karena Balai tidak punya bukit untuk tempat lari. Melihat kenyataan ini, banyak penduduknya yang hijrah, tapi sebagian tetap tinggal, bukan mau tinggal, tapi terpaksa tinggal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H