Mohon tunggu...
Muhammad IqbalFirdaus
Muhammad IqbalFirdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa - UPN "Veteran" Yogyakarta

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Upaya Indonesia dalam Pembebasan WNI Disandera Abu Sayyaf, Apakah Filipina Turut Andil?

26 Mei 2022   12:50 Diperbarui: 26 Mei 2022   13:00 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia kembali dihebohkan dengan peristiwa yang menimpa kapal berbendera Indonesia dimana telah terjadi pembajakan kapal dan penyanderaan 10 ABK berkewarganegaraan Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan. Bukan pertama kalinya untuk Indonesia dalam menangani kasus penyanderaan oleh kelompok separatis, namun berhasilnya pemerintah Indonesia dalam membebaskan 10 ABK dari tangan kelompok Abu Sayyaf menjadi menarik dikarenakan para sandera berhasil dibebaskan dalam waktu kurang dari tiga bulan sejak peristiwa pembajakan kapal, serta tanpa operasi militer. Sehingga muncul pertanyaan bagaimanakah strategi diplomasi yang digunakan Indonesia dalam upaya pembebasan 10 ABK WNI dari kelompok separatis Abu Sayyaf? Apakah Filipina turut andil dalam upaya pembebasan ini?


Penyanderaan dan pembajakan kapal kembali dialami oleh negara Indonesia oleh kelompok separatis. Kali ini peristiwa pembajakan kapal dilakukan oleh kelompok separatis Abu Sayyaf di Filipina Selatan. Abu Sayyaf melakukan pembajakan pada tanggal 26 Maret 2016 di dua kapal berbendera Indonesia ketika sedang berlayar menuju Batangas, Filipina Seletan setelah sebelumnya berlayar melewati Sungai Puting, Kalimantan Selatan. Dua kapal tersebut yaitu kapal Brahma 12 dan kapal Anand 12 dengan membawa 10 ABK (anak buah kapal) yang merupakan warga negara Indonesia. Melalui pembajakan dan penyanderaan tersebut, Abu Sayyaf menuntut tebusan 50 juta peso atau sekitar 15 miliar dengan batas waktu maksimal yaitu akhir maret tepatnya 31 Maret 2016.


Abu Sayyaf menyandera 10 ABK dari dua kapal milik Indonesia yang saat itu tengah membawa 7.000 ton batubara dari kalimantan selatan menuju Filipina. Usai mendapat kabar bahwa telah terjadi penyanderaan 10 ABK berkewarganegaraan Indonesia, Pemerintah Indonesia kemudian dengan sigap mengupayakan pembebasan 10 ABK WNI tersebut dengan terlebih dahulu menggunakan pendekatan kemanusiaan dan keagamaan melalui cara-cara yang bersifat persuasif, negosiasi serta diplomasi sebelum melalui upaya militer sebagai upaya terakhir.


Untuk dapat membebaskan seluruh WNI yang di sandera, Indonesia melibatkan akto-aktor non negara yang dikirim langsung ke Filipina. Pelibatan aktor non-negara tersebut dapat dijelaskan dengan konsep multi-track diplomacy. Dalam upaya pembebasan sandera 10 ABK WNI kapal kapal Brahma 12 dan kapal Anand 12 Indonesia kemudian mengaitkan dua kelompok negosiator yang masing-masing dibentuk oleh Yayasan Sukma dan Jusuf Kalla. Kelompok negosiator Yayasan Sukma terdiri dari Mayor Jenderal Purnawirawan Supriadin, Ahmad Baedowi, Samsu Rizal Panggabean, serta Desi Fitriani. Mayor Jenderal Purnawirawan Supriadin adalah seorang mantan Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda Aceh, Ahmad Baedowi yaitu seorang Direktur Pendidikan Sukma, Samsu Rizal Panggabean yaitu seorang pengajar di jurusan Hubungan Internasional serta Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gajah Mada, sedangkan Desi Fitriani yaitu seorang jurnalis Metro TV.


