Mohon tunggu...
M. Iqbal Fardian
M. Iqbal Fardian Mohon Tunggu... Ilmuwan - Life Time Learner

Penulis adalah seorang pendidik di sebuah sekolah swasta kecil di Glenmore, Banyuwangi. Seorang pembelajar yang tak pernah selesai untuk terus belajar. Saat ini penulis sedang menempuh Pendidikan di Program S3 Ilmu Ekonomi Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Janger Banyuwangi, Seni Teatrikal yang Tak Pernah Punah

3 Januari 2019   13:03 Diperbarui: 3 Januari 2019   14:39 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabu Minak Jinggo dalam lakon Janger Banyuwangi

Tetabuhan ritmis terus mengalun, menghentak memecah keheningan malam dengan iringan-iringan gending khas. Sekilas terdengar seperti tetabuhan Bali. Selama ini ketika kita mendengar kata janger maka kita berasumsi bahwa tarian ini berasal dari Bali. Sementara itu di Banyuwangi kesenian Janger tetap eksis menembus belantara peradaban modern sebagai bagian dari kesenian rakyat bumi Blambangan.

Langgam demi langgam berlalu menyemarakkan suasana malam itu. Semua mata tertuju kepada gemulai para penari yang mengawali lakon yang hendak dibawakan. Suara pawang Janger sudah berkumandang. Pertanda pertunjukan Janger segera di mulai. Seorang wanita muda membuka pementasan malam itu dengan tarian Gandrung disusul dengan beberapa tarian dari Bali seperti Legong Margopati. Pertunjukan pun dimulai,  Lakon atau cerita yang akan dipentaskan malam itu adalah Minakjinggo mati.

Dalam pementasan janger lakon atau cerita biasanya disesuaikan dengan permintaan penanggap atau skenario kelompok itu sendiri. Lakon yang paling banyak dipentaskan antara lain, Cinde Laras, Minakjinggo Mati, Damar ulan Ngenger, Damar Ulan Ngarit, dan lain sebagainya.  Selain dari cerita panji, lakon juga diambil dari legenda rakyat setempat seperti Sri Tanjung dan kadang cerita-cerita bernuansa Islam.

Meskipun tidak ada bukti tertulis tokoh yang dianggap sebagai figur yang memperkenalkan seni teater Janger di Banyuwangi adalah Mbah Darji asal Desa Klembon Singonegaran Banyuwangi. Sebagai seorang pedagang Sapi yang sering melakukan perjalanan dari Banyuwangi ke Pulau Bali, beliau mengenal dan kemudian tertarik dengan kesenian Janger yang ada di Bali. Kemudian beliau memadukan kesenian Ande-ande lumut dengan unsur gamelan Bali.

Sebagai sebuah kesenian yang diinspirasi oleh kesenian Janger Bali, sedangkan Mbah Darji berasal dari Banyuwangi, maka persilangan budaya  dalam pementasan Janger Banyuwangi tidak terelakkan. Silang  budaya  yang terdapat dalam Janger Banyuwangi terungkap lewat bahasa yang digunakan yang meliputi bahasa Jawa dan Using.  

Musik yang instrumen utama pengiring lakon juga merupakan  perpaduan antara musik tradisional Bali dan Using. Sedangkan busana yang digunakan merupakan paduan antara busana Bali dan busana Jawa. Sedangkan unsur koreografi tari sebagai bagian yang tidak terpisahkan sebagai pemanis dalam lakon juga mengalami persilangan, meskipun unsur etnis Bali memberikan gaya yang dominan. Sedangkan unsur cerita dalam Janger Banyuwangi unsur Jawa lebih dominan, karena biasanya lakon-lakon yang dibawakan merupakan lakon-lakon legenda khas tanah Jawa.

Penggunaan berbagai budaya yang berasal dari berbagai etnis tersebut khususnya Bali, Using dan Jawa pada dasarnya merupakan suatu bentuk kerja kreatif, upaya untuk mempertahankan tradisi, serta pencarian estetika baru dalam seni pertunjukan Janger. Persilangan budaya dalam seni teatrikal Janger Banyuwangi ini tidak lepas pula dari pengaruh geografis Banyuwangi yang terletak di persilangan Budaya Bali, Using dan Jawa bahkan juga Madura.   

hqdefault-5c2da497ab12ae0a4241fce4.jpg
hqdefault-5c2da497ab12ae0a4241fce4.jpg
Seni teater Janger Banyuwangi dikenal pula dengan istilah "Prabu Roro, Damarwulanan, Jinggoan". Istilah -- istilah ini terambil dari tokoh-tokojh legendaris tanah Jawa seperti Damar Ulang dan Minak Jinggo. Kalau diamati lebih mendalam sesungguhnya Janger Banyuwangi merupakan kesenian yang terbentuk dari transformasi wayang orang, kethoprak, dan Seni Bali. Perpaduan ini dapat dilihat dalam pembentukan wacana cerita adalah unsur dari wayang orang dan kethoprak, sedangkan Seni Bali berpengaruh pada aspek teatrikalnya (pementasan) yakni musik, kostum, dan gerak/tari.

Salah satu keunikan Janger Banyuwangi juga bisa dilihat dari adanya peran dalang dalam Janger Banyuwangi disebut pawang. Peran pawang adalah untuk membawakan suluk sebagai pembuka cerita dan narasi di awal setiap episode. Dalam

lakon mulai awal hingga akhir biasanya menggunakan bahasa Jawa Tengahan, sesekali menggunakan bahasa using yang merupakan bahasa lokal Banyuwangi. Penggunaan bahasa Jawa dalam suluk biasanya mengandung unsur bahasa ritual yang menghubungkan antara dunia manusia dengan Tuhan sang Pencipta. Masyarakat juga juga menyebut bahasa suluk itu sebagai mantra Dalam sebuah suluk Janger Banyuwangi sesungguhnya berisi doa-doa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mengharapakan pementasan yang akan dilaksanakan akan lancar dan terhindar dari Bencana.

Media penghubung antar lakon dalam cerita Janger Banyuwangi biasanya diiringi lagu-lagu kendang kempul, yang merupakan lagu khas Banyuwangi atau lagu-lagu populer lain yang bisa di request oleh tuan rumah atau bahkan penonton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun