Ijazah sekolahku
serta hidup keluargaku
berasal dari keringat buruh
meski peluh, tak pernah aku dengar eluh darimu
malah kau minta maaf,
saat tagihan yang aku ajukan tak bisa kau berikan
kau tak pernah menganggap ini siksa hidup
meski aku sangat tahu,
kau menyiksa hidupmu
untuk mendapatkan lembaran penukar barang dan jasa
tak lain untuk adikmu
ayah ibumu
serta anakmu
hingga kau lupa akan diri sendiri
tak mengurus suami yang pula bekerja
malam dan siang hari
yang terpenting bagimu adalah Uang untuk mereka
ya, mereka yang menjadi perjuanganmu
mesin-mesin tak berhenti mengayak barang
konglomerat serta pejabat tak hirau lagi masalah juang kemanusiaan
katanya merata ? tapi mana ?
kau mudah membuang pekerja yang upahnya tak seberapa
belum lagi di gedung sana asik merapatkan proyek
proyek Negara,
Negara untuk komunitasnya saja
mencuri hasil yang tak semestinya
Aku masih ingat wajah itu
wajah buruh penuh peluh
yang tak patah semangat untuk mencari upah
untuk keluarganya
wajah yang dulu cantik perawan
hingga sekarang beranak dua
dan mulai terlihat guratan di kulit matanya
masih saja menjadi buruh
Kairo, selasa pagi, 7 Mei 2013. Pukul 2.38.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H