Tentunya, dalam upaya pembebasan sandera ini Filipina, sebagai negara tempat terjadinya penyanderaan ini turut andil. Upaya yang dilakukan Filipina tentunya menjadi salah satu faktor keberhasilan Indonesia dalam membebaskan sandera. Hal tersebut dapat terjadi karena selain upaya dari Yayasan Sukma, Indonesia berupaya melalui Kementerian luar negeri serta Kedutaan Besar Republik Indonesia di Manila dan jajarannya, TNI, serta pemerintah Filipina beserta kepolisian Filipina dan angkatan bersenjata Filipina yang turut andil mengupayakan pembebasan sandera WNI.


Tim negosiator Yayasan Sukma menggunakan pendekatan kemanusiaan untuk membebaskan sandera, yang meliputi metode, agama, dan pendidikan. Tim perunding Yayasan Sukma juga membangun hubungan dengan masyarakat di Filipina sebagai bagian dari operasinya. Tujuan tim perunding Yayasan Sukma dalam rangka membangun kemitraan dengan masyarakat lokal Filipina adalah untuk melakukan penilaian dan pemetaan terhadap Kelompok Abu Sayyaf.


Setelah berhasil membangun hubungan dengan masyarakat lokal filipina, Yayasan Sukma pun mendapatkan sebuah pintu masuk atau akses untuk mendapatkan informasi sertaa melanjutkan operasinya bahkan sampai mendapat kontak dengan kelompok Abu Sayyaf. Melakukan pertemuan atau kontak langsung dengan kelompok Abu Sayyaf sangat diperlukan karena Yayasan Sukma membutuhkan bukti bahwa WNI yang disandera masih dalam keadaan hidup. Namun aktivitas ini tentunya sangat berbahaya. Namun hal berbahaya ini dapat diminimalisir dengan bantuan masyarakat serta lokal Filipina Selatan sehingga kelompok Yayasan Sukma berhasil mendapat kepercayaan untuk melakukan kontak dengan kelompok Abu Sayyaf serta mendapatkan bukti hidup para WNI yang disandera. Setelah berhasil melakukan kontak dengan kelompok Abu Sayyaf, Yayasan Sukma pun menjalin komunikasi yang baik dengan strategi pendekatan kemanusiaan yang membuat berhasilnya terbentuk komunikasi yang baik antara tim negosiator Yayasan Sukma dan kelompok Abu Sayyaf.


Setelah berhasil menjalin komunikasi yang baik dengan kelompok Abu Sayyaf, tim negosiator Yayasan Sukma pun memberikan beberapa sajian kepada kelompok Abu Sayyaf. Sajian tersebut antara lain beberapa makanan dan kue khas Indonesia, rokok, serta Al-Qur’an. Sajian sajian tersebut diterima dengan baik oleh kelompok Abu Sayyaf. Dengan adanya komunikasi yang baik, serta dimasukkannya unsur budaya serta agama melalui sajian kepada Abu Sayyaf, terbangunlah empati yang menjadi kunci keberhasilan pembebasan sandera WNI. Hal ini dapat terlihat dari sikap kelompok Abu Sayyaf yang menerima tim Yayasan Sukma dengan tanpa adanya kekerasan. Dengan itu, terbentuklah kepercayaan dan juga transparansi antara 2 kelompok ini. Dengan melibatkan masyarakat dan komunitas lokal Filipina Selatan, tim negosiator Yayasan Sukma memberikan beasiswa kepada anak-anak di wilayah tersebut. Setelah terjadinya negosiasi antara Yayasan Sukma dan kelompok Abu Sayyaf, para sandera berhasil dibebaskan dengan uang tebusan 5 juta peso yang awalnya uang tebusan yang dituntut sejumlah 50 juta peso.


Dengan demikian, upaya pembebasan WNI yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf tidak hanya melibatkan pemerintah Indonesia saja. Melainkan melibatkan aktor non negara yaitu Yayasan Sukma, pemerintah Filipina, bahkan masyarakat lokal Filipina Selatan yang membantu untuk membangun hubungan serta kepercayaan antara tim negosiator Yayasan Sukma serta kelompok Abu Sayyaf.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